Kamis, 24 Juli 2008

Melihat Allah Swt. di Akhirat: Sebuah Sorotan Komparatif
Oleh: Jannatul Husna
IGB080008
Mukaddimah

Diantara kerinduan seorang hamba ialah ingin berjumpa dengan tuannya, begitu juga dengan makhluk yang amat senang bila dapat bertemu dengan penciptanya. Tetapi keinginan untuk boleh bertatap wajah itu agaknya susah untuk diperolehi kerana jarak antara sang makhluk dengan Khaliknya. Makhluk menempati ruang dan masa tertentu, sedangkan Khalik tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan adakah kita boleh berjumpa dengan Allah, khasnya melihat Allah?
Ada yang meyakini boleh melihat Allah hanya di akhirat kelak.
Dapat melihat Allah di dunia dengan mata bathin (nūr al-imtinān), sedang di akhirat kelak lebih nyata lagi.
Tidak dapat melihat Allah di dunia mahupun di akhirat.

Pendapat pertama dan kedua diperpegangi oleh kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, sementara pendapat ketiga diperpegangi oleh kalangan Mu’tazilah.

Persoalan melihat Allah di Akhirat kelak telah menjadi perbincangan banyak kalangan ulama, bahkan sampai kepada wilayah perdebatan ahli-ahli kalam (theologi). Adakah orang beriman akan melihat Allah secara kasat mata, atau ayat-ayat yang menerangkan perkara itu mempunyai pemaknaan lain? Dari kelompok ulama, Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, menyatakan kalau melihat Allah melalui mata kepala adalah nikmat terbesar yang akan diterima oleh orang-orang yang beriman di Akhirat kelak[1]. Sementara itu, dari golongan Mu’tazilah, tiadalah pemaknaan ”nāżirah” pada ayat yang dimaksudkan bermakna melihat Allah, melainkan menunggu rahmat Allah.

Firman Allah yang menerangkan perkara itu;
”wujūh yawma’idhin nādirah, ilā Rabbihā nāzirah; wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri; memandang Tuhannya”. (QS. Al-Qiyāmah: 22-23).

Interpretasi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah

Kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah meyakini kalau melihat Allah dengan mata kepala di Akhirat kelak merupakan sesuatu yang boleh sahaja berlaku. Hujjah ini diperolehi daripada keterangan riwayat yang mu’tamad lagi mutawātir. Seperti dalam keterangan hadīth Abiy Sa’id dan Abiy Hurayrah ra. berkata, Rasulullah bersabda: ”anna al-nās qālū yā Rasūlallāh hal narā Rabbanā yawm al-Qiyāmah? Qāla: hal tadārūn fī ru’yati al-shams wa al-qamar laysat dūnahumā sihāb? Qālū alā, qāla: innakum tarawna Rabbakum kadhālik; sesungguhnya orang ramai bertanya kepada Rasulullah, wahai Rasulullah adakah kami akan melihat Tuhan di Akhirat kelak? Rasulullah menjawab, susahkah bagi kalian melihat matahari dan bulan tanpa (ditutupi) awan? Mereka menjawab, tentu tidak! Maka Rasul berkata (untuk meyakinkan mereka), sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian dalam keadaan seperti itu”. (HR. Shaykhān)[2].

Menurut kelompok mayoritas umat Islam ini juga, bahwa melihat Allah menjadi kemuncak daripada rahmat dan kebahagiaan yang tidak tergambarkan selama masih di dunia. Menurut hemat mereka, tidak ada celah penafsiran lain dalam hal melihat Allah ini. Melihat Allah secara fizikal, tanpa perlu makna kiasan seperti mata batin (nūr al-imtinān), seorang mukmin yang telah masuk surga akan melihat Allah dengan nyata. Lalu, bagaimana bentuk ataupun cara manusia melihat Allah? tiadalah perlu soalan semacam ini. Semuanya patutlah diletakkan dalam ranah keyakinan sahaja dan serahkan hakikat sepenuhnya kepada Allah.

