Jumat, 31 Oktober 2008

Menanti Peran Kawula Muda
Oleh: Jannatul Husna dan Condra Antoni


”di dunia ini tidak ada tempat untuk berhenti, barangsiapa yang berhenti maka dia akan tergilas mati”, demikian Mohd. Iqbal;
”syabab al-yaum rijal al-ghad; pemuda hari, pemimpin masa depan”, pepatah Arab.


Sempena mengiringi semangat perjuangan Sumpah Pemuda yang ke-60, kita ingin berbagi cerita dengan saudara tentang tantangan pemuda hari ini dan bagaimana menjadi sosok pemuda harapan yang perannya sangat dinanti.


Kita tidak akan menterjemahkan lebih jauh apa itu yang dimaksud dengan pemuda, tetapi yang dirasa sangat penting ialah ingin menyebutkan tugasnya yang sangat besar dalam keberlangsungan pembangunan bangsa dan daerah. Para pemuda, sebagaimana sejarah telah mencatat adalah kekuatan perubahan (motor penggerak). Dari zaman Rasulullah s.a.w., peran pemuda sangat ditunggu, hal ini terlihat dengan apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Salman al-Farisi, Khalid bin Walid, Umar bin Abdul Aziz dan ramai lagi. Mereka-mereka itu telah menjalankan tugasnya dengan baik, menjadi pengajar (guru) bagi para sahabat lain, pedagang yang sukses, pemimpin yang disegani mahupun punggawa perang di garis depan.


Tradisi kehebatan itu terus dilanjutkan khususnya oleh para pemuda Indonesia, lihatlah sejarah 20 Mei 1908 (dengan lahirnya Budi Utomo yang diprakarsai oleh para pemuda), 28 Oktober 1928 (dirumuskannya Sumpah Pemuda), 17 Agustus 1945 (berkat desakan para pemuda, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia) dan 21 Mei 1998 (lahirnya era baru, reformasi). Kesemua fase itu menunjukkan aksi gemilang para pemuda mencipta perubahan ke arah yang lebih. Meskipun semua peristiwa itu harus dibayar dengan harga mahal baik harta bahkan darah. Tujuan dari setiap agenda perjuangan mereka tidak lain adalah mengukuhkan nilai-nilai persatuan dan kebersamaan. Bersatu kita teguh, bercerai (berpecah) kita runtuh. Demikian pula hendaknya semangat kita dalam membangun daerah tercinta.


Duhai saudaraku, mau tidak mau-suka tidak suka, dalam masa yang dekat atau mungkin masih lama, tonggak kepemimpinan negeri ini akan diserahkan ke pundak para pemuda. Sudah siapkah kita menerima semua itu? Seberapa banyak persiapan kita dalam menghadapinya? Sementara tantangan tidak ringan termasuk masalah kebersatuan, diantara yang akan merusak nilai-nilai persatuan itu ialah dengan masih terkotak-kotaknya kita dalam beberapa kelompok. Berpecah dalam memilih jalan terbaik. Agaknya terlalu sulit kita menemukan kata saiyo-satido dalam membangun negeri ini. Menurut pendapat kita, tidak masanya lagi kita mengedepankan keinginan pribadi dan golongan, tetapi saatnya kita mencari penyelesaian paling baik, menjunjung kepentingan masyarakat banyak. Dengan memilih jalan yang mudaratnya lebih kecil, sedang manfaatnya jauh lebih besar. Diantara nasehat (hikmah) yang pantas kita renungi ialah, ”duhai para pemuda, jadilah pelopor jangan pengekor”. Menurut seorang penulis pula, diantara penyakit para pemuda hari ini ialah, dengan masih berkutatnya mereka di bawah ketiak atau, agak halusnya berada di bawah bayang-bayang kuasa politik individu atau kalangan tertentu (Muhammad Taufik, http://www.padangekspres.co.id/content/view/21819/114/).


