Senin, 23 Juni 2008

Sumber Energi Mineral itu Ternyata dari Negeri yang Dilupakan

Oleh: Jannatul Husna

Satu lagi diantara potensi sumber daya alam Kabun yang dicicipi manfaatnya oleh khalayak. Setelah batu bara, sekarang airnya direguk oleh lebih 5 ribu jiwa penduduk kota Muaro Sijunjung dan daerah sekitar Tanjung Ampalu. Walau sumber energi mineral itu dinikmati dan menyelamatkan banyak pihak, namun apa asas manfaat yang dapat dirasakan oleh putra-putri dan masyarakat daerah malang itu? Hampir dipastikan tidak ada, kalaupun janji pemberian lampu PLN, namun diganti dengan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), yang dayanya jauh lebih rendah dari PLN. Ongkos pengadaannya pun tentu di bawah standar, alias lebih murah. Bukan tidak ingin mensyukuri apa yang telah diberikan Pemerintah, tetapi persoalan janji perlu perhatian lebih. Jangan lagi ada pembohongan publik yang mereka memang sudah naif dan lemah secara intelektual. Tidakkah lebih mendidik sekiranya Pemerintah Daerah mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Air, dimana sumber air daerah Kabun dapat dijadikan andalan. Bila ini diwujudkan bersama masyarakat, tentu akan menyerap tenaga kerja yang lebih besar dan daya listrik yang lebih tinggi. Pada akhirnya, berkurang sudah angka-angka pengangguran dan berkembang tekhnologi mikro ke-listrik-an. Wallahu a'lam....

Sabtu, 21 Juni 2008

Oh...Freeport No...

Oleh: Yermias Degei

Ketika tulisan saya berjudul “Tanah ini Saya Punya Tubuh...” dimuat di media ini (www.wikimu.com) edisi Minggu, 29 April 2007, Bajoe menanggapinya dengan sungguh kritis. Bajoe kurang sependapat atas isi pernyataan yang mengatakan bahwa eksploitasi kekayaan alam Papua sudah direncanakan sejak era Presiden Soekarno.

“Kalau sedikit kita melongok sejarah, era Orde Lama (Soekarno) dengan era Orde Baru (Soeharto) sangat berbeda bahkan bertolak belakang secara ideologi atau cara pikir. Bila di masa Soekarno, aku yakin 100% Freeport tidak akan memperoleh ijin. Namun dimulainya era Orde Baru (Soeharto) adalah pertanda jatuhnya Indonesia ke tangan dunia Barat dalam hal ini AS, Eropa dan Jepang,” tulis Bajoe mengoreksi.

dan seterusnya agak panjang komentarnya,...

Untuk membuktikan bahwa eksploitasi kekayaan alam Papua sudah direncanakan sejak era Presiden Soekarno, saya mencoba mempelajari beberapa sumber dan melakukan diskusi dengan beberapa teman yang sedang belajar ilmu sejarah. Proses pencarain itu belum memberikan jawaban yang memuaskan. Maka tulisan ini adalah satu bentuk “ralat” atas pernyataan tersebut. Bentuknya ralatnya aneh memang, karena isinya adalah justru memperjelas bahwa proses masuknya Freeport Indonesia di tanah Papua. Yang jelas tulisan ini adalah satu kejujuran, kebenaran dan keberanian saya. Bajoe yang baik, tolong kritisi juga tulisan ini. Saya sengaja memberi judul “Oh..Freeport No...” karena benar-benar bingung.

****

Pada mulanya adalah sebuah feature karya Juan Jaques Dozy tahun 1936 di perpustakaan Belanda (Tabloid Jubi, 17 Oktober 2001). Feature itu melaporkan tentang Gunung Erstberg (Gunung Tembaga) yang begitu tinggi, atau lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut di New Gunea (Papua Barat).

Bulan Agustus 1959 Forbes Wilson, direktur dan pakar top pertambangan di Freeport Sulphur bertemu dengan Jan Van Gruisen direktur pelaksana East Burneo Company sebuah perusahaan yang juga bergerak dalam bidang pertambangan milik Belanda. Grusen baru saja secara kebetulan menemukan feature karya Juan Jaques Dozy tersebut.

Satu tahun kemudian setelah pertemuan tersebut, tepatnya 1 Februari 1960, Freeport Sulphur dan East Burneo Company membuat kontrak kerjasama eksplorasi biji tembaga di Papua Barat. Selama beberapa bulan Wilson menjelajah kawasan Erstberg. Wilson terperancat menyaksikan kekayaan biji tembaga yang terhampar luas di permukaan tanah.

“Inilah keajaiban yang sulit ditemukan di manapun,” tulis Wilson di The Conqust of Cooper Mountain seperti dikutip tabloid Jubi 17 Oktober tahun 2001. “Sekitar 40 sampai 50 persen biji besi dan 3 persen tambang serta masih terdapat perak dan emas. Angka tiga persen itu saja sudah cukup menguntungkan bagi industri tambang. Tiga belas juta ton biji tembaga di permukaan tanah dengan kedalaman 100 meter. Jika untuk memproses 5.000 ton biji tembaga/hari dibutuhkan investasi 60 juta dollar AS, dengan rincian biaya produksi 16 sen dollar/poin.

Sementara harga jual 35 sen/poin, maka dalam tiga tahun saja inventasi itu sudah lunas,” tulis Wilson di The Conqust of Cooper Mountain (baca: Jubi, 2001). Deposit tembaga lebih besar bukan hanya Erstberg tetapi juga Gressberg. Freeport menyebut di areal Gressberg ini tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52, 1 juta ons. Doposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar As dan hingga 45 tahun ke depan masih menguntungkan.

Namun Freeport mengurungkan niatnya segera mengeksploitasi Erstberg. Sementara itu, hubungan Indonesia dan Belanda (yang lebih dulu menguasai Papua Barat) itu sangat genting dan mendekati perang terbuka. Pada tahun 1961 presiden AS John F Kennedy mengutus Ellsworth Bunker sebagai negosiator untuk menekan Belanda dan mengelabui PBB untuk Papua masuk ke dalam Indonesia.

Bunker menghentikan bantuan Mashall Plan dengan alasan khawatir Belanda membiayai senjata untuk melawan Indonesia, (baca Jubi dan Komunitas Papua News). Sementara siasat lain adalah proposal Bunker. Hasil rancangannya berhasil mempengaruhi Belanda dan PBB. Pada tanggal 15 Agustus 1962 telah mengadakan perjanjian New York (Resolusi PBB Nomor 1752), di mana masyarakat Papua akan menentukan status politiknya. Apakah akan ikut Indonesia atau menentukan nasibnya sendiri lewat PEPERA tahun 1969.

Dalam perjanjian tersebut PBB membentuk pemerintahan transisional UNTEA dan menyerahkan status Papua untuk selama 6 tahun (1963-1968) UNTEA menyiapkan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri dengan cara “one man one vote” (satu orang satu suara). Tahun 1963 Amerika bermain sedemikian rupa sehingga PBB menyerahkan mandat kepada Indonesia untuk melaksanakan urusan administrasi mempersiapkan PEPERA tahun 1969 sesuai perjanjian New York (baca Suara Pembaruan, 1/3). Papua yang sedang disengketakan antara Belanda dan Indonesia itu diserahkan kepada Indonesia untuk mempersiapkan bangsa Papua untuk melaksanakan PEPERA.

Sejak adanya mandat tersebut Sukarno mengirim pasukan besar-besaran di tanah Papua dan melakukan operasi militer besar-besaran dengan sandi “SADAR” selama 1965-1968 (Tetro 2006 melalui Tetro, Suara Pembaruan 2006). Selama satu tahun UNTEA menjadi pemerintahan transisi. Pada saat itu orang Papua melakukan perlawananan (aksi protes) sebagai bukti tidak menerima pemerintah Indonesia berkuasa di Papua. Akan tetapi bagi mereka yang melakukan tindakan protes diperlakukan tidak adil oleh militer.

“Masyarakat yang memprotes diperlakukan tidak manusiawi, misalnya diintimidasi, terror, perempuan-perempuan diperkosa militer, besi panas dimasukan lewat dubur, dan berbagai penganiyaan terjadi di tanah Papua,” Pernyataan Sikap Tujuh Suku (Komunitas Papua, 01/3). “Kasus pembunuhan atau perampasan, pelecehan, dan pemerkosaan berjalan dari dulu hingga saat ini. Ini merupakan trauma kolektif rakyat yang sangat menyakitkan dan sulit dihilangkan. …di kampungnya sendiri warga tidak merasa aman dan tidak bebas bergerak,” John Saklil (Kompas, 17/3).

Tanggal 1 Mei 1963 adalah awal yang baru bagi Indonesia dan Amerika Serikat untuk memainkan status Papua menjadi bagian dari NKRI. Banyak cara yang digunakan dalam rangka itu. Tanggal 22 November 1963 John F. Kennedy tewas tertembak. Augustus C Long salah satu petinggi Freeport segera membentuk tim kampanye bagi pemilihan Johnson, pengganti sementara John F Kennedy dalam pemilu presiden tahun 1964. Pada tahun 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasihat intelejen presiden AS masalah luar negeri (Baca Jubi, 2001).

Soeharto mengambil alih kekuasaan tahun 1965 dalam kondisi stagnasi ekonomi dan hiperinflasi, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 2 persen per tahun (Muljanto, 1995). Segala upaya secara militer maupun non militer telah dipersiapkan untuk memastikan kemenangan Indonesia dalam PEPERA 1969, sekaligus mengakhiri polemik internasional tentang status politik Papua yang telah berlangsung dua puluh tahun sejak Konfrensi Meja Bundar (1949-1969).

Sungguh suatu kenyataan, periode 1963-1969 kekerasan telah menjadi Memoria Passionis bagi rakyat Papua. Dalam kondisi seperti inilah kontrak karya PT Freeport ditandatangani oleh pemerintah Indonesia tanpa melibatkan orang Papua. Urgensi tuntutan pelurusan sejarah Papua Barat dan dialog adalah bagaimana mengungkap pembunuhan yang terjadi selama periode ini, (Tetro, 2006).

Akhirnya melalui berbagai rekayasa, intimidasi, teror dan berbagai pelanggaran HAM yang serius, pemerintah Indonesia di bawah bayang-bayang Amerika Serikat memaksa 1025 orang untuk mewakili orang Papua lain memilih Papua adalah bagian wilayah NKRI melalui PEPERA tahun 1969.

Salah satu cara yang tidak luput dari ingatan orang Papua adalah sejak tahun 1967 sebelum Penentuan Pendapat Rakyat Papua yang dikenal dengan nama “PEPERA” tahun 1969; pemerintah Indonesia dan Amerika telah menandatangani kotrak pengeksploitasian tambang emas dan tembaga di Papua.

Status Papua yang belum ditentukan melalui penentuan nasib orang Papua, pemerintah Indonesia sudah melakukan perjanjian atau kontrak antara Amerika dan Indonesia tantang rencana peng-Exploitasian tembaga dan emas di tanah Papua. Sebagai investor pertama setelah UU Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA), dan UU Nomor 11 tahun 1967 tentang pertambagan disahkan, PT FI diharapkan mampu berkontribusi dalam upaya perbaikan prekonomian nasional.

Kepastian hukum dan stabilitas politik, tentunya menjadi pertimbangan utama invenstor asing ketika membuat keputusan melakukan investasi. Namun hal ini tidak dipertimbangkan karena mendapat jaminan dari Indonesia untuk beroperasi selama 30 tahun. Dalam periode tiga puluh tahun kontrak karya I, PT FI mengeluarkan angka US$1,732 miliar, jumlah kontribusi bagi NKRI. Angka ini jika seluruhnya terpakai untuk perbaikan ekonomi nasional maupun perbaikan pelayanan publik di Papua, maka wajah Papua tidak akan sama seperti sekarang ini.

Orang Papua dan khususnya tujuh suku miskin dan terlantar. “Hidup kami terlantar karena lingkungan kami telah dihabisi oleh mesin-mesin raksasa ulah manusia sekarah yang tidak menghargai pesona manusia dan alam. Dari tahun 1967 kami tujuh suku, mengalami dampak negatif yang membawa ancaman terhadap hak hidup. Kami menjadi pemulung terhormat di atas tanah kami. Kami mencari emas di atas tailing untuk memenuhi kebutuhan kami. Tanah kami telah diambil orang. Kami mendulang di tailing yang pada akhirnya cepat atau lambat mematikan kami sendiri”, ungkapan tangisan Mama Yosepha Alomang.

Jadi, intinya adalah pertama sebelum Papua sah menjadi bagian dari Indonesia, tetapi Soeharto telah menekan masuknya PT FI ke Erstberg. Kedua, PT FI telah masuk ke Erstberg jauh sebelum UU PMA Nomor 1 tahun 1967 itu disahkan.

Kabun dan Batu Bara; Aset yang Terlupakan?

Oleh: Jannatul Husna

Sebuah ladang batu bara terhampar cukup luas di daerah Lansek Manih, tepatnya di Kabun Kec. Sumpur Kudus Kab. Sijunjung. Namun catatan kekayaan energi dan potensi alam itu tak tercatat cukup baik oleh pihak berwenang. Lihatlah misalnya dalam web resmi kabupaten http://sijunjung.go.id/, di sana hanya tertera beberapa daerah, namun nama Kabun luput dari pantauan atau mungkin sengaja ditinggalkan karena “pembangkangan” daerah tersebut yang terus saja “ngotot” ingin mendirikan nagari sendiri lepas dari nagari asalnya, Sisawah. Sepatutnya, kalaupun Kabun mencoba “memberontak” di atas kelemahan potensi ber-nagari (tanpa rumah gadang dan balai-balai), mestilah tetap dicatat sebagai bentuk kejujuran dan keakuratan informasi.

Kini, ribuan ton batu bara diangkut dari negeri kaya air bersih itu, puluhan truk lansir tiap hari selama tidak terjadi hujan deras, karena sampai era ini jalan menuju ke sana masih saja “aspal mangambang”. Dari hasil penggalian batu bara, masyarakat telah boleh menikmati tunjangan gratis, tanpa perlu menguras keringat, tiap kepala keluarga bisa mendapatkan fee Rp. 50.000/minggu atau dua kali, tergantung pencapaian batu baranya. Dulu, fee untuk masyarakat berjumlah Rp. 60.000 untuk sekali menerima, namun hal ini harus dipotong untuk kepentingan masjid. Padahal kalau fee batu bara disediakan khusus bagi keperluan infrastruktur yang ada di Kabun, tidaklah akan terlalu memberatkan pihak penambang, asalkan “jatah” untuk masyarakat tidak dikuras seperti itu. Bukankah kita butuh rumah gadang, balai-balai, bahkan pasar mini sekalipun?

Penambangan yang sedang dilakukan di areal batu bara Guguak Mulek Kabun itu, menurut hemat penulis hampir tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, dan ini tentu akan berimbas kepada kerugian yang lebih besar. Abrasi dan kerusakan alam lainnya. Maka dari itu, generasi muda dan pihak-pihak terkait “kudu” melihat masalah ini secara serius dan mendalam. Jangan sampai orang lain menangguk emas meraup kekayaan di pelataran rumah kita, sedang kita sendiri memperoleh ampas dan derita pahit.

Sekarang, hal yang perlu menjadi konsentrasi kita bersama adalah menjaga agar pembagian fee berjalan prosedur dan kesepakatan. Berikutnya meningkatkan semangat kegotongroyongan demi pembangunan Kabun yang lebih baik dan sejahtera, jangan seperti nistanya masyarakat Papua, negeri kaya emas tetapi termarginalkan. Kabun mesti menjadi nagari yang berdaulat, tetapi dalam bingkai strategi politik yang tersusun baik, elegan, tidak anarkhis apalagi “ngotot” membabi buta.

Kabun dengan kekayaan alam dan kegigihan putra-putri terbaiknya semoga tak lagi dilupakan? Amin….

Kamis, 19 Juni 2008

Tradisi Keilmuan Kita

Oleh: Jannatul Husna

Beberapa saat yang lalu, kita telah menyaksikan pengumuman kelulusan pelajar SMU, Aliyah dan SMK tahun ajaran 2007/2008. Untuk Sumatera Barat, sesuai dengan informasi Kepala Dinas Pendidikan, Burhasman Bur angka kelulusan peserta UN tingkat SMA jurusan IPA di Sumbar tahun ini mencapai 95% atau 13.199 siswa dari 13.894 peserta UN. Adapun angka kelulusan peserta UN jurusan IPS sebanyak 87% atau 16.950 dari 19.483 peserta UN. Sementara angka kelulusan peserta UN tingkat SMK mencapai 89% atau 12.508 siswa dari 13.960 peserta UN sedangkan tingkat kelulusan peserta UN tingkat MA mencapai 87% (Media Indonesia,19/6/2008).

Adapun untuk skop Kabupaten Sijunjung, Sebanyak 499 siswa (35 persen) dari 1.391 peserta UN tingkat SLTA tidak lulus. Sembilan dari 499 itu, tidak lulus karena tidak mengikuti UN. Dibanding tahun ajaran 2006/2007 yang tingkat kelulusan 92 persen, pelaksanaan UN tahun ajaran 2007/2008 ini jelas anjlok, karena yang lulus hanya 892 siswa (65 persen) dari 1.391 peserta. “Tapi itulah gambaran kondisi nyata pendidikan di daerah kita,” ujar Rachmanuddin, Kepala Bidang SLTP/SLTA Dinas Pendidikan Kab. Sijunjung (http://sijunjung.go.id/, 15/6/2008).

Menurut banyak pihak, tingkat kelulusan yang rendah ini dipicu oleh tingginya standar kelulusan yang harus mencapai rata-rata 5,25, dan bertambahnya 6 mata pelajaran yang diujikan pun turut menimbulkan kesukaran. Disamping itu, karena berlapisnya pengawasan Ujian Nasional, sehingga menyebabkan grogi pada diri siswa, inkonsentrasi dan dampak psikologis lainnya.

Apapun itu, penulis tidak akan menyorot lebih dalam persoalam ketidaklulusan. Tetapi yang akan kita cermati ialah sudah sejauh mana tradisi keilmuan ideal kita miliki. Sebagai muslim, tentunya ada rumusan pendidikan agar ilmu yang dimiliki bukan sekedar melalui proses transfer of knowledge, melainkan melampaui hingga menyerap dan menjadi prilaku dan membentuk kepribadian utuh, lahir-bathin, intelektual-spritual.

Berikut penulis ingin menyampaikan metode pencapaian ilmu pengetahuan, yaitu:

Pertama, bacalah apa yang terbaik dari yang pernah kita lihat (iqra` ma ahsana ra`ayta).