Interpretasi Mu’tazilah

Sementara itu, kelompok ulama Mu’tazilah—yang memiliki kebiasaan menakwilkan ayat-ayat tashabbuh—mempunyai interpretasi lain seputar persoalan ini, dimana mereka meyakini bahawa tiadalah sesiapapun boleh melihat Allah. Allah tidaklah seperti manusia, ataupun makhluk lain yang boleh dilihat (QS. Al-An’ām: 103). Kerana banyak hal yang boleh diduga akibat daripada keyakinan seperti ini. Betapa tidak, bila seseorang ataupun Tuhan memperlihatkan dirinya kepada yang lain, tentulah ia memerlukan tempat dan ruang kemunculan. Kalau Allah, sebagai Zat Yang Maha Suci, tentulah perlu menempati tempat (maqam) yang suci pula. Soalannya, tempat yang suci itu bila diciptakan, dimana dan seperti apa? Kalau sekiranya kewujudan tempat itu telah ada sejak masa azali, dalam maksud qidam (terdahulu), berarti ada dua yang qidam?

Apa yang berlaku kepada diri Nabi Musa as. (QS. Al-A’rāf: 143) adalah satu bukti bahawa Allah tidak mampu untuk dilihat (qāla lan tarānī), bahkan gunung sahaja hancur luluh akibatnya. Pada sisi lain, kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah mengandaikan ayat-ayat yang digunakan oleh kelompok Mu’tazilah, seperti ...qāla lan tarānī...(QS. Al-A’rāf: 143) dan ayat ...la tudrikul absār wa huwa yudrikul absār...(QS. Al-An’ām: 103), jika yang dimaksudkan oleh ayat-ayat tersebut adalah Allah tidak boleh dilihat dalam kondisi apapun, di dunia ataupun di akhirat kelak, maka dalam hal ini tiadalah pujian maupun kesempurnaan bagi Sang Pencipta. Oleh itu, makna ayat tersebut bukannya Allah tidak boleh dilihat, namun tidak boleh ditangkap sepenuhnya dan tidak bisa dimengerti hakikatnya.

Sementara itu, al-Zamakhshariy—mufassir dari sekte Mu’tazilah—menakwilkan makna ayat ”nāzirah” (yang oleh ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah ditafsirkan dengan melihat) kepada menunggu dan berharap (al-tawaqqu’ wa al-rajā’)[3]. Adapun kata ”ilā” dalam ayat ”ilā Rabbihim nāzirah”, diartikan sebagai ”al-ni’mah”, bentuk jamaknya iaitu ”ālā’”, seperti dalam penggunaan al-Qur’an, ”fa bi ayyi ālā’i Rabbikumā tukadhdhibān, nikmat yang mana lagi yang kalian dustakan (QS. Al-Rahmān). Jadilah maksud ayat ”ilā Rabbiha nazirah” iaitu ”ni’ama Rabbiha muntazirah”, nikmat Tuhannya yang mereka tunggu atau harapkan”.

Penutup

Dari penjelasan diatas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, bahawa penafsiran mengenai ayat-ayat tentang melihat Allah telah menjadi salah sebuah bahan perdebatan ulama-ulama Islam. Namun, sesungguhnya setiap kelompok itu dalam rangka ingin menempatkan Allah pada posisi-Nya yang terpuji. Kalangan yang menyatakan bahawa Allah tiadalah boleh dilihat dengan mata kepala zahir, samaada di alam dunia maupun di akhirat kelak. Mereka memandang Allah tiadalah sama dengan makhluk, yang dibatasi oleh ruang dan waktu (...laysa kamithlihi shai’....).

Sedangkan ulama yang menyatakan bahawa Allah boleh dilihat dengan kasat mata, mereka meyakini itu sebagai bentuk dari kesucian dan kesempurnaan Allah pula. Persoalan bagaimana (kayfa), dimana (fiy ayna), dan berapa (kam), bukanlah hal yang patut untuk difikirkan karena Allah bila telah berkehendak, maka semuanya boleh berlaku (...idhā arāda shay’an an yaqūla lahū kun fa yakūn...dalam banyak ayat lain...inna Allāh ’alā kull shay’in qadīr). Termasuk menampakkan wujudnya yang asal kepada khalayak ramai (makhluk-Nya).