Mari bersama-sama kita membenahi kekurangan ini dengan terus belajar. Apakah dengan menggelar diskusi (dialog) dengan mengundang orang yang pandai (bertanyalah kamu kepada orang-orang yang pandai jika kamu tidak tahu—demikian tuntunan Islam). Sejenak mari kita membayangkan masa depan kita dan daerah yang kita cintai ini, kalau bukan pemuda hari ini, siapa lagi? Mau kita jadikan apa kampung yang katanya kaya ini? Maka apapun yang bisa kita kerjakan demi kemajuan pribadi dan kebanggaan kampung, lakukanlah. Jangan menunggu besok, atau menanti orang lain untuk memulai.


Kepada saudara-saudara yang punya kesempatan untuk bersekolah dan kuliah, belajarlah dengan tekun dan giat, jangan sering cabut, bolos dan malas. Orang tua, keluarga bahkan masyarakat kita yang sadar akan arti pentingnya pendidikan, dengan segenap kemampuan mereka—saya yakin—akan ”mati-matian” menyokong, mendoakan kesuksesaan kita. Berjemur di tengah teriknya matahari, menggigil di tengah dinginnya guyuran hujan, mereka mampu. Kenapa kita untuk belajar saja berleha-leha? Mau jadi apa sebenarnya yang kita suka?


Selanjutnya kepada saudara, biarlah menjalani masa-masa pendidikan itu dengan kondisi yang seadanya. Jangan pernah berkhayal dengan kemewahan, kalau seandainya kita ”ditakdirkan” hidup dalam keterbatasan. Tidak usah menuntut yang macam-macam, harus punya handphone-lah, sepeda motor-lah, uang belanja lebih-lah dan sebagainya. Mereka yang terbiasa dengan kebersahajaan hidup, maka akan tahan bantingan, tidak cengeng, karena mereka yakin di setiap ada kemauan di situ terbuka lebar jalan kemudahan. Seperti kata, ”where is a will there is a way”, demikian saudara kita, Condra mendendangkan.


Kemudian, jadikanlah setiap saran serta kritik orang lain sebagai cambuk (cemeti), ini sangat penting! Sebab pengalaman inilah yang pernah kita alami. Mendengar saran-petunjuk mungkin tidak membuat kuping merah, muka padam. Tetapi jika menghadapi kritikan dan cemoohan, ini bisa membuat harga diri seakan ”terinjak”. Bayangkan, kalau kita diramalkan hanya mampu bertahan kuliah beberapa bulan saja, karena mereka melihat kemampuan ”saku” dan periuk nasi kita. Menurut mereka, kalau menyekolahkan atau menguliahkan anak dari uang pinjaman, bukan ”piti balepek” itu adalah sesuatu yang mustahil? Tapi apa yang terjadi, bukan uang yang membuat kita berhasil menamatkan kuliah, menjadi dosen dan sebagainya, tetapi kekuatan fikir dan kemauan hati yang membuat orang sukses itu bertahan.


Kepada sahabat-sahabat yang tidak punya kesempatan lagi untuk bersekolah, dengan beragam alasan, cobalah menggali peruntungan dengan pergi merantau. Selagi usia masih muda, selera dan cita-cita masih bergelora, pungutlah ilmu dan pengalaman sebanyak yang mungkin sebelum melangkah berumah tangga. Salah satu dari ciri orang Minang itu adalah merantau. Dengan melihat negeri orang, wawasan dan pengalaman tentu akan bertambah (jan sampai mode katak dalam tampuruang). Merasa bangga dan bagak, tetapi langkah kaki gemetar saat coba untuk merantau, belumlah seberapa. Ajakan pepatah urang tuo-tuo kito; ....marantau bujang dahulu, di kampuang paguno balun. Setelah mendapatkan ilmu, pengalaman dan sedikit banyak modal, pulanglah ke ranah Kobun, kita bangun negeri ini bersama.


Duhai masyarakatku, peran kita sungguh sangat dinanti. Apapun bentuk dan dimanapun kita berada. Semoga!

Kamis, 30 Oktober 2008

Ketika Masjid Takda Lagi Obang (Azan)
Oleh: Jannatul Husna dan Condra Antoni


Hanya saja orang-orang yang (akan) memakmurkan masjid Allah itu mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat (sembahyang), menunaikan zakat dan mereka yang tiada takut kecuali kepada Allah. Mudah-mudahan mereka tergolong kepada orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Taubah [9]: 18).


Jika kita pernah berkunjung ke suatu tempat, kota yang agak besar seperti Muaro Sijunjung misalnya, suasana hidup beragama masih terasa wujud, ini dibuktikan dengan masih terdengarnya suara-suara azan dikala waktu sembahyang tiba, atau gemuruh suara anak-anak mengaji, terkadang juga ada tanya-jawab jamaah dengan ustaz yang sedang berceramah. Sebaliknya bila kita datang ke kampung-kampung, daerah pelosok, suasana itu jarang lagi dijumpai. Adakah penyebabnya, karena daerah perkampungan tidak ada listrik PLN layaknya kota, diesel dan sebagainya. Padahal dulu, kalau ingin menikmati senandung anak-anak dan masyarakat mengaji di waktu maghrib hingga menjelang isya, adalah di kampung tempatnya. Hidup di kampung menjadi pilihan, karena kondisi beragamanya yang masih sangat bagus. Itu dulu!


Alasan tidak ada listrik, diesel dan sebagainya bukanlah jawaban yang tepat, karena dulu pun orang-orang kampung hanya berkawankan lampu cogok, yang bisa membuat hidung hitam bagaikan arang. Dalam suasana yang redup itulah mereka membaca al-Quran, dari satu rumah ke rumah yang lain terdengar seakan saling bersahut-sahutan. Indah sekali jika terkenang peristiwa itu. Walaupun kalangan bapak-bapak nantinya akan menghabiskan sebagian malam di kedai sambil minum kopi, main domino dan bercerita ke sana ke mari, tetapi suasana maghrib menjelang isya mereka habiskan di rumah bersama keluarga, sembahyang walau tidak berjamaah (berimam-imam), lalu kemudian sang anak atau ibu mengambil al-Quran, lantas membaca kitab suci itu.


Hari ini, secara jujur harus diakui, bahwa kebanyakan masa kita terhabiskan percuma di Gedung Undo dekat Gurun Pantai itu, kemudian beranjak ke lapau sambil minum ekstra joss susu atau kopi steng diiringi dengan hisapan Lintang Enam-nya, terkadang sambil main skak, atau sebagian lain asyik menonton sinetron sambil berceloteh mengomentari artis dalam TV yang berwatak kejam atau ditimpa kepayahan hidup. Begitulah siklus dan perputaran takdir kita, hari ke hari hingga mati. Terkadang anak-anak usia sekolah pun membuang waktunya untuk mencari idola artis film, sampai larut malam, soal mengulang pelajaran bukanlah pilihan, dan yang menyedihkan ialah saat mau ke sekolah untuk keesokan harinya, sepatu entah dimana, buku pelajaran pun tak tahu ditempatkan dimana? Soal sembahyang Subuh, jangan dibaca karena bangun paginya pun setelah pukul tujuh. Budaya apa ini? Mungkinkah kecanduan bermain dan berleha-leha telah berpindah menjadi milik orang kampung, lalu kita memberikan tradisi beragama kepada orang kota, sehingga keadaannya menjadi terbalik? Kita ingin menekankan bahwa menikmati teknologi berupa TV, Hand Phone dan sebagainya bukanlah sesuatu yang salah, tetapi mesti ada waktu untuk kita bekerja, belajar dan berkunjung ke Rumah Allah (masjid).


Kita teringat dengan al-Marhum Gayek Foqih, walaupun generasi yang lahir tahun 80-an hingga hari ini tidak pernah berjumpa dan belajar bersamanya, tetapi banyak riwayat menceritakan betapa beliau mampu menghidupkan suasana beragama dengan masyarakat kampung, bahkan untuk urusan berhari raya Idul Fitri pun beliau sangat menjaga nilai persatuan dan kesatuan. Kita melihat betapa lapang dada dan berbesar hatinya Gayek waktu itu, padahal puasanya belum cukup 30 hari, tetapi kenapa beliau mau berbuka dan berhari raya bersama jamaahnya, tidak lain adalah karena beliau paham betul dengan perintah untuk memelihara kebersamaan, jangan berpecah-belah dan bercerai-berai. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran, “Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali agama Allah dan janganlah bercerai-berai” (QS. Ali Imran [3]: 103).


Disamping menjaga persatuan, Gayek juga telah menghidupkan suraunya dengan pengajian-pengajian agama, baik untuk anak-anak maupun untuk kalangan orang dewasa. Runtuhnya surau Ngalasi (tempat Gayek menghabiskan sisa umurnya) merupakan kehilangan besar bagi kita semua. Surau “baru” kita hari ini sepi dari kegiatan keagamaan. Walaupun dulu kita pernah belajar dari rumah guru ke rumah guru berikutnya, karena kita tak punya surau, surau yang diwariskan oleh Gayek pun—waktu itu—sudah tidak bisa lagi untuk digunakan.


Kembali kita ke persoalan masjid, secara bahasa makna asalnya ialah tempat bersujud (sembahyang). Tetapi dalam tradisi orang Minang secara umum, antara surau dan masjid mereka bedakan, walaupun di negara-negara Arab, antara tempat-tempat ini tidak ada perbedaan, baik surau, mushalla mahupun masjid. Pengertian masjid yang terbatas kepada tempat sembahyang, dikembangkan kemudian oleh Nabi s.a.w. dengan menjadikan masjid sebagai institusi tempat mempelajari dan mengamalkan setiap kebaikan. Semasa hidupnya, beliau tidak saja memanfaatkan masjid untuk sekedar tempat sembahyang, namun juga menjadi tempat belajarnya para sahabat, baik yang berhubungan dengan ilmu agama, ekonomi, budaya dan politik Islam, termasuk musyawarah untuk penyusunan strategi perang. Walaupun tidak menggunakan mikrophon, azan (obang) sebagai pertanda masuknya waktu sembahyang tetap dilakukan dengan semangat tinggi oleh Bilal bin Rabah, jamaah berdatangan meninggalkan pekerjaan yang sedang terbengkalai. Begitulah generasi sahabat. Kalau kita, selain azan hanya berkumandang waktu Jum’atan dan Tarawihan, jamaahnya pun terbilang malu untuk menyahut panggilan itu. Jadilah masjid kehilangan relevansi dan fungsinya sebagai tempat sembahyang, belajar dan musyawarah.


Agaknya keberagamaan kita telah beranjak dari masjid ke rumah, mungkin ada yang pindah ke lapau-lapau, pengajian agama pun bukan di masjid, sampai peringkat ngaji anak-anak harus terlaksana dari satu rumah guru ke rumah guru yang lain. Kalaupun ada yang berinisiatif untuk menghidupkan kembali masjid dengan tradisi sembahyang jamaah dan mengaji, sekurang-kurangnya untuk waktu maghrib dan isya, namun tantangan kedengkian, dan hasutan membuat suasana baik ini tidak bertahan lama.


Marilah kita imbangi pengaruh parabala dengan bacaan al-Quran, dan hidupkan kembali sembahyang baimam-imam di masjid, tidakkah ada seorang diantara kita yang bersedia, yang kita bisa kalungkan penghargaan kepadanya? Kapan perlu diberi cendera hati atas jerih payahