Minggu, 28 September 2008

Idul Fitri 1429 H: Antara Harap dan Cemas
Oleh: Jannatul Husna

Tak terasa Idul Fitri tahun ini bakal segera digelar oleh umat Islam se-dunia (1 Oktober 2008). Takbir dan kalimat-kalimat suci lainnya akan berkumandang sebagai tanda kesyukuran, kekerdilan kita dan i'tiraf mengakui keagungan Sang Pencipta Jagat ini. Sebulan sudah kita menjalani latihan Ramadan, uji kesabaran, kekuatan fisik dan psikis dan agenda penuh tantangan lainnya. Semua itu dijalani, dengan satu harapan, agar kita menjadi manusia yang cerdas secara individual dan dapat merengkuh kesalihan sosial. Kita tidak tahu apakah Ramadan berikutnya masih diberi kesempatan untuk menikmati indahnya hidangan Ramadan atau malah kita harus pulang kampung lebih awal dalam arti sebenar? Setengah umat Islam, seringkali baru merasai kehilangan itu ketika momentum terbaik telah berlalu dari hadapannya, dan penyelasan tumbuh sebagai satu hal yang tiada lagi berguna. Na'uzubillah.

Wa ba'd, sesungguhnya intensitas ibadah pasca Ramadan-- yang--perlu penekanan dan konsentrasi lebih. Diyakinii bahwa Puasa kita selama Ramadan terlaksana dengan baik, adakah mungkin kebiasaan shaum (dalam arti yang luas) masih dapat kita tunaikan selepasnya? Kita juga telah membaca al-Quran bahkan sampai khatam, adakah pasca bulan suci ini masih bisa menjadi tradisi? Perbuatan menyantuni kelompok-kelompok miskin, fakir dan lainnya bisa kita jadikan amalan Ramadan, adakah akan terus membekas di relung hati setelah semuanya usai? Kesemuanya perlu dijawab, bukan dalam ruangan ini, tetapi diserahkan ke siapa, kapan dan di mana saja dia berada.

Pada kesempatan ini, penulis merasa perlu untuk menggores beberapa hal yang mungkin wajib menjadi sorotan kita semua, khususnya bagi saudara saya yang jauh di "nagari" sana, kampungku sayang kampungku malang. Pertama, kebahagian yang sejati dari kembalinya kita ke fitrah (Idul Fitri) adalah ketika tingkat ketakwaan kita kepada Allah kian menemukan sejatinya. laysa al-'id liman labisa al-jadid walakin al-'id liman ta'atuhu tazid, bukanlah berhari raya (kembali kepada fitrah) bagi mereka yang sekedar (bangga) berpakaian baru tetapi berhari raya (yang sebenar) itu adalah milik mereka yang ketakwaannya kian bertambah.

Ramadan menjadi madrasah tempat kita belajar banyak hal, karena itu sebagai alumni yang bertanggung jawab, tentu kita akan terus membaktikan diri dalam ranah kebaikan. Tarawih misalnya, mengajarkan kepada kita arti dan nilai kebersamaan (hidup berjama'ah), mentaati Imam (pemimpin) yang selalunya membawa kepada ketaatan. Ramadan juga mengajarkan kepada kita akan aspek lain, yang mungkin belum sepenuhnya bisa kita terima. Yaitu, kemampuan menganalisa sains dan tekhnologi modern dalam mengetahui tiba dan berakhirnya Ramadan. Rasulullah dengan cukup menuturkan perkara, berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berhari rayalah kamu karena melihat bulan, jika itu tak mungkin untuk dilakukan, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban genap tiga puluh hari.

Apa yang bisa kita saksikan, dalam tradisi masyarakat kita sejak dahulu sampai ke hari ini adalah, mengabaikan kepentingan tekhnologi dalam keberagamaan, padahal Nabi s.a.w. sama sekali tidak pernah melarang penggunaan alat sains modern ini untuk menentukan awal dan akhir tiap-tiap bulan itu. 'Allimu awladakum fainnahum makhlukun li zaman ghayri zamanikum, ajarkanlah anak-anakmu karena mereka bakal hidup tidak sama dengan zamanmu (hidup hari ini), demikian sabda yang diyakini sebagai petunjuk Nabi. Kita juga terkadang berhenti serta-merta pada perintah melihat bulan, padahal ada anjuran berikut yang mesti juga dilihat sebagai solusi alam, sehingga pertingkahan pendapat dapat dielakkan, yaitu sempurnakanlah bilangan Sya'ban ataupun Ramadan genap tiga puluh hari. Adakah kita selalu serius melakoni perhitungan (hisab dan rukyah) bulan demi bulan ini? Saya khawatir ini sekedar "sensani" agama saja, karena terbukti pada penentuan hari raya Haji (Zulhijjah) kita tidak selalu bahkan jarang sekali berpeda pendirian.

Oleh karena itu, saya mengajak semua masyarakat di "nagari" sana, supaya bersegera menyelesaikan "kemusykilan" yang tak berujung ini, dengan mengambil jalan selamat, mengikut pemerintah (ulil amri minkum). Sebab, terlalu banyak agenda yang mesti diselesaikan, merentas banyak perubahan dan pencerahan di kampung halaman. Berkacalah dengan masa lalu, dan belajarlah keluar dari tempurung yang selalu melingkupi pandangan mata, sehingga wajah buruk kita bersedia menerima perubahan ke arah yang lebih baik. Tidakkah kita menyadari pembangunan beberapa dekade terakhir, semasa pemerintah desa berlaku, tiada titik cerah berarti bahkan sangat menyedihkan. Semua itu perlu dan wajar untuk disoalkan kembali?

Pembangunan kantor desa, yang katanya bakal siap sempurna hingga tinggal membuka kunci. Nyatanya hanya menyisakan fondasi yang kian hari menunggu masa lapuk di makan hujan dan lekang di makan panas. Bahkan tonggaknya saja tak berdiri walau agak satu sekalipun, apatahlagi dinding dan atapnya. Berikut, pelajaran masa lalu yang perlu menjadi soalan kita adalah, kemana janji pembangunan Waserba di Tepi Powuang, Balai Nikah di samping Masjid Baitul Huda, kenapa sekedar pembangunan tonggak dan dinding? Atapnya menyelinap ke saku siapa? Belum lagi pembukaan jalan Kabun-Rumbai yang tanpa manfaat, malah mewariskan trauma banyak pihak, karena beberapa petak sawah dan ladangnya hancur akibat kebijakan yang tidak bijak itu? Apalagi? Mungkin saudara lebih tahu, apa daftar berikutnya.

Semua akibat yang timbul hampir membuat kita tersadar, tetapi kita tidak cepat terbangun, bahkan Galodo September yang menelan korban nyawa sebanyak tiga warga serasa belum cukup membuka mata yang banyak, betapa kita mesti insaf dan berbuat yang terbaik untuk kampung halaman, hentikan penebangan liar lebih-lebih hutan di hulu sungai--sebagai pertahanan air terakhir, dsb. Ingatlah, telah terjadi kerusakan di darat dan di lautan akibat ulah tangan manusia.

Cukup dan sangat jauh kita terseok, tertinggal dari daerah sekitar. Kekayaan alam, air bersih, batu bara, dan hasil hutan lainnya melenakan dan membuat kita cukup berbangga sebatas itu. Padahal masa depan generasi mendatang luput dari perhatian. Karena hari ini sebagai akhir yang baik dalam bulan Ramadan, wajar kiranya sebagai anak "nagari" yang masih merasa memiliki kampung halamannya, mengajak semua komponen untuk menatap masa depan yang lebih baik, belajar dari masa lalu. Merubah paradigma terhadap kesan pendidikan sebagai orientasi kerja dan pegawai negeri menjadi satu aset kampung yang tidak akan pernah rugi.

Dukunglah anak-anak terbaik kampung kita yang terus mencari ilmu, kelak mereka akan kembali membawa banyak kemudahan dan perubahan berarti. Semoga Ramadan kita kali ini diberkati, seraya berharap selanjutnya masih bisa berjumpa, untuk mencipta karya yang lebih baik. Amin.

Selamat Menyambut Hari Raya Idul Fitri 1429 H
Taqabbalallahu minna wa minkum, taqabbal ya Karim.

Selasa, 09 September 2008

Koreh Iduang Togang Kalowan
Oleh: Jannatul Husna*


Tarapuang Tapi Tak Anyuik


Hampir—mendekati—sewindu (10 tahun) perseteruan itu ada, nyata. Dendam “pengusiran” dari Niniek Mamak Nagari induk, Sisawah terhadap cucu kamanakan yang ada di Kabun seakan tak lagi menyisakan kata maaf untuk pihak yang bersalah, walau barang sedikit. Naïve sudah masyarakatku! Dendamnya tujuh turunan, bahkan mungkin lebih lama dari itu. Walau hidup sesaat saja di alam ini, asif ‘alfa asif (sayang, seribu kali sayang) pintu maaf telah “mereka” tutup sedemikian rapatnya. Tidakkah kita mau belajar dari Tuhan Sang Pencipta, yang Maha Pemaaf, sebesar dan sebanyak apapun dosa makhluk-Nya? Atau kita merasa jauh lebih hebat dari Tuhan yang Maha Pemberi Ampun dan Kemaafan? Na’udhu bi Allah (semoga kita terhindar dari petaka senista itu).


Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menolak perjuangan setengah elit “negeri” Kabun untuk menjadikan Kabun sebagai Nagari yang defenitif-otonom (mekar—tidak berarti lepas dan putus) dari nagari asalnya, Sisawah. Tetapi hendak menegaskan bahwa perjuangan mencapai semua itu harus berlandas, pijakan yang kuat, politis dan elegan (santun). Kemanapun kita bertanya tentang referensi ber-Nagari di Sumatera Barat, maka syarat utama pembentukan sebuah nagari itu adalah sama, yaitu: ba Rumah Gadang, ba Balai-balai (mencakup didalamnya Balairung-Balai Adat, Balai Nikah, Balai dalam arti Pasar), ba Pangulu dan infrastruktur lainnya.


Sekarang, mari kita lihat lebih jauh, jernih dan wajar. Mana diantara perangkat diatas—sebagai syarat kelaikan untuk membangun nagari—yang telah kita punyai. Sepatutnya kita memikir perkara ini sedari awal, sebelum “pergolakan” itu dikobarkan. Jangan pernah muncul istilah, santan (karambie) abieh samba ndak lamak (santan habis sambal tak enak) atau mancarie aka, tapi aka manjarek lihie. Jika kita belum atau tidak mau menyelidiki akar persoalan yang ini, saya khawatir perjuangan itu akan berujung sia-sia, sedang masyarakat teraniaya, terus dan kian lama (dari tahun 2000-sampai hari ini).


Untuak Apo Banagari?


Segala sesuatu yang diperjuangkan oleh anak manusia dalam hidup ini pasti menuju satu titik kesudahan. Itulah dia titik, tujuan hidup. Dalam bahasa agama, muara semua aktifitas perjuangan itu ialah dalam rangka beribadah (liya’buduni) kepada Allah s.w.t. Pertanyaannya kemudian, untuk apa kita memperjuangkan pemekaran nagari ini? Adakah kepentingan itu bermanfaat buat masyarakat banyak, baik secara pendidikan, kesehatan, sosial, budaya dan politik. Sekiranya kita benar mau membangun kepentingan ini, maka perjuangan itu harus tetap dilanjutkan, tetapi jangan melabrak aturan-aturan agama dan hukum yang diundangkan pemerintah. Kalau kita melanggar prinsip silaturrahim misalnya, dengan memutuskan mata rantai silaturrahim, hubungan kekerabatan dengan induak, asal kita tumbuh dan besar, kemana hendak kita buang prinsip syarak mangato adat mamakai? Begitupun tatkala kita melanggar peraturan pemerintah yang mengatur demi kemaslahatan semua, kemana hilangnya kewajiban mentaati pemimpin diantara kamu?


Duhai saudaraku, jangan suburkan “kacak langan bak langan, kacak bati bak bati” atau lupakah kita dengan “dima tumbuahnyo adat, disitunyo ba induak”? Para ninik mamak mestinya sadar dan kembali mengambil perannya secara baik, sesuai alur dan patut, jangan sampai terbalik, nan patuik dialua. Sehingga ninik mamak negeri Kabun, betul-betul menemukan kebebasannya, tidak lagi didikte atau diatur oleh kepentingan kelompok tertentu. Pada akhirnya, “mimpi” itu bisa diwujudkan dalam alam nyata.


Peran Pemuda dan Langkah Perjuangan


Satu hal yang amat saya sedihkan ialah hilangnya daya juang para pemuda. Mereka pecah kepada beberapa kelompok, padahal kalau mereka bersatu dalam mengambil inisiatif perubahan, maka perjuangan itu akan semakin hampir. Biasanya para pemuda itu memiliki kekuatan olah fikir dan fisik untuk melahirkan sebuah wajah baru peradaban. Seingat kita, bukankah era baru (1965) perjuangan meruntuhkan orde lama, juga lewat tangan para pemuda, zaman reformasi (1998) pun terlahir dari rahim perjuangan mereka?


Menyadari peran inilah, saya ingin mengajak kita semua (istimewanya warga Kabun, dimanapun anda dan apapun profesinya) agar melihat jebih jujur dan objektif, bahwa kita perlu menyusun strategi politik perjuangan dengan baik dan benar. Saya yakin, pihak pemerintah belum akan mengabulkan permintaan kita untuk ber-nagari, selama infrastruktur dan perangkat kasar itu belum terpenuhi. Oleh karena itu, kalau kita BENAR-BENAR mau memekarkan nagari, setidaknya langkah-langkah berikut perlu jadi renungan dan panduan. Kalau bukan, saya percaya kita masih pada tahap berangan-angan alias Koreh Iduang Togang Kalowan;


Pertama, selaiknya kita kembali memulihkan hubungan baik dengan nagari induk. Tidakkah kita mau mengingati larangan Allah dan Rasul s.a.w tentang memutus hubungan silaturrahim itu sebagai bencana besar, yaitu tidak akan pernah masuk surga para pelakonnya, lan yadkhul al-jannah qati’. Lalu buat apa kita beramal, termasuk puasa Ramadan kali ini, sementara dendam sejarah itu masih saja subur dalam sanubari?


Kedua, sejurus dengan tetap dibukanya tambang batu bara di Guguak Mulek, kita cadangkan anggaran fee-nya untuk pembangunan infrastruktur nagari, termasuk Balairung, Balai Adat, Balai Nikah, Balai-Pasar, bahkan pembangunan Rumah Gadang.


Ketiga, mengembalikan kekuatan pendapat dan legitimasi keputusan ninik mamak, alim ulama dan kaum cerdik pandai pada posisinya semula. Melawan hegemoni (pengaruh) pesanan pendapat kelompok apapun, demi tegaknya perjuangan ini.


Keempat, bersatulah para pemuda, untuk kebaikan. Padukan semangat dalam bingkai perjuangan yang jelas. Tidak membabi buta, apalagi ngotot tak karuan. Hargai pendapat orang lain yang mungkin jauh lebih benar dan beralasan daripada pendapat kita yang mungkin saja sangat rapuh dan tidak beralasan.


Kelima, kepada saudara-saudara saya yang kebetulan sedang belajar, baik di sekolah menengah maupun yang telah menduduki perguruan tinggi, mari kita luangkan waktu dan pemikiran untuk kebaikan kampung kita. Saling berbagi pengalaman dan pemikiran. Saling membantu di atas kesempitan dan kepayahan, jangan saling menjatuhkan! Sepertimana segelintir masyarakat kita, yang kerap menjatuhkan dan mematahkan semangat saat kita mau memulai, sedang dan berencana kembali untuk terus menuntut ilmu.


Salam Revolusi, semoga Kabun menemukan kejayaannya! Amin.


Wallahu A'lam....
*Pelajar Master University of Malaya

Kamis, 04 September 2008

Bersantai Sejenak

Ramadan di Negeri Pak Lah
Oleh: Ibn Ali Nuar

menatap lembayung senja yang hampir tiba...
disudut kota, terdengar sayup hampir tak tergapai oleh indra
suara lirih para penikmat kalam-Nya, jauh dan langka!
mencoba untuk mendendangkan walau dalam bisik...

kemarin, hari ini, dan mungkin esok saya harus berjalan lagi...
mencari berkah ramadan, dari surau ke masjid
dan terkadang dengan "terpaksa" harus ke d' art corner
memesan nasi putih cukup dengan "telur dadar", he..he..

ramadan, memang terasa berat
di tengah beban dan tugas yang menumpuk
tetapi jihad itu mesti terlaksana dengan baik,
apapun aral yang mungkin ada
duhai tuhan, tatapan ini hampir sayu...
energi ini hampir layu...
berkatilah perjalanan ini,
karena hamba belajar untuk terus tulus dan terus, menempuh jalan ini...

di sini tak ada kokok ayam dini hari,
dan indahnya senandung "yuyui" di petang hari
seperti ia pernah menyapa beberapa tahun yang lalu
di kampung sana, nan jauh di mato tetapi sentiasa di hati

"kampuang nan jauh di mato, gunuang sansai bakuliliang
den takana jo kawan-kawan nan lamo
sangkek den ba suliang-suliang"

"panduduaknyo nan elok, nan suko ba gotong royong
sakiek jo sanang, samo-samo diraso
den takana jo kampuang"...

apapun, keberkatan bulan ini harus tetap dinikmati
setidaknya menghibur diri walau dengan apa dan seadanya...

kuala lumpur, ramadan 1429H/september 2008M

Rabu, 03 September 2008


Prospek Kerjaya Graduan Islam
Oleh: Jannatul Husna*
Diasuh oleh: Prof. Dr. Zulkifli Mohd Yusoff**

Selamat, menjadi pengangguran! Demikian kenyataan yang sering dijumpai sejurus Majelis Konvokesyen [wisuda] digelar di banyak tempat, Perguruan Tinggi di Indonesia. Para graduan itu, tiap dua kali dalam setahun terlahir melalui majlis perasmian tersebut, dalam pelbagai bidang keilmuan dan dari peringkat perguruan, apakah dari akademi, sekolah tinggi, institut sampai pada level universiti, milik swasta mahupun lembaga pengajian tinggi awam milik kerajaan (pemerintah).

Ungkapan ini menyiratkan makna bahwa lapangan pekerjaan di luar kampus seakan makin hari kian sempit dan terhad (terbatas) sahaja. Yang terbayang hampir di setiap benak ribuan warga intelektual itu ialah sengitnya dunia kerja, menatap masa depan yang belum pasti dan boleh jadi, suram. Ibarat istilah kebanyakan mahasiswa, menjadi alumni pengajian tinggi harus menempuh gerbang lain yang tak kalah menyakitkan, iaitu bersiap menambah deretan para penganggur di bumi sendiri. Amat naïve memang, tetapi demikianlah realiti yang sebenar. Padahal mereka adalah kalangan terpelajar, berkutat dengan buku selama bertahun-tahun, mendiskusikan persoalan bangsa sampai pada titik unjuk perasaan (demonstrasi) ketika kebijakan penguasa terlihat kurang berpihak kepada rakyat dan mendalami perkara lainnya. Pada saat yang indah ini, entah kenapa harus berhadapan dengan fakta, susahnya lapangan pekerjaan?

Pertanyaannya kemudian, adakah graduan pengajian tinggi orientasi fikirnya sebatas mendapat pekerjaan? Bagaimanapun idealisnya seorang graduan, kenyatan itu sukar sekali untuk dibantah, bahawa mereka bersekolah tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang laik dan boleh menjamin masa depan sendiri bahkan keluarga, itu fakta lain yang harus pula menjadi pertimbangan. Tetapi, graduan sejati yang telah bekerja, sepatutnya tidak melibas prinsip-prinsip idealisme semasa dia menjadi mahasiswa ketika dahulu. Inilah diantara isu kerjaya, dalam unjuk perasaan mahasiswa Tarbiyah-Shari'ah Universiti Islam Indonesia beberapa waktu yang lalu, kerana berdasarkan UU No 7 Tahun 1989, yang berhak menjadi Hakim dan Panitera pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama harus Sarjana Syariah bukan Sarjana Ilmu Agama. Para mahasiswa ini juga khawatir karena belum ada UU yang mengatur tentang orientasi kerja para Alumni Fakultas Agama. Apalagi Fakultas Agama belum tercantum dan diakui oleh Badan Akreditasi Nasional. (http://www.indomedia.com/bernas/9712/05/05yog-1.htm)

Menurut hemat penulis, cabaran kerjaya bagi para graduan ini tidak boleh dilepaskan dari aspek kualiti graduan itu sendiri. Untuk kes Indonesia hari ini, para graduan yang berprestij baik akan direkrut oleh jawatan-jawatan kerajaan, melalui pengujian yang ketat tanpa mengambil kira latar belakang keluarga terbabit. Pada masa Orde Baru (1965-1998), kesempatan seperti ini jarang ada, kerana perekrutan pegawai dipengaruhi oleh unsur-unsur kekerabatan (kolusi dan nepotisme) dan maraknya tradisi rasuah (korupsi). Era Reformasi (1998) telah dapat menutup keran-keran rasuah dan mementingkan kelompok itu menjadi sistem perekrutan yang berangsur membaik. Pada sektor swasta tentu wajahnya lebih bebas, meskipun unsur-unsur rasuah dan kolusi (mengutamakan aspek keluarga dan kelompok) masih tetap ada.

Melihat kepentingan Islam, graduan-graduan Islam mestinya melintasi setiap sektor dan departemen yang ada di dalam pemerintahan. Dunia perbankan-akuntansi-bisnis, kesehatan, angkatan militer dan jajaran kepolisian, pertanahan, pendidikan memerlukan tenaga-tenaga ahli daripada graduan Islam. Khasnya; graduan pengajian al-Qur'an dan al-Hadith perlu menunjukkan kemampuannya untuk "membumikan" ajaran al-Qur'an dan al-Hadith dalam keseharian, seperti yang dilakukan oleh penulis-penulis Nusantara, diantaranya Falsafah Hidup oleh Hamka, "Membumikan al-Qur'an" oleh M. Quraish Shihab, dan lain sebagainya. Graduan Pengajian Dakwah dan Pembangunan Insan perlu menubuhkan satu kajian yang baik tentang Dakwah Islam yang rahmat li al-'alamin, dakwah kultural yang humanis, dan lain lagi. Bagi para graduan Aqidah dan Pemikiran Islam perlu juga melahirkan tradisi berfikir yang boleh melindungi Islam dari gaya pemikiran, watak, dan perilaku ala Iblis (Diabolisme Pemikiran) [baca Syamsuddin Arif, Diabolisme Pemikiran Islam, 2008; 143-147).

Jika orientasi kerjaya para graduan Islam itu sebatas mengejar peluang menjadi pegawai kerajaan (pegawai negeri sipil), memanglah sangat pelik. Selain daripada keterhadan lapangan, tentunya kos dari masing-masing departemen itu sangat bergantung kepada budget kerajaan. Oleh itu, jangan berfikir untuk "mencari" pekerjaan tetapi bagaimana memulai dengan azam untuk "mencipta" pekerjaan. Selain itu, manfaatkan setiap peluang yang ada, sehingganya tidak menjadi beban kepada pemerintah dan orang lain.

Menambah kaedah kecemerlangan di dunia kerjaya ini, penulis mahu mengutip daripada milist tetangga kita, Brunei Dar al-Salam. Mereka melihat perlunya para graduan Islam akan kemahiran, inisiatif dan cekap berkomunikasi. Hal itu disampaikan oleh Duli Yang Teramat Mulia Paduka Seri Pengiran Muda Mahkota Pengiran Muda Haji Al-Muhtadee Billah, Menteri Kanan di Jabatan Perdana Menteri berkenan mengurniakan Anugerah Pelajar Terbaik kepada seorang graduan di Majlis Konvokesyen Ke-16 Institut Teknologi Brunei (ITB), Berakas, Isnin, 21 Mei 2007 yang lalu.

Pada kesempatan itu DYTM berpesan, graduan hendaklah mempunyai kemahiran (penulis melihat ini sebagai bahasa lain daripada skill/profesionalisme) dan ilmu pengetahuan, inisiatif, latihan praktikal, mahir dalam berkomunikasi dan cekap dalam bahasa Inggeris, di samping latihan yang diterima dari institusi pengajian tinggi. Ini adalah ciri-ciri yang perlu diambil perhatian untuk menjadikan graduan yang boleh dipasarkan di peringkat antarabangsa dalam memasuki pekerjaan lebih mencabar.

DYTM juga menyarankan supaya pihak-pihak berkepentingan di negara ini akan meneruskan usaha dalam memastikan apa jua rancangan pendidikan atau kursus yang hendak ditawarkan perlulah lebih memfokus kepada bidang atau kerjaya di sektor yang menghendakinya demi mengelakkan satu daripada punca pengangguran siswazah iaitu 'mismatch' ataupun kemahiran graduan tidak sesuai dengan keperluan majikan. Terdahulu DYTM bersabda, pengangguran di kalangan lepasan graduan masih wujud di negara ini sungguhpun pelbagai usaha telah diambil oleh kerajaan dan pihak sektor swasta dalam menangani permasalahan tersebut. "Dalam menyahut cabaran ini, graduan hendaklah juga bersedia merebut peluang yang terbuka luas walaupun terpaksa meninggalkan negara untuk bekerja".

DYTM, dalam sabdanya juga menyeru para graduan agar dapat menjadikan diploma yang diperolehi sebagai wadah ke arah menuntut ilmu yang lebih jauh dan luas yang mapan dan syumul. "Janganlah mudah berpuas hati dengan apa yang telah dicapai, malah hendaklah menanamkan azam dan tekad untuk memburu kecemerlangan dalam kemahiran".

Oleh yang demikian sabda DYTM adalah menjadi tanggungjawab para graduan untuk membuktikan kepada masyarakat bahawa mereka merupakan produk yang berkualiti, bertanggungjawab dengan memiliki daya saing dan daya tahan yang teguh serta mempunyai pengetahuan serta kemahiran dan iltizam yang tinggi. (http://www.brunet.bn/news/pelita/23mei/2007/ ).

Pada ulasan epilog ini, penulis ingin menegaskan bahawa, dengan kecekapan dan profesionalisme tinggi [qul kull ya'mal 'ala shakilatih] para graduan Islam, tidak lagi akan dihadapkan pada masalah; sulitnya menempuh dunia kerja yang kian kompetitif dan mencabar. Wa Allahu A'lam….

*Pelajar Master Pengajian Islam University of Malaya
S1 (IAIN Imam Bonjol Padang)
S2 (University of Malaya)
**Profesor Tafsir pada Jabatan al-Qur'an dan al-Hadith University of Malaya
S1 (Univeristy of Malaya)
S2 (University of Jordan)
S3 (University of Wales United Kingdom)

Selasa, 02 September 2008


Madrasah Ramadan: Mengasah Sebuah Kesalihan Lain
Oleh: Jannatul Husna*

Ramadan kali ini disambut oleh kaum Muslimin dengan suasana yang amat beragam, ada yang senang dengan tatapan senyum sumringah-nya, dan ada sekelompok lain yang masih bergelut dalam kesedihan, karena ranahnya dihantam oleh peliknya masalah kenaikan harga minyak global, yang turut memacu harga kebutuhan pokok dan masalah sosial lainnya. Bagi negeri yang menghadapi gejala sosial-politik, kenaikan harga minyak dan kenaikan harga sembako, tidaklah perlu larut dalam keluh-kesah karena tidak jauh di belahan sana, saudara kita menghadapi Ramadan dengan penuh cabaran, mereka tidak sempat untuk memikir apa yang akan dimakan saat berbuka dan tatkala sahur, karena iklim perjuangan jihad yang luar biasa padat dan hebatnya, mereka mencari kemerdekaan di ranah mereka sendiri. Tanah tumpahnya dicabik-cabik oleh beringas-kejamnya kolonial modern. Mereka tidak saja kehilangan harta, keluarga, tetapi mereka juga kehilangan kesempatan untuk menyempurnakan saum di siang hari dan qiyam Ramadan di malam hari. Tapi jangan dikira, bahawa ibadah Ramadan kita jauh lebih baik daripada ibadah puasa dan jihad mereka itu.

Apa yang mungkin tumbuh dari Madrasah Ramadan kita kali ini? Adakah kepekaan sosial kita tersadar dan bangkit dengan latihan Ramadan? Betapa susahnya kita menahan pedihnya lapar dan peliknya haus-dahaga saat makanan dan minuman terhidang di hadapan kita. Mereka yang kurang beruntung secara materi, sudah sangat akrab dengan suasana seperti itu, dan akan lebih berat lagi bagi saudara kita yang di suasana lapar harus memegang senjata di medan perang.

Kemerdekaan Ramadan kali ini harus termanfaatkan secara maksimal, menumbuhkembangkan rasa peka terhadap sekitar. Kalau bukan sumbangan materi, sekurangnya sumbangan pemikiran buat sesama. Sehingga kesalihan individual (ritual) kita berjalan seimbang dengan kesalihan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kesalihan sosial. Semoga!

Marhaban ya Ramadan....

*Pelajar Master Univ. Malaya
Kuala Lumpur