Rabu, 27 Agustus 2008

Internet Desa atau Internet Keliling
Oleh: Jannatul Husna*

Seketika masa dahulu, pernah terdengar, bahkan sebahagian kita mungkin—barangkali—pernah terlibat dalam program. seperti ABRI Masuk Desa (AMD), Koran Masuk Desa (KMD), Listrik Masuk Desa (LMD) dan lain sebagainya.

Program AMD yang dikoordinir oleh para angkatan bekerjasama dengan masyarakat, dimaksudkan untuk menggiatkan pembangunan infrastruktur di daerah pedesaan, pedalaman dan wilayah terisolir lainnya. Semisal pembangunan kantor desa, sekolah, jembatan, pasar, jalan diselingkaran kampung berkenaan bahkan juga tempat ibadah, seperti surau dan masjid.

Sedang agenda KMD dan LMD seyogyanya untuk meningkatkan sumber daya manusia dan efektifitas kerja masyarakat daerah pedalaman itu. Dimana dengan keberadaan koran ataupun surat kabar lainnya, masyarakat telah dapat menimba informasi tentang dunia luar. Sementara LMD boleh menghidupkan suasana kampung di malam hari, meningkatkan geliat industri rumah tangga, disamping itu juga mampu meningkatkan kinerja warga untuk terus belajar dan bekerja membangun ranahnya.

Pemakaian nama desa, karena dari zaman dahulu sampai hari ini—kecuali di Sumatera Barat, namanya Nagari— menunjuk kepada komunitas yang terendah. Desa adalah tempat dimana akses informasi dan transportasi belum lagi begitu berkembang layaknya kehidupan kota. Keberadaan program-program di atas telah membangkitkan semangat generasi muda pedesaan untuk mengais kegemilangan dalam belajar dan menghadapi kehidupan yang kian kompetitif.

Setelah agenda itu lama stagnan, antara hidup tapi tak kelihatan geraknya dan mati tak jelas pula dimana kuburnya. Akhirnya pemerintah menggebrak agenda baru yang cukup ’memberangsang’ generasi untuk mencintai buku dan menumbuhkan minat baca. Yaitu dengan adanya perpustakaan keliling [mudah-mudahan ngak sekedar berkeliling saja].

Namun mungkin belum ada yang membuat gebrakan yang satu ini, entah karena ongkosnya yang terlalu tinggi atau lagi-lagi karena sumber daya manusia yang akan mengelolanya yang masih sangat langka. Yaitu, internet keliling atau internet desa. Sebuah program briliant yang telah dipopulerkan oleh masyarakat modern. Internet desa, mungkin di beberapa tempat telah ada.

Cukup dengan wireless dan beberapa perangkat komputer, masyarakat telah mampu melayari dunia maya, dunia tanpa tepi. Untuk kasus Negara Malaysia, terlaksana berkat kerjasama antara mentri Luar Bandar (Daerah Tertinggal), Pendidikan, Komunikasi dan Perusahaan Otomotif. Sebuah gagasan yang mungkin masih sangat melangit, tapi yakinlah tidak lama lagi arus peradaban modern itu bakal menggilas tradisi kita yang masih lelap dipinggiran tradisi. Wallahu a’lam.


*Pelajar Master University of Malaya
Kuala Lumpur
014-2654654

Senin, 18 Agustus 2008

Pendidikan: Investasi Takkan Pernah Rugi
Oleh: Jannatul Husna*

--education is the most valuable investment--
pendidikan adalah investasi yang sangat bernilai
[kutipan pidato Abdullah Ahmad Badawi—Prime Minister of Malaysia]

Sebuah Landasan

Pendidikan: Investasi Takkan Pernah Rugi, sebuah tajuk yang terinspirasi oleh perjalanan hidup Imam Ali bin Abi Talib ra. Ketika dia ditanya, mengapa lebih memilih ilmu (pendidikan) daripada harta [kekayaan materi]? Lalu sang Khalifah menjangkakan seribu jawaban boleh beliau tunjukkan, kenapa menjadikan ilmu sebagai pilihan, bukan yang lain termasuk harta benda. Diantara jawaban itu ialah “ilmu adalah investasi yang takkan pernah rugi [hilang]; jika kita berikan kepada orang lain dia malah kian bertambah, sedang harta ia akan semakin berkurang. Selanjutnya dia menyebut ilmu sebagai penjaga dan penyelamat tuannya, adapun harta benda, malah menuntut sebaliknya, mesti dijaga oleh tuannya”.

Begitu pentingnya kehadiran ilmu ditengah kehidupan seseorang, komunitas dan suatu bangsa, maka tumpuan kepadanya pun menjadi amat realistis. Ini jugalah—menurut hemat saya—maka ilmuan Islam terdahulu mengingatkan kita, akan hikmah (ilmu) adalah investasi yang pernah hilang dari kaum muslimin (al-hikmah dallat al-muslim), karena itu dimanapun ia dijumpai, pungutlah! meskipun ia muncul dari mulut orang gila sekalipun. Jauh sebelum amaran ilmuan-ilmuan Islam ini, Sang Pencipta Alam Raya, Allah Swt., sudah mengingatkan kita terhadap pentingnya ilmu pengetahuan. Iqra’ bismi Rabbika alladhi khalaqa (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan), iqra’ wa rabbuka al-akram (bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Mulia).

Iqra’ bukan saja dimaksudkan sekedar membaca yang tertulis (utlu; tala, yatlu, tilawah), tetapi ianya meliputi kajian yang lebih jauh dan mendalam; membaca yang tersirat, menelaah lebih komprehensif atas kajian pelbagai hal, mengumpulkan seluruh maklumat, sehingga menjadi suatu ilmu yang integral, berguna dan berlaku universal. Setidaknya inilah diantara maksud dari pembacaan terhadap iqra’ dalam perspektif al-Qur’an.

Pendidikan dalam Komunitas Suatu Bangsa

Melihat urgensi ilmu pengetahuan, sejurus setelah kemerdekaannya, 31 Agustus 1957 sekitar 12 tahun lebih lambat dari kedaulatan Negara Indonesia diproklamirkan, kawan-kawan kita dari Malaysia (Malaya—tempo doeloe) belajar ke Indonesia [directly] dan mengundang banyak tenaga pengajar Indonesia untuk mengajar di tempat mereka [indirectly]. Mereka menuntut dalam banyak lapangan keilmuan, mulai dari belajar agama, sains, tekhnologi sampai ranah kesehatan (perubatan), dan masih banyak bidang lainnya. Masyhurlah semasa itu, ungkapan Indonesia sebagai kakak ataupun mahaguru untuk Malaysia.

Kondisinya hari ini menjadi agak terbalik, dimana pemuda-pemuda Indonesia lebih memilih belajar ke Malaysia berbanding dengan pemuda Malaysia belajar ke Indonesia. Meskipun asumsi ini tidak semuanya benar, tetapi keunggulan fasilitas pendidikan di negeri Jiran telah menarik minat generasi muda kita untuk melakukan rihlah ilmiah ke sana. Satu fakta yang amat sulit untuk disangkal meskipun kita berdebat menghabiskan ruang dan masa menolak kenyataan tersebut. Disamping keunggulan fasilitas, universitas-universitas di negara tetangga kita itu pun menawarkan banyak kemudahan disamping menyediakan angkos yang besar bagi menggalakkan kajian ilmiah dan penelitian dalam berbagai aspek keilmuan. Apa yang dinyatakan oleh Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi beberapa waktu yang lalu tentang “pendidikan adalah investasi yang besar dan kita perlu mendukung dengan budget yang besar pula, tentunya” memang terbukti jelas [riil] di banyak institusi negara ini.

Sementara di ranah kita, Indonesia. Elit politik masih saja bergelut dengan wacana anggaran 20% bagi peningkatan kualitas pendidikan. Dan yang lebih menyedihkan, kita terlampau sibuk dengan menyangsikan upaya pemerintah dalam mewujudkan cita-cita itu. Bahkan setengah kelompok elit [politisi—atau politikus?] gandrung mengklaim ungkapan pemerintah sebagai bentuk kampanye menyongsong tahun pemilu 2009 mendatang. Sepatutnya kelompok-kelompok “UUD” ini menyokong sepenuhnya upaya pemerintah, karena mereka [pemerintah] telah ingin berbenar-benar dengan konstitusi pendidikan yang telah diundangkan, yaitu tentang anggaran pendidikan harus lebih besar karena dia boleh menjana generasi gemilang di masa yang akan datang.

Secara jujur dan elegan kita tidak perlu merasa malu, jika sedikit belajar ke negeri tetangga. Bagaimana kita mengelola aturan pendidikan, dan mengejawantahkan semua sistim itu secara jujur. Kita harus menerapkan disiplin pendidikan secara riil bukan sekedar wacana, semisal Gerakan Disiplin Nasional [GDN]. Menjunjung tinggi nilai-nilai ketulusan ilmiah dengan menumpas setiap gejala plagiasi dan budaya mencontek serta melihat jimat sewaktu ujian. Mengelola perpustakaan—sebagai jantung ilmu pengetahuan—dengan sistim tekhnologi maklumat mutakhir, sebab gelanggang perpustakaan tradisional, manual hampir telah ditinggalkan komunitas masyarakat modern. Karena cara-cara lama seperti itu hanya akan menyulitkan dan menghabiskan masa yang terlalu banyak. Orang sudah merengsek jauh ke hadapan sementara kita masih saja gerak jalan tapi di tempat semula saja?

Jika anak dan bangsa kita mengedepankan egoisme, maka tawaran untuk belajar banyak hal kepada negeri Jiran ini mungkin dianggap sebagai sesuatu yang tidak layak, mengada-ada dan terlalu cepat. Mengapa merasa bangga sambil berujar “pengkajian ilmiah di negara kita masih jauh lebih baik, kok!”. Padahal tinjauan itu dilihat dari satu aspek, dimana setiap kita boleh membongkar segala sesuatu dan meninjau semula (kembali), tidak kira aqidah tauhid yang telah mapan sekalipun. Yang teramat naïf adalah ketika kelompok-kelompok studi Islam di tanah air turut bertekad mengikuti pasukan al-Qur’an edisi kritis [critical edition to the Qur’an]. Sebuah upaya masyarakat jahiliah modern yang mencoba menjadi lebih hebat dari Tuhan dan merasa memiliki otoritas untuk merevisi kalam-Nya. Na’udhubillah.

Jika ada hikmah dan kebaikan pada sesuatu kaum, mengapa bangsa kita tidak mengambil kira (perhatian) perkara itu? Bukankah Allah telah mensinyalir “wa tilka al-ayyam nudawiluha bayna al-nas—dan hari-hari (kecemerlangan) itu akan digulirkan diantara manusia”. Semoga ke-egoan kita dikalahkan oleh nilai-nilai kebenaran. “Unzur ma qala wa la tanzur man qala—lihat substansi [nilai] kebenaran yang disampaikan, jangan pernah melihat siapa orang yang menyampaikan”. Wallahu a’lam.


*Pelajar Master Akademi Pengajian Islam
University of Malaya
Kuala Lumpur

Jumat, 15 Agustus 2008

Seiras Tapi Tak Sama: Kajian Terhadap Huruf Fa’ dan Thumma dalam al-Qur’an
Oleh: Jannatul Husna*

Menarik sekali jika mendengarkan huraian keindahan dan ketinggian dhouk bahasa al-Qur’an yang selalu disampaikan oleh Prof. Dr. Zulkifli Mohd Yusoff di Ikim FM setiap pukul 7.30 pagi sampai sekitar pukul 8.00. Pensharah penulis, pada Jabatan al-Quran dan al-Hadith Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya ini dengan sangat apik dan padat telah mendedahkan tajuk “Seiras Tapi tak Sama” kepada khalayak. Kajian-kajian ilmu al-Qur’an yang disampaikan oleh Alumni Master of Art University of Jordan dan PhD Ulum al-Qur’an pada University of Wales United Kingdom ini telah kembali membangkitkan minat penulis untuk mengeksplor semula perbahasan kajian bahasa al-Qur’an. Apa yang telah disampaikan mengingatkan saya kepada ustaz Dr. Saidan Lubis, semasa saya menuntut dahulu di Madrasah Aliyah Program Khusus di Padang Panjang Sumatera Barat. Dianya sangat memiliki minat yang tinggi dalam bidang bahasa al-Qur’an ini. Hafizahu Allah—semoga Allah selalu memberi perlindungan kepada beliau.

Pagi ini, Jumaat 15hb Ogos 2008, Prof. Zulkifli telah mengembalikan nostalgia ilmiah saya itu kepada penjelasan ustaz Dr. Saidan semasa di MAPK tempo dahulu. Dipandu oleh pengerusi majlis Ikim FM, Ust. Zamri (kalau saya tak silap), Prof. menjelaskan perkara huruf fa’ dan thumma serta implikasinya kepada tafsir al-Qur’an.

Prof. Zulkifli, dengan mengikut pandangan al-Iskafi menjelaskan bahawa antara huruf fa’ dan thumma mempunyai perbezaan yang jauh. Kalau huruf fa’ menunjukkan hasil yang cepat dan tidak memerlukan masa (gap) yang lama, tetapi huruf thumma memerlukan masa (gap) yang agak lama, ada kelengahan dan yang seumpama dengannya. Prof. menunjukkan ayat QS. Al-Kahf: 57 yang berbunyi, “waman azlamu mimman dhukkira bi ayat Rabbihi fa a’rada ‘anha wa nasiya ma qaddamat yadahu…”. Dan ayat QS. Al-Sajadah: 22 yang berbunyi, “waman azlamu mimman dhukkira bi ayat Rabbihi thumma a’rada ‘anha inna mina al-mujrimin muntaqimun”.

Ayat QS. Al-Kahf: 57 yang disebutkan dengan memakai huruf fa’ (fa a’rada) mengisyaratkan hukuman bagi mereka yang menentang ayat-ayat Tuhan itu akan diberlakukan di dunia, tanpa perlu menunggu kedatangan periode akhirat (hari kiamat). Hukuman di dunia iaitu semisal Allah menutup pintu hatinya. Sedangkan ayat QS. Al-Sajadah: 22 yang disampaikan Allah dengan memakai huruf thumma (thumma a’rada) menunjukkan hukuman itu akan ditimpakan di akhirat kelak.

Selain menghurai ayat di atas, Prof. sebelumnya. juga telah menggiring pendengar dengan contoh penggunaan huruf fa’ dan thumma yang amat mudah untuk dipahami. Dia berkata, “Dia sarapan pagi, lalu (dengan huruf fa’) bergegas ke pejabat”. Artinya tidak menghendaki masa yang lama antara dia sarapan dengan pergi ke pejabat. Contoh yang kedua, “Dia tidur di dalam kelas, lalu (dengan menggunakan huruf thumma) dia gagal dalam pengajian”. Artinya menghendaki masa tertentu antara dia tidur di kelas dengan informasi gagalnya dia dalam pengajian.

Apa yang telah didedahkan Prof. ini ingin saya kongsikan pula dengan penjelasan al-Ghalayayni dalam Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah dan Sibawayh dalam al-Kitabnya. Pada bab “Ma’ani Ahruf al-‘Ataf”, al-Ghalayayni menjelaskan tentang makna huruf fa’ itu dengan “takunu li al-tartib wa al-ta’qib”. Dia memberi contoh kepada “ja’a ‘Aliyy fa Sa’id—Ali telah datang lalu si Sa’id”. Maksudnya antara kedatangan Ali (yang pertama) dengan Sa’id (yang kedua) tidaklah memerlukan rentangan masa (bila muhlah bayna maji’ihima).

Adapun mengenai huruf thumma, al-Galayayni mencatat bahwa ianya “takunu ti al-tartib wa al-tarakhiy”. Dia memberi contoh yang hampir sama dengan sebelumnya “ja’a ‘Aliyy thumma Sa’id—Ali telah datang lalu (kemudian) si Sa’id”. Maksudnya antara kedatangan Ali dengan Sa’id memerlukan masa yang agak lama (wa kana bayna maji’ihima muhlah). (al-Ghalayayni; 1417H/1997M, 245. j. 3).

Sementara jauh sebelumnya, Sibawayh turut menulis perkara ini pada “bab al-fa’” dalam al-Kitabnya. Dia telah mengutip ayat QS. Al-Nahl: 40 dan QS. Yasin: 82 tentang “kun fa yakun”. Dianya berkata “ka’annahu qala [innama amruna dhak fa yakun]—seolah-olah (Allah) berfirman [sesungguhnya urusan kami begitu, maka jadilah ia begitu]”. Penjelasan al-Imam fi al-Nahw ini seolah-olah menunjukkan tidak ada lagi rentang masa, ketika huruf fa’ dipakaikan dalam sebuah pernyataan. (Sibawayh; 1420H/1999M, h. 39, j. 3).

Pada bagian lain Sibawayh menulis “in ta’tini fa ana sahibuka—jika anda datang kepada saya, maka saya adalah teman anda” (ibid. h. 72, j. 3). Kenapa tidak digunakan huruf thumma, ataupun waw? Agaknya kerana masa yang diperlukan untuk berteman itu tidak jauh lagi. Asalkan dia datang, maka dia sudah boleh langsung menjadi teman, tidak perlu menunggu nanti apatahlagi esok. Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan
Al-Shaikh Mustafa al-Ghalayayni. 1417H/1997M. Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah. Beyrut: al-Maktabah al-‘Asriyyah. cet. 33

‘Umar bin Uthman bin Qambar “Sibawayh”. 1420H/1999M. al-Kitab. Tahqiq: Imil Badi’ Yakub. Beyrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Cet. 1
*Pelajar Master APIUM
Kuala Lumpur
014-2654654

Jumat, 08 Agustus 2008

Menepuk Dada atau Malah Mengurutnya
Oleh: Jannatul Husna*

Sesaat yang lalu saya telah menulis tentang kekayaan alam (Sumber Daya Alam) Kabun. Tulisan itu sempat saya kirim ke laman web resmi Kab. Sijunjung, http://sijunjung.go.id/. Apakah mereka bersedia mem-publish atau tidak, setakat ini saya belum lagi mendapatkan konfirmasi apa-apa. Apapun akhirnya, walau tidak disebar cukup luas, yang penting gubahan pemikiran itu telah bisa dibaca di mailing list kobun_revolution yang dinakhodai oleh saudara saya, Condra Antoni, S.S., jauh di pulau Batam sana. Kalau pembaca ada waktu senggang, boleh juga melawat blog pribadi saya, http://jannatulhusna.blogspot.com/.

Upaya lewat tulisan ini sesungguhnya secuil dari bentuk pengabdian saya terhadap kampung halaman. Dimana upaya lisan telah juga pernah ditempuh, tetapi sekarang ruang dan waktu telah menyekat saya dengan kampung halaman. Setidaknya tulisan-tulisan ini akan terus membangkitkan ghairah kawan-kawan satu negeri dimana dan siapapun dia, untuk sedikit meluangkan energi berfikirnya bagi kemajuan Kabun di masa datang. Diakui mungkin coretan-coretan ini tidak cukup baik untuk melukiskan perasaan hati yang lagi kelu melihat perkembangan Kabun dari satu masa ke masa berikutnya.

Tulisan yang lalu ditulis dengan gaya yang sedikit meluap-luap, terlalu bangga dengan kekayaan alam sendiri, dimana saya ber-euforia (kebanggaan yang berlarutan) disamping merasakan kesedihan. Bagaimana tidak, kekayaan sebegitu banyak tetapi tidak memberi perubahan sangat berarti bagi kampung secara keseluruhan. Sikap saya ini mungkin terlalu berlebihan, tetapi mudah-mudahan bisa membuka mata orang banyak, betapa kegalauan ini harus menjadi milik kita semua, termasuk anda pembaca. Saya yakin, masih ada setengah orang yang punya sikap pilu seperti saya, bahwa Kabun belum berubah, baik dari segi infrastruktur negeri maupun dari segi sikap (cara pandang hidup) termasuk sikap politik untuk mendirikan Nagari yang otonom.

Kalau sekedar berbangga dengan warisan alam, dimana di negeri kita tersimpan ribuan ton batu bara, tersedia cukup air bersih, terhampar luas ladang getah sebagai sumber pendapatan, dsb. Tidaklah akan mungkin merubah keadaan sosial, politik, pendidikan, dan strata masyarakatnya. Karena apalah arti negeri kaya, tetapi dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh orang luar. Ibarat penonton bola yang bersorak-sorai tanda gembira, tetapi yang mencipta kemenangan adalah orang lain. Di ranah kita orang berpesta, tetapi kita (sebagai tuan di rumah sendiri)tidak diundang, bahkan sisa-sisa pestanya pun tidak dihibahkan. Sebuah pemandangan yang amat miris dan menyedihkan.

Kebanggaan terhadap tanah tumpah, negeri yang dikaruniai emas hitam dan air bersih sebagai sumber kehidupan, wajar adanya. Tetapi akan lebih terhormat jika “nature resource” itu diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusianya (human resource). Pertanyaannya, seberapa banyak orang di negeri ini yang lebih memilih sekolah (berpendidikan) daripada mendapat sepedamotor dan fasilitas lain dari orang tuanya? Seberapa banyak mereka yang menyokong pendidikan anak-anak Kabun daripada mereka yang (malah) mematahkan semangatnya? Mari kita jawab bersama, dan paradigma masa lalu harus segera dikubur, yaitu sekolah setinggi apapun toh kita akan ke sawah, ke ladang, manakiek gota, poi batobo juga, dst. Mari mencipta tekad baru, bahwa sekolah bisa mengangkat derajat kemanusiaan, taraf hidup dan membuka cakrawala tentang dunia yang luas ini.

Sekitar bulan Mei 2008 lalu, saya pernah berkunjung ke markaz air bersih Sanjung Tirta Buana Muaro Sijunjung, dimana sumber utama airnya adalah dari Kabun, kampung kita nan tersuruk itu. Saya bertanya soal rekrutmen pegawai PDAM, kapan penerimaan pegawai/tahun, kelayakan (persyaratan akademik dan adm) serta kemungkinan putra daerah Kabun menjadi karyawan di sana. Dari jawaban pegawai itu, saya menangkap signal bahwa sedikit sekali peluang bagi Putra Asli Daerah Kabun untuk dapat masuk menjadi pegawai di sana. Alasannya singkat saja, yaitu sumber daya manusia yang masih lemah, ditambah dengan perusahaan PDAM telah memberi jatah satu orang untuk pihak punya ulayat menjadi karyawan mereka, walau bukan posisi strategis, ex. pengambil kebijakan dan yang seumpama dengannya. Dan itu menurut mereka sudah cukup mengobati kekecawaan masyarakat Kabun.

Bila dilongok lebih jauh ke sisi lain, yaitu penambangan batu bara, lagi-lagi kita ingin menyoalkan seberapa banyak PAD Kabun yang dibawa masuk ke dalam sistem penambangan? Walau ada sebagian kecil dari pewaris tanah leluhur ini yang bisa membawa alat berat (seperti eskapator, galedor, dll). Tapi kenapa masih saja orang luar yang dipekerjakan? Tidakkah unggukan kekayaan alam di Guguk Mulek ini perlu melibatkan penduduk tempatan. Atau relakah kita dengan penerimaan fee yang tidak seberapa itu?

Bagai menepuk dada karena bangga merasa sangat kaya, tetapi sebenarnya kita perlu mengurut dada, karena kita tidak bisa berbuat apa-apa. Wallahu a’lam.


*Pelajar Master University of Malaya
Kuala Lumpur
+6014-2654654

Selasa, 05 Agustus 2008

KAJIAN TERHADAP KITAB I’RAB AL-QUR’AN
Oleh: Jannatul Husna
IGB080008


Mukaddimah

Mempelajari al-Qur’an adalah suatu keniscayaan dalam Islam. Agar hidup tidak terjejas kepada lembah kelam (al-zulumat) dan memperolehi maklumat yang jelas lagi lurus (al-nur). Oleh itu, para ulama terdahulu dan terkemudian memberi panduan dalam menangkap kepahaman terhadap al-Qur’an, salah satu diantara usaha kearah itu ialah dengan mengkaji al-Qur’an daripada segi i’rabnya. Menelusuri makna-makna al-Qur’an melalui maklumat i’rab menjadi penting, kerana dengan memahami tata bahasa itulah bermula kepahaman yang benar.

Banyak para ulama yang berkhidmat dalam ranah ilmu i’rab ini, baik pada masa lampau (ulama mutaqaddimin) mahupun daripada ulama-ulama masa kini (ulama mutaakhirin). Diantara ulama yang membahas perkara I’rab al-Qur’an ini iaitu Muhammad al-Tayyib al-Ibrahim dan Muhammad Hasan ‘Uthman. Berikut akan didedahkan tentang karya-karya mereka dalam bidang I’rab al-Qur’an, gaya penulisan, keunggulan dan sisi kelemahan, jika ada dan berkenaan.

Pertama, Muhammad al-Tayyib al-Ibrahim

Dia adalah salah seorang pensharah di Fakulti Usuluddin Universiti Ummu Derman Damaskus, Shiria. Mengarang kitab I’rab al-Qur’an al-Karim al-Muyassar sebanyak satu jilid sahaja. Ianya dicetak untuk kali kedua pada tahun 1426H atau bertepatan dengan 2006M oleh Dar al-Nafa’is Beyrut Lebanon. Pada mukaddimah kitabnya, sang penerbit “Dar al-Nafa’is” menghuraikan pentingnya penerbitan kitab secara wasit (moderat/tidak terlalu lebar dan tidak pula terlalu ringkas). Ini akan sangat bermanfaat sekali bagi memberi kemudahan pelajar dan penuntut ilmu (al-Ibrahim; 5).

Adapun diantara kaedah yang digunakan oleh al-Ibrahim dalam menulis kitabnya iaitu:

Dia menukil dan mengi’rabkan al-Qur’an berdasarkan kepada aturan penulisan mushaf ‘Uthmaniy yang tiga puluh juzu’. Dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. (Nuqila nas al-Qur’an al-Karim kamilan bi itarihi min Mushaf al-Huffaz al-mash’arif ‘alayhi);
Dia menandakan ayat-ayat al-Qur’an yang sedang dii’rab itu dengan tanda bold (tebal). Hal ini sepertinya untuk memberi kemudahan kepada pembaca, supaya lebih pasti mengenali objek yang sedang dikaji. (ja’ala al-nas al-Qur’aniy al-manqul damman al-I’rab bi harfin mulawwan);
Supaya tidak jadi pengulangan kajian, maka ta’awwuz dan basmalah dii’rab sekali sahaja, bertepatan ketika dia menghuraikannya pada permulaan surat al-Fatihah. (al-isti’azah wa al-basmalah a’rabtuha awwala surat al-Fatihah faqat);
Begitu pun dengan keberadaan “alif lam mim”. Ianya dii’rab sekali sahaja ketika sang penulis memulai surat al-Baqarah. Penjelasan yang sekali itu merangkum berbagai-bagai pandangan ataupun perbezaan pendapat daripada kalangan mufassir mahupun daripada kalangan mu’arrabin. I’rab yang sekali itu telah mewakili 29 surat yang lain yang dimulai dengan huruf muqata’ah itu. Hal ini dilakukan, menurut hemat penulis sebagai penghadang terjadinya pengulangan yang tidak perlu. (a’rabtuha “alif lam mim” fi awwali surat al-Baqarah faqat ‘ala ‘iddat awjuh kama nassa ‘ala dhalika kathir min al-mufassirin wa al-mu’arrabin);
Untuk meringkaskan semula, sang penulis pun tidak memanjangkan kalimat pengi’raban dalam bentuk hadha fi’l madi, mabniy ’ala al-fath, tetapi dianya mencukupkan dengan madi, maftuh. Dan lain-lain lagi (ibid; 10).

Keistimewaan dan Kemushkilan

Diantara sisi kelebihan ataupun keistimewaan kitab I’rab al-Qur’an al-Karim al-Muyassar yang ditulis oleh Muhammad al-Tayyib al-Ibrahim ini iaitu penjelasannya yang ringkas, padat dan menuju sasaran yang dikehendaki. Kerana itulah mungkin kitabnya dijadikan satu mujallad sahaja. Disamping itu dia memulai penulisan kitabnya dengan memberi panduan kepada pembaca supaya mengenal pasti apa yang dimaksud dengan I’rab itu sendiri, ianya taghyir awakhir al-kalim li ikhtilaf al-‘awamil al-dakhilah ‘alayhi—perubahan (harakat) akhir suatu kata kerana berbezanya ‘awamil (indicator) yang masuk keatasnya. Selain daripada itu, dia juga mendedahkan berkenaan dengan apa itu al-kalimah, perbezaannya dengan al-kalam, pengelompkan I’rab kepada I’rab al-mufradat, I’rab al-jumal dan ramai lagi.

Adapun sisi kelemahannya, kalaulah boleh disebutkan. Diantaranya iaitu gaya penulisannya yang terlalu kecil (seukuran font 10 traditional Arabic), sehingganya susah untuk dibaca, memerlukan energy ekstra dan kehati-hatian sehingga penjelasannya tidak saling bertindih. Hal ini pun sesungguhnya kelemahan daripada penerbit Dar al-Nafais, bukannya ketentuan yang dimaklumkan oleh penulis.


I’rab al-Qur’an al-Karim oleh al-Ibrahim dan Implikasi Hukumnya

Pada muka surat 108, al-Ibrahim menghuraikan makna ayat 6 surat al-Maidah dimana ayat terbabit menjelaskan tentang ketentuan berwuduk (mengambil air sembahyang). Tepatnya ketika al-Ibrahim mendedahkan kalimat “wa arjulakum ila al-ka’bayn” (maf’ul bih daripada fi’l amr “ighsilu” [basuhlah] mudaf ilayhi), ia disebut ma’tuf ‘ala “wujuhakum” mansub mithlahu (diatafkan kepada “wujuhakum”, mansub sepertimana ianya (ibid; 108).

Kalau sekiranya kaedah ini dipakaikan, maka mafhum hukumnya adalah kita wajib membasuh kaki sebagaimana kita wajib membasuh muka (wajah). Persoalannya kemudian muncul, bagaimana dengan kaedah ‘ataf itu mesti kembali kepada kalimat yang terdekat (dalam hal ini tentunya wamsahu biru’usikum, dengan kasrah, jadinya wa arjulikum ila al-ka’bayn), maka konsekwensi hukumnya ialah menjadi: kewajiban menyapu kaki sepertimana halnya menyapu kepala. Perdebatan dan perbezaan ini tidaklah sampai dihuraikan sedemikian rupa oleh al-Ibrahim, sehingganya maklumat tentang konsep menyapu kaki tidaklah dijumpai.




Kedua, Muhammad Hasan ‘Uthman

Dia adalah seorang Profesor di Universiti al-Azhar. Mengarang kitab I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayan Ma’anihi sebanyak empat jilid (sampai surat al-Tawbah). Ianya dicetak oleh Dar al-Risalah al-Qahirah pada tahun 1423H atau bertepatan dengan tahun 2002M. Dipermulaan kitabnya, Hasan ‘Uthman mengutip perkataan ‘Umar ibn al-Khattab ra. yang dinukil daripada kitab al-Bayan wa al-Tabyin, dia menyebutkan pentingnya pengetahuan akan ilmu Nahw. “Ta’allamu al-Nahw kama tata’allamuna al-Sunan wa al-Fara’id” (Hasan Uthman; 6).

Sahib al-Itqan, menyebutkan hadith Ibnu ‘Umar yang menyatakan “man qara’a al-Qur’an fa a’rabahu, kana lahu bikulli harfin ‘ishrun hasanah, wa man qara’ahu bighairi I’rab kana lahu bikulli harfin ‘asyara hasanat” (ibid; 7). Maksudnya; “Sesiapa yang membaca al-Qur’an lalu ia mengi’rabnya, maka baginya dua puluh kebaikan pad setiap huruf. Dan bagi sesiapa yang membaca al-Qur’an tanpa I’rab maka baginya pada setiap satu huruf mendapat sepuluhkebaikan”.

Adapun diantara kaedah yang digunakan oleh al-Ibrahim dalam menulis kitabnya iaitu:

Selain menukil dan mengi’rabkan al-Qur’an berdasarkan kepada aturan penulisan mushaf ‘Uthmaniy, dia memaparkannya secara mudah dan bisatah (mendalam) terperinci (tafsiliyan). Jika terjadi kesamaan ayat, maka dianya tidak perlu pengulangan semula.;
Dia pun turut menjelaskan berkenaan dengan istilah-istilah Nahwiyyah seperi misalnya al-dama’ir; muttasil mahupun munfasil, dan ramai lagi);
Salah satu daripada kecendrungan Hasan Uthman juga, sebelum menghurai I’rab al-Qur’an, dia lebih awal sudah menyebutkan makna mufradat (ma’ani al-mufradat), makna ayat secara umum (al-ma’na al-‘am), bahkan sesetengah ayat disebutkan pula asbab al-nuzul-nya;
Dia turut mengakui secara jujur akan pentingnya mengambil manfaat daripada ulama terdahulu (istafdtu min al-kutub al-sabiqah fi I’rab ayat al-Qur’an);
Berbeda dengan al-Ibrahim, hasan ‘Uthman tidaklah terlalu suka untuk memanjang-manjangkan huraian, ketika banyak perbezaan (ikhtilaf) pendapat ilmuan Nahwu disitu;
I’rab ta’awudh dan basmalah hanya sekali sahaja ketika memulai surat al-Fatihah. Hal ini sebagai dimaklumkan untuk menghindari terjadinya pengulangan (iktafaytu bi dhikr I’rab al-isti’adhah wa al-basmalah marratan wahidah li takarrurihima) (ibid 13-14).

Keistimewaan dan Kemushkilan

Diantara sisi kelebihan ataupun keistimewaan kitab I’rab al-Qur’an al-Karim al-Muyassar yang ditulis oleh Muhammad al-Tayyib al-Ibrahim ini iaitu penjelasannya yang terperinci, padat dan mendalam selaras dengan sasaran yang dikehendak. Disamping itu dia juga mendedahkan I’rab al-Qur’aan daripada sisi ilmu al-sarf-nya. Perkara ini terlihat saat dia menghuraikan makna ‘a’udhu” pada ta’awudh (ibid; 22). Dia pun turut memulai penulisan kitabnya dengan memberi panduan kepada pembaca supaya mengenal pasti apa yang dimaksud dengan I’rab, sekaligus faedah daripada I’rab itu terhadap implikasi hokum (ibid; 8)

Adapun sisi kelemahannya, kalaulah boleh disebutkan. Diantaranya iaitu gaya penulisannya yang terlalu panjang, bahkan keluar daripada tajuk sendiri iaitu I’rab, kerana didalamnya pun terkandung cabang-cabnag lain, seperti misalnya ilmu al-sarf, ilmu asbab al-nuzul, tafsir al-mufradat dan sebagainya.

I’rab al-Qur’an al-Karim oleh al-Ibrahim dan Implikasi Hukumnya

Pada muka surat 35, mujallad 3, Hasan ‘Uthman turut menghuraikan makna ayat 6 surat al-Maidah dimana ayat terbabit menjelaskan tentang ketentuan berwuduk (mengambil air sembahyang). Tepatnya ketika Hasan ‘Uthman mendedahkan kalimat “wa arjulakum ila al-ka’bayn” (maf’ul bih daripada fi’l amr “ighsilu” [basuhlah] mudaf ilayhi), ia disebut ma’tuf ‘ala “wujuhakum” mansub mithlahu (diatafkan kepada “wujuhakum”, mansub sepertimana ianya (ibid; 35).

Kalau sekiranya kaedah ini dipakaikan, maka mafhum hukumnya adalah kita wajib membasuh kaki sebagaimana kita wajib membasuh muka (wajah). Persoalannya kemudian muncul, bagaimana dengan kaedah ‘ataf itu mesti kembali kepada kalimat yang terdekat (dalam hal ini tentunya wamsahu biru’usikum, dengan kasrah, jadinya wa arjulikum ila al-ka’bayn), maka konsekwensi hukumnya ialah menjadi: kewajiban menyapu kaki sepertimana halnya menyapu kepala. Perdebatan dan perbezaan ini tidaklah sampai dihuraikan sedemikian rupa oleh al-Ibrahim, sehingganya maklumat tentang konsep menyapu kaki tidaklah dijumpai.

Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Uthman, Muhammad. 1423H/2002M. i'rab al-Qur'an wa Bayan Ma'anih. al-Qahirah: Dar al-Qahirah. cet. I
al-Tayyib al-Ibrahim, Muhammad. 1426H/2006M. I'rab al-Qur'an al-Karim al-Muyassar. Beyrut: Dar al-Nafa'is. cet. II
Re-interpretasi al-Qur’an: Sebuah Paradigma Perlu Kawalan
Oleh: Jannatul Husna
IGB080008


Mukaddimah

Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang mengandungi dimensi aqidah, ibadah, akhlak mahupun aspek muamalat lainnya. Meskipun al-Qur’an tidak mendedahkan sesuatu perkara secara detail dan terperinci, namun asas-asas bagi setiap ilmu pengetahuan telah diperkatakan didalamnya[1]. Hal ini dianggap lumrah, kerana memang al-Qur’an bukanlah kitab ensiklopedia.

Perkembangan dakwah al-Qur’an atau sering dikenal dengan perkembangan dakwah Islam, sungguh amat menakjubkan dari masa ke semasa. Ia telah merentasi belahan dunia terjauh sekalipun, dari Jazirah Arab hingga ke benua Amerika, dari Maroko sampai ke Merauke, dan hingga lapisan bumi lainnya. Seiring dengan penyebaran agama Islam yang begitu pesat ini, keperluan terhadap pemahaman al-Qur’an—sebagai sumber hukum dan panduan hidup seorang muslim—semakin meningkat. Orang-orang Islam non-Arab tentulah perlu penjelasan lebih terperinci mengenai kandungan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Oleh itu, keberadaan interpretasi (tafsir) al-Qur’an menjadi satu hajat yang perlu diwujudkan.

Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir
Menurut Muhammad ‘Alī al-Sābūnī, al-Qur’an didefenisikan sebagai:
“al-Qur’ān huwa kalām Allāh al-munazzal ‘alā khātim al-Anbiyā’ wa al-Mursalīn bi wāsiţah al-Amīn Jibrīl ‘alayhi al-salām, al-maktūb fi al-masāhif al-manqūl ilayna bi al-tawātur, al-muta’abbad bi tilāwatihi, al-mabdū’ bi sūrat al-Fātihat al-makhtūm bi sūrat al-nās”[2].

Maksudnya: “al-Qur’an iaitu kalam Allah yang mengandungi makjizat, diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul melalui perantaraan jibril as., termaktub di dalam mushaf, dinukilkan kepada kita secara mutawatir, berpahala membacanya, dimulai dengan surat al-Fātihah dan diakhiri dengan surat al-nās.

Sedangkan ilmu tafsir iaitu ilmu yang membahas tentang al-Qur’an al-Karim dari segi dilalah-nya berdasarkan kepada maksud Allah sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi[3].

Adapun Imam al-Zarkashiy, sebagai dikutip oleh al-Sābūnī, mendefenisikan ilmu tafsir dengan:
“‘Ilm yu’raf bihi fahm Kitāb Allāh al-munazzal ‘alā Nabiyyihi Muĥammad Saw., wa bayān ma’ānīhi wa istikhrāj ahkāmihi wa hikamihi”[4].

Maksudnya: “ilmu yang diketahui dengannya pemahaman Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dan penjelasan makna-maknanya dan pengeluaran hukum-hakam serta berbagai hikmah-hikmah”.

Dari beberapa takrif yang telah dikemukakan di atas, baik takrif al-Qur’an mahupun ilmu tafsir, dapatlah ditarik beberapa kepahaman berkait erat dengan keduanya. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mengandungi makjizat, serta penukilannya berlangsung secara mutawatir. Sekiranya pahaman yang tersebar beranjak daripada takrif ini, maka tiadalah anggapan al-Qur’an itu sebagai makhluk (susuatu yang baharu, dan desacralized), produk budaya (muntaj al-thaqafiy) dan sebagainya. Begitu pula dengan ilmu tafsir, ianya bukanlah sebarang ilmu, tetapi memiliki kaedah dan aturan-aturan ketat, sehingga tidak setiap orang boleh mentafsir al-Qur’an. Hanya orang-orang yang tāqah (mampu) sahaja, baik segi kredibiliti keilmuan mahupun integriti peribadi, yang boleh menggali maksud-maksud Allah yang suci itu. Kalau tidak seperti ini, maka semua orang boleh mengutak-atik, meroboh dan mentafsir al-Qur’an sekehendak hati dan menurut_kepentingannya.

Re-interpretasi al-Qur’an: Urgensi dan Syaratnya

Re-interpretasi al-Qur’an atau yang sering disebut sebagai mentafsir kembali ayat-ayat al-Qur’an adalah sebuah upaya reformulasi pemahaman terhadap al-Qur’an. Usaha itu dilakukan kerana ada temuan baru ilmu pengetahuan yang dicoba untuk dikongsikan kembali dengan firman Tuhan.

Secara tekstual, al-Qur’an diyakini sebagai wahyu Tuhan yang bersifat sakral dan mutlak. Walaupun ada segolongan pihak yang mencoba untuk mendekonstruksi (meruntuhkan) teori mayoriti ulama ini kepada al-Qur’an bukannya sesuatu yang sakral, melainkan tumbuh mengikut budaya tempatan Arab waktu ia diturunkan. Lazimnya mereka menyebut, al-Qur’an iaitu produk budaya (muntaj al-thaqafiy)[5]. Pahaman ini telah membawa kepada perdebatan panjang antara kelompok yang menganggap al-Qur’an sebagai produk budaya (puak liberalisma Islam) dengan kelompok yang mempertahankan al-Qur’an sebagai kalam Allah yang sakral.

Menurut kelompok pertama, al-Qur’an merupakan refleksi terhadap budaya primitif dan patriarkis Arab abad ke 7 M. Ia turun sebagai reaksi kepada kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masayarakat Arab waktu itu. Oleh itu, ayat-ayat al-Qur’an yang terkesan “menindas” perempuan dan “tidak manusiawi”, seperti pembolehan poligami, pembahagian harta pusaka, superioriti laki-laki terhadap perempuan; hukum potong tangan, qișās, rajam, dan lainnya perlu ditinjau ulang dan ditafsirkan kembali mengikuti prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan nilai-nilai demokrasi moden. Lebih jauhnya mereka lagi mengatakan bahwa pentafsiran terhadap teks al-Qur’an itu bersifat relatif, nisbi dan tidaklah mutlak benar.

Adapun kelompok kedua, melihat perkara yang dimunculkan puak pertama itu sebagai sebuah paradigma yang rawan dan tidak sihat. Kerana secara metodologi, apa yang dikerjakan oleh puak pertama boleh jadi sangat menyimpang dari aturan-aturan baku pentafsiran. Mentafsirkan al-Qur’an bukanlah perkara ringan dan tidak semua orang boleh mengambil bagian. Tokoh sekaliber Abū Bakr al-Șiddīq sahaja tidak mau banyak bercakap ketika ditanya mengenai pentafsiran suatu ayat. Padahal dia adalah sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah Saw. Jangankan untuk re-interpretasi (mentafsirkan kembali) ayat-ayat al-Qur’an, mentafsirkan (interpretasi) sahaja dia tidak berani. Apatah lagi kita, manusia yang sangat jauh dari Rasulullah, terkadang pun tidak berapa tahu tentang bahasa Arab?

Konsekwensi dari klaim pentafsiran al-Qur’an itu nisbi atau relatif (walau kedudukan teksnya bersifat mutlak) iaitu:
Kebenaran al-Qur’an hanyalah milik Allah, kerana manusia tak pernah tahu apa yang menjadi maksud Allah. Soalannya kemudian, buat apa Allah menurunkan al-Qur’an?;
Mengingkari tugas Nabi sebagai penjelas wahyu, pada akhirnya tidak memerlukan al-Sunnah (inkār al-Sunnah);
Seolah-olah semua ayat al-Qur’an tidak memiliki pentafsiran yang tetap dan disepakati;
Menolak autoriti keilmuan atau kaedah-kaedah pentafsiran yang telah ditetapkan para ulama;
Kontradiksi dengan konsep keilmuan. Sebab ilmu adalah sifat yang boleh menyingkap suatu objek dan menghilangkan keraguan, sedangkan relativisma selalu bermuara kepada keraguan dan kebingungan[6].

Ide-ide seperti ini hanya akan memisahkan al-Qur’an secara lafaz dan maknanya. Padahal kewahyuan al-Qur’an itu mengintegrasikan antara “lafżan wa ma’nan”.

Persoalannya bukan tidak boleh mentafsir al-Qur’an, atau mengkaji ulang pentafsiran-pentafsiran terdahulu. Kerana pentafsiran itu menyelami kedalaman ilmu Allah, menyibak makna di balik firman-Nya, maka perlu kawalan serius. Kawalan itu bukan dari manusia lain, tetapi bertanyalah ke dalam diri, selaik apakah kita boleh mengurai maksud firman-firman Tuhan. Sedalam apa kemampuan kita terhadap bahasa Arab, sebagai bahasa al-Qur’an? Sudahkah kita menterjemahkan al-Qur’an secara umum dalam bentuk perbuatan-amaliyah. Dalam bahasa lainnya, integriti (marū’ah) dan kapabeliti (ke-thiqah-an ilmiah).

Transformasi Islam yang terus berkembang mengikuti perjalanan masa, turut menjadi perilaku budaya dan peradaban manusia hari ini, menuntut adanya interpretasi baru terhadap al-Qur’an khasnya terhadap ajaran-ajaran furū’ Islam. Walaupun pahaman tentang Islam sudah selesai sebagai agama wahyu atau agama theologi tidak banyak yang membantahnya. Oleh itu, tinjauan semula secara komprehensif perlu dilakukan. Ambil misalnya dimensi syariah (fekah munakahat), kalau dulu ada perbincangan tentang ijab kabul via telephon, sekarang muncul fenomena baru dalam hidup manusia, seiring dengan kemunculan tamadun baru, virtual world atau cyber world. Adakah boleh perkara-perkara ini direduksi menjadi salah sebuah aturan dalam Islam. Sehingganya, ijab kabul boleh melalui system chatting internet atau via video call 3G. Hal-hal baru semacam ini perlu perhatian lebih, kerana tingkat kepentingannya mungkin sudah mencapai syarat kepatutan bagi melihat kondisi zaman ini[7].

Begitu tingginya kepentingan terhadap interpretasi al-Qur’an, maka ulama-ulama terdahulu memberikan panduan yang patut, sehingga para pentafsir dapat terhindar dari pentafsiran bi al-ra’y maĥdah. Dimana ancaman bagi yang mentafsirkan al-Qur’an sekehendak nafsunya, ia bererti telah menyiapkan tempat duduknya sendiri dari api neraka. Kaedah-kaedah yang patut dijalani itu semisal penggunaan al-đamā’ir (kata ganti), huruf ‘ataf (kata penyambung), huruf tawkīd (kata penguat), al-tarāduf (kata yang berhampiran makna), dan ramai lagi[8]. Kalau seorang pentafsir mengabai dan tidak mengambil kira aturan-aturan seperti ini, maka dia akan tersasul dalam memahami makna firman Allah.

Ijtihad pentafsiran yang bersandarkan kepada kaedah-kaedah yang telah ditetapkan (mu’tabar) oleh para ulama, jauh daripada kejahilan dan kesesatan, maka hasil tafsirannya akan baik, tetapi kalau bukan, maka pentafsirannya akan dicela[9]. Selain berpegang kepada pentafsiran Rasulullah dan para Sahabat, para pentafsir mestilah juga mengetahui sebenar kaedah-kaedah bahasa dan kaedah-kaedah sharī’ah[10].

Banyak ulama telah menyenaraikan syarat kepatutan dan kelaikan seorang pentafsir. Berpunca daripada kelaikan individu ataupun integriti peribadi (marū’ah) mahupun kelaikan akademik (kemampuan ilmiah). Seorang pentafsir mestilah terjaga marū’ah-nya daripada perkara yang tidak baik apatahlagi tidak senonoh. Dimulai dari ke-Islamannya, adil, wara’, khudū’, șālih dan sifat-sifat terpuji lainnya. Setelah memiliki integriti peribadi yang baik, maka perkara berikutnya yang mesti dipenuhi oleh seorang pentafsir iaitu; menguasai ilmu bahasa Arab lengkap dengan cabang-cabangnya, ușūl al-fiqh, ‘ilm al-tawhīd, ‘ulūm al-Qur’ān mulai daripada ilmu asbāb al-nuzūl, al-qașas, al-nāsikh wa al-mansūkh, dan seterusnya ilmu al-muta’alliqah bi al-Ahādīth, dan yang terkemudian ialah ilmu al-mawhibah (ilmu yang langsung diilhamkan oleh Allah)[11].

Sebegitu banyaknya persyaratan yang dituntut dalam pentafsiran al-Qur’an, maka sebahagian kelompok umat Islam menduga tiada seseorang pun yang boleh mentafsir kitab Allah. Padahal kalau ingin diteliti lebih dalam, persyaratan yang diberikan oleh ulama-ulama terdahulu ini adalah sebagai benteng agar al-Qur’an tidak ditafsir secara sembrono daripada pihak manapun di kemudian hari. Jika sekiranya kaedah-kaedah ini tidak diberlakukan sejak dahulu, maka akan bermunculan banyak pentafsiran yang menyimpang. Bahkan sudah diberlakukan dan ditetapkan pun, pentafsiran menyimpang (inhirāf fi al-tafāsīr) itu masih sahaja ada dan berkembang. Apatahlagi bila dilonggarkan.


Penutup
Al-Qur’an merupakan kitab Allah Swt. yang Maha Ideal, yang tidak sahaja teruji sebagai panduan hidup umat manusia, tetapi juga terbukti secara sains. Berbagai temuan moden yang bermunculan dibidang sains mengukuhkan kebenaran Al-Quran. Kendati begitu, tak sedikit pula orang-orang yang kandas (terjejas) ditengah jalan dalam menemukan kesejatian Al-Quran. Megapa hal itu terjadi? Kerana mereka terjebak dalam misinterpretasi (salah tafsir) terhadap Al-Quran. Entah kerana memendam prasangka, ada maksud terselubung, kurang jujur, tidak paham bahasa Arab, kurang menguasai teknikal interpretasi, miskin pemahaman, lemah fikiran, atau kerana sang pengkaji dihinggapi sikap takabur. Banyak contoh yang memperlihatkan betapa penyimpangan penafsiran (inhirāf fi al-tafsīr) terhadap Al-Quran itu betul-betul terjadi, sehingga mengaburkan pesan hakiki daripada kitab agung ini.
Wallahu a’lam.


BIBLIOGRAPHY

Husaini, Adian. 27 Juli 2007. Tujuan Didirikannya IAIN. Jakarta: http://hidayatullah.com/ dan http://insisnet.com/index.php?option=com_content&task=view&id=28&Itemid=26

Karim, Dr. Shofwan. 13 Juni 2008. Transformasi Islam; Budaya dan Peradaban (Kerisauan Bersama Cucu Magek Dirih). http://www.shofwankarim.blogspot.com/

al-Sābūnī, Muhammad ‘Alī. 1424H/2003M. al-Tibyan fi ‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah

Shihātah, ‘Abd Allāh. 1421H/2001M. ‘Ulūm al-Tafsīr. al-Qāhirah: Dār al-Shurūq.

al-Suyūţiy, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān. 1414H/1993M. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beyrūt: Dār ibn Kathīr. j. I. cet. II

al-Zarqāniy, Muhammad ‘Abd al-‘Azīm. 1409H/1988M. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beyrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. j. II
[1]lihat misalnya QS. Al-Nahl: 89 dan QS. Al-An’ām: 38
[2]Muhammad ‘Ali al-Sābūnī (selanjutnya ditulis al-Sābūnī). 1424H/2003M. al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah. h. 8
[3]defenisi ini adalah maksud dari perkataan al-Sābūnī. “‘Ilm yubhathu fīhi ‘an al-Qur’ān al-Karīm min haythu dilālatihi ‘alā murād Allāh Ta’ālā bi qadr al-ţāqah al-bashariyyah”. Lihat ibid. h. 66. Lihat juga ‘Abd Allāh Shihātah. 1421H/2001M. ‘Ulūm al-Tafsīr. al-Qāhirah: Dār al-Shurūq. h. 9
[4]lihat al-Sābūnī. Op. Cit. h. 65
[5]lihat tulisannya Adian Husaini. 27 Juli 2007. Tujuan Didirikannya IAIN. Jakarta: http://hidayatullah.com/ dan lihat pula tulisan yang sama dalam blog resmi Insist di
http://insisnet.com/index.php?option=com_content&task=view&id=28&Itemid=26
[6]Ibid.
[7]lihat lebih lanjut tulisan Dr. Shofwan Karim. 13 Juni 2008. Transformasi Islam; Budaya dan Peradaban (Kerisauan Bersama Cucu Magek Dirih). http://www.shofwankarim.blogspot.com/
[8]baca lebih lengkapnya Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān al-Şuyūţiy. 1414H/1993M. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beyrūt: Dār ibn Kathīr. j. I. cet. II. h. 598
[9]seperti dalam ungkapan al-Zarqāniy, …in kāna al-ijtihād muwaffaqan ay mustanadan ilā mā yajibu al-istinād ilayhi ba’īdan ‘an al-jahālah wa al-đalālah fa al-tafsīr bihi mahmūd wa illā mazmūm….lihat Muhammad Abd al-‘Azīm al-Zarqāniy. 1409H/1988M. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beyrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. j. II. h. 55
[10]ibid. h. 56
[11]ibid. h. 58