Semangat membaca adalah yang pertama kali diperintahkan Allah, karena dengan memfungsikan kemampuan nalar intelegensi, maka kita akan mengenal lebih jauh setiap hakikat sesuatu. Kecendrungan membaca ini hampir hilang disebahagian besar umat Islam, kalaupun ada yang pembaca, lebih kepada pembaca bahan-bahan fiktif berupa novel, komik dan penonton sinetron dan telenovela. Jika ditanya, berapa buah buku yang ditamatkan umat Islam hari ini, dalam masa 1 minggu, sebulan bahkan dalam satu tahun, mereka tidak pernah betul-betul menamatkan satu pun. Sebuah tradisi yang buruk, padahal masyarakat non-muslim telah dan terus mengamalkan spirit membaca ini.

Kedua, tulislah apa yang terbaik dari yang kita baca (uktub ma ahsana qara`ta).

Sebuah kebiasaan yang hampir di setiap kalangan sulit ditemukan. Di pengajian, dan forum-forum ilmiah pun banyak yang tidak mau menulis poin-poin penting setiap pembicaraan. Padahal ilmu itu bagaikan binatang buruan yang liar, harus diikat dengan tali yang kuat, yaitu dengan ditulis. Ilmu itu bukan saja di dada (al-ilmu fi al-sudur), tetapi ilmu juga harus tersimpan di dalam catatan (al-ilmu fi al-suthur). Bukankah pengalaman telah membuktikan, betapa kemampuan otak tidak selalu dapat mengingat setiap yang ditangkap panca indra. Baru saja ceramah selesai, pesan-pesan dakwah sudah raib dalam ingatan, meskipun kita belum sampai di tepi teras rumah. Begitu penting catatan itu, Allah mensinyalir : ‘allama bi al-qalam (yang mengajrakan manusia lewat perantaraan pena).

Ketiga, hafallah apa yang terbaik yang kita tulis (ihfazh ma ahsana katabta).

Hampir telah menjadi kecendrungan setiap pelajar, mengulang pelajaran hanya sewaktu akan mengikuti ujian, baik naik kelas, maupun menempuh kelulusan. Sementara petuah pasa jalan dek baturuik, lanca kaji dek baulang” hafal benar dalam ingatan, tetapi dalam praktiknya, sekembali dari sekolah buku-buku pun disimpan di dalam tas, di lemari dan bahkan terlempar ke sudut-sudut ruangan.

Keempat, amalkan yang kita hafal (i’mal ma hafizhta).

Agar ilmu tidak sekedar melewati aspek kognitif, maka perlu pengamalan (psikomotor). Pengejawantahan ilmu akan memberikan kesan mendalam kepada setiap pencari ilmu. Ilmu yang tak dipraktikkan hanya bagai pohon rindang tanpa buah. Dampak perubahan pun tak terlihat jika orang yang berilmu tidak bekerja sesuai keilmuannya. Al-ilmu bila ‘amalin ka al-syajari bila tsamarin, demikian seorang syair.

Sekiranya metode belajar ini dapat dijalankan semua kalangan, maka tiada lagi beban banyaknya mata ujian, tingginya standar kelulusan dan ketatnya pengawasan. Sebab, semuanya pertanyaan dan jawaban telah dikuasainya dengan baik, di dalam memori bukan di luar kepala. Wallahu a’lam.

Jannatul Husna

Pengajian al-Quran dan al-Sunnah

Rabu, 18 Juni 2008

Mengayomi Kebaikan: Landasan Awal

Menjadi Berdaya Guna

Menjadi insan ideal, yang dapat memberi manfaat buat dirinya dan orang lain, tentulah cita-cita mulia. Sebuah pekerjaan yang terkadang membutuhkan energi ekstra, karena tidak jarang berbenturan dengan sentimen dan kepentingan individual. Visi kehidupan "Menjadi Berdaya Guna" harus tetap wujud, meskipun kerikil dan bebatuan kerapkali menghadang. Khair al-nas anfa'uhum lil al-nas....
Semoga,
Jannatul Husna