Wallahu a’lam.

[1]Diantaranya Imam Ibnu Kathīr, dari kalangan ulama al-Shāfi’iyyah. Katanya “tarāhu ‘ayānan; kamu melihatnya melalui mata kepala”. Lihat Ibnu Kathīr. 1421 H/2001 M. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm. Al-Qāhirah: Dār al-Shurūq. Hal. 451
[2]Ibid.
[3]Abū al-Qāsim Mahmūd ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Umar al-Khawārizmiy. t.th. al-Kashshāf. t.p: t.tp. hal. 186-187

Rabu, 16 Juli 2008

Mengelola Potensi Bertutur
Oleh: Jannatul Husna*

Subhanallah, tiadalah semua yang diciptakan Allah Swt. ini, percuma! Semuanya mengandung hikmah yang besar lagi agung. Adalah lidah (daging tanpa tulang), diantara potensi insani yang dikaruniai Allah Swt., sebagai jembatan interaksi antar sesama makhluk bahkan untuk komunikasi transendent sekalipun. Kemampuan dialektika dibuktikan dari gaya bertutur dan bahasa seseorang. Segudang apapun kemampuan intelektualnya, jika tidak mampu dituturkan melalui bahasa yang baik, maka dirasa kurang afdhal kewujudannya.

Inilah barangkali rahasia Allah Swt. mengutus seorang Rasul yang selaras dengan tuturan kaumnya. Nabi Muhammad Saw. mendakwahkan Islam melalui bahasa Arab, karena dia berasal dan berada dalam komunitas Arab. Tak terbayangkan sekiranya Rasul Saw. berdakwah dengan bahasa selain Arab, sementara kaumnya miliu Arab. Bukan sekedar keselarasan bahasa, tetapi juga kemampuan audiens untuk menerima ungkapan kita, pun menjadi penting untuk dipertimbangkan. Berbicara panjang lebar, bertele-tele, keluar dari tajuk perbincangan, bahkan berbicara tidak sopan, baik menurut tata moral apalagi norma agama. Inilah agaknya substansi dari pesan Rasul Saw., kallimu bi qadri ‘uqulihim “bicaralah sesuai kadar kemampuan mereka (lawan bicara kita)”. Dalam al-Quran pun disebutkan, qawlan ma’rufa (al-Nisa`: 5 & 8), qawlan sadida (al-Nisa`: 9, al-Ahzab: 70), dan ada pula dengan redaksi qawlan karima (al-Isra`: 23). Semua itu menunjukkan pentingnya tuturan yang baik.

Ali Fadhlullah dalam kitabnya, al-Akhlaq al-Islamiyyah, menyebutkan setidaknya ada dua ketimpangan dalam bertutur, yaitu:

Pertama, bertutur tentang sesuatu yang tidak berguna.
Rasulullah Saw., menyebutkan “min husni Islam al-mar`i tarkuhu ma la ya’nihi, artinya; diantara kebaikan seorang muslim itu ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna”.

Kebiasaan negatif ini seringkali tidak disadari banyak kalangan, bahkan oleh kelompok masyarakat—yang katanya berfalsafah agama pun—cenderung mengabaikan prinsip ini. Apakah itu namanya ciloteh lapau, bergurau, cime’eh, bagarah antara induak bako, dsb. Banyak yang tersakiti, namun karena sudah menjadi tradisi, hal itu dianggap lumrah. Tidakkah kita mau meninjau kembali warisan budaya ini? Nabi Saw., pada zamannya pun saling bercanda, tetapi tidak melukai perasaan sahabat-sahabatnya.

Kedua, bertutur tidak pada tempatnya, walaupun itu baik.
Rasulullah Saw., mensinyalir “fa rubb mutakallim fi amrin ya’nihi qad wadha’ahu fi ghairi mawdhi’ihi fa asa`, artinya; betapa banyak orang yang bertutur tentang suatu kebaikan tetapi karena bukan pada tempatnya, maka ia (malah) jadi buruk”.

Ahli syiir pernah juga mengingatkan para penutur akan pentingnya melihat suasana dan format bertutur, agar tidak salah sasaran (li kulli maqal maqam, wa likulli maqam maqal) meskipun tujuannya baik. Kenapa ini menjadi sesuatu yang krusial? Sebab tidak jarang lawan bicara penutur itu dalam keadaan tidak siap menerima, karena beragam persoalan.

Oleh karena inilah, sewajarnya kita melihat kontens penuturan; bermanfaatkah buat diri, audiens dan orang lain yang turut mendengar pembicaraan kita? Atau tepatkah waktunya untuk menyampaikan pembicaraan? Kalau sekiranya belum memenuhi kriteria ini, sebaiknya kita diam, karena lambang keimanan itu pun terletak dalam diam. “man kana yu`minu bi Allah wa al-Yaum al-Akhir falyaqul khairan aw liyashmut artinya; siapa yang beriman kepada Allah Swt. dan Hari Akhir, hendaklah dia mengatakan sesuatu yang baik, kalau tidak sebaiknya dia diam.

Kemampuan bertutur secara baik merupakan bentuk diplomasi yang ulung, akan menguatkan networking dan mengukuhkan jaringan komunikasi global. Sebab itulah, mari mengelola potensi bertutur dengan elegan, baik dan berwibawa!

“kalau pedang lukai tubuh masih ada harapan sembuh, tapi kalau lidah lukai hati kemana obat hendak dicari?”. Wallahu a'lam....


*Master Student in Academy of Islamic Studies
University of Malaya
+6014 2654654

Minggu, 06 Juli 2008

SISI BAIK; MEREKA BISA NAMUN KITA TIDAK MAU
Oleh: Jannatul Husna*

Menjadi lebih baik dalam beragam hal adalah visi setiap insan. Tidak ada seorangpun yang mencintai kenistaan dan kesialan, hanya mereka yang naif dan dungu saja yang memilih jalan ini. Namun sayang, langkah menuju kebaikan itu tidak semua orang mampu dan mau melakukannya. Masih dianggap patut, ketika sebagian tidak mampu melakukan sesuatu untuk kebaikan karena keterbatasan fisik dan psikis-nya. Tetapi sungguh malang, bagi mereka yang mempunyai kekuatan keduanya, malah tidak mau berbuat, menyerah pada takdir, pasrah terhadap kondisi kekinian dan kedisinian.

Ada banyak hal positif yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun sebuah komunitas, dan kita bisa mencontoh kesungguhan mereka dalam menerapkan prinsip tersebut. Misalnya adalah penerapan nilai-nilai kedisiplinan dan keberaturan. Bukan sekedar Gerakan Disiplin Nasional (GDN) yang dikumandangkan lewat teks, namun hampa pelaksanaan. Lihatlah di tempat-tempat umum, bagaimana menjaga disiplin di jalan raya, pusat perbelanjaan, rumah sakit, masjid, dll. Adalah Islam telah mengajarkan budaya disiplin ini melalui shalat, puasa, zakat dan haji, dengan menjaga waktu pelaksanaannya.

Budaya beraturan ini nyaris mengalami kepudaran dalam keseharian seseorang. Seperti penumpang angkutan yang berburu paling cepat naik dengan penumpang lainnya, apalagi pada hari-hari libur. Sopir angkutan kota dan dan bus mengabaikan peraturan lalu lintas karena mengejar setoran dan memungut tumpangan di tepi jalan, walau bukan di halte bus (perhentian khusus bus). Mana disiplin kita?

Kedua, penerapan prinsip kenyamanan bagi masyarakat umum. Setiap pribadi menghargai hak orang lain. Tidak ada yang berani merokok di tempat umum, kecuali di wilayah terbuka dan bebas untuk merokok. Tidak ada kebisingan yang menganggu kenyamanaan orang lain. Sementara tradisi yang akrab dijumpai adalah bagaimana para perokok dengan selesa mengepulkan asap rokoknya, tanpa merasa berdosa terhadap orang lain, di angkot-angkot kecil yang penuh sesak, ditambah dengan dentuman musik angkutan ala diskotik, meruntuhkan jantung setiap penumpangnya.

Ketiga adalah penerapan prinsip hidup bersih-indah. Penataan kota yang baik, bersih dan teratur. Mereka yang membuang sampah sembarangan benar-benar akan ditindak sesuai peraturan yang berlaku. Penerapan hidup bersih dan teratur ini bukan termotivasi oleh semangat untuk mendapatkan penghargaan, berupa Piala Adipura. Sebab tiada arti trophy atas penghargaan kota terbersih, sedang kenyataan riil-nya sampah-sampah menumpuk di sungai-sungai kota. Bagaimana pengelolaan sampah basah, sampah kering, khusus sampah plastik, khusus sampah besi, dsb. Sehingga tidak menimbulkan masalah rumit seperti yang dialami banyak daerah kita, ketika sampah telah sampai di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Keempat ialah pelayanan yang ramah dan jujur. Pegawai-pegawai pemerintah maupun swasta yang ramah akan menyenangkan customer dan memudahkan proses yang sedang dilakukan. Tetapi bila pegawai yang digaji oleh rakyat sendiri maupun pihak swasta melayani pelanggannya dengan kejam dan bengis, maka proses yang bakal dijalani akan terganggu dan tentunya akan saling menyakitkan dan menyinggung. Disamping itu, kejujuran dan transparansi administrasi akan menekan terjadinya kecurangan dan penyelewengan.

Prinsip kelima adalah high tech, pelayanan yang bertekhnologi tinggi. Data-data yang termuat dapat dicari dengan mudah dan hemat waktu. Pembelian tiket pesawat, kereta api, kereta listrik, tiket bus, pencarian buku-buku perpustakaan, data-data di rumah sakit, dsb, dapat diakses dengan gampang. Sementara kita masih menggunakan tekhnologi manual dan amat tradisional. Maka, ketika mahasiswa mencari satu buku rujukan makalah, skripsi ataupun thesis bisa menghabiskan waktu satu jam. Sebuah gaya kehidupan yang mesti diubah. Oleh siapa, tentunya oleh pemerintah, masyarakat, dan kita semua.

Beberapa sisi baik yang tidak perlu malu untuk ditiru. Mereka bisa, kenapa kita tidak?
Masalahnya bukan karena tak mampu, tetapi kita tidak mau....Wallahu a’lam.

*Pelajar Master University of Malaya
Fakultas Usuluddin Akademi Pengajian Islam
Mobile +6014 2654654
PERATURAN YANG TAK TERTULIS
Oleh: Jannatul Husna*

Hari itu Rabu 25 Juni 2008. Sekitar pukul 5.30 WIB pagi, saya yang diantar oleh saudara (tinggal di Jl. Gunung Agung Pekanbaru), harus melawan kabut pagi menuju Panam Pekanbaru, karena travel ke Dumai menjanjikan saya keberangkatan pukul enam pagi. Sesampai di loket travel, ternyata jadwal keberangkatan molor hingga pukul tujuh pagi. Akibat dari keterlambatan ini adalah saya ketinggalan kapal ke Malaysia, karena saya baru sampai di Dumai pukul 12.30, sementara kapal Ferry Indomal meninggalkan Dumai sejak pukul sebelas siangnya.

Penundaan penyeberangan tersebut, memaksa saya harus menginap di sebuah perusahaan jasa tour & travel, serta pengurusan Paspor di Kota Dumai. Biro jasa—yang katanya mengedepankan nilai kemanusiaan dan ketulusan ini—membelikan tiket kapal untuk keberangkatan besok harinya dan saya disaran untuk menginap di tempat mereka, karena klaim mereka, gratis!

Dalam aturan tiket kapal Ferry Indomal, hanya Rp. 250.000 cash untuk sekali jalan dari Dumai ke Malaka, tetapi pihak perusahaan memungut Rp. 260.000 bagi setiap calon penumpang (include boarding pass). Hitung-hitung biaya transportasi pengurusan, photo kopi paspor 1 lembar, ini masih dianggap wajar dalam konteks ke-Indonesiaan yang sedang dalam carut-marut budaya korup. Tetapi yang terjadi kemudian adalah, pihak jasa travel malah meminta penulis untuk mengeluarkan uang lebih besar dari aturan yang terpampang di dinding perusahaan tersebut, yaitu sebanyak Rp. 280.000, katanya untuk boarding pass. Seakan dibius (karena dalam posisi kebingungan), penulis awalnya menerima tuntutan itu, namun tak berselang lama, penulis menyadari bahwa telah terjadi ”pemalakan”. Usut punya usut (karena di sana ada juga orang Padang yang menjadi staf eksekutif), ternyata itulah peraturan yang tak tertulis, dan dianggap telah menjadi rahasia umum.

Penulis jelas tidak menerima, dan menyatakan bahwa inilah akar penyebab suburnya budaya korupsi di negeri kita. Dari pemimpin tertinggi hingga pemimpin terendah menguras hak milik rakyat dengan zalimnya. Saya katakan itu tanpa takut, sebab kalau diusirpun tidak mengapa, karena masih ada tempat yang mengedepankan nilai-nilai kemanusian secara riil-subtantif tanpa harus perlu menyebutkannya dalam kaca skriptualistik. Lebih baik mereka minta uang secara transparan, daripada ditutupi sementara orang lain tersakiti.

Mengurai benang kusut budaya korupsi seperti ini agaknya masih memerlukan banyak waktu kalau enggan menyebutnya tidak akan pernah terurai. Selama mental ”inikan peraturan tidak tertulis dan ini telah menjadi rahasia umum?” bergelayut di benak setiap anak bangsa. Semoga asumsi fatalistik ini tidak wujud, karena ini bukanlah cita-cita Islam dan tidak pula menjadi harapan kita. Wallahu a’lam.

*Pelajar Master University of Malaya
Fakultas Usuluddin Akademi Pengajian Islam
Mobile +6014 2654654
LAMPU MERAH, KIRI JALAN TERUS!
Oleh: Jannatul Husna*

”Kiri Jalan Terus!”, sebuah seruan tanda pembolehan laju, kerap dijumpai pada setiap perempatan jalan lampu merah di Indonesia. Perintah seperti ini hampir tidak kita jumpai di beberapa negara ”maju” seperti Malaysia dan Singapura. Di sana, pada setiap lampu merah, tidak ada pembolehan ”kiri jalan terus”, apalagi kanan, karena di lampu merah, pengendara sepeda motor ataupun mobil, mesti berhenti. Sebuah filosophy hidup yang boleh diambil dari perundangan suatu negara yang katanya adik bungsu ibu pertiwi.

Jangankan ke kiri, memutar arah balik kendaraan bahkan bisa dilakukan oleh setiap pengendara di negeri kita, sehingga kemalangan terkadang sulit untuk dihindari. Jalanan penuh sesak dan seliweran menaik dan menurunkan penumpang, yang lain datang menyalip, sementara yang tidak sabar mengaduh lewat klakson motor ataupun mobilnya bagai suara pekik kuda, rusa, dan lainnya.

Pemandangan hidup yang sulit untuk dihindari, namun apa daya, mental hampir separuh penduduk kita telah berurat akar pada pola seperti ini, warisan buruk yang seakan mustahil untuk dielakkan. Tradisi ”kiri jalan terus” inilah yang agaknya membuat sistim pemerintah kita—dari strata pucuk hingga masyarakat akar rumput—susah untuk lari dari budaya korup, kongkalingkong dalam nepotisme serta kolusi inter kolega. Padahal, semua manusia waras tahu, kalau lampu merah harus berhenti, apalagi jalan kiri? Wallahu a’lam.


*Pelajar Master University of Malaya
Fakultas Usuluddin Akademi Pengajian Islam
Mobile +6014 2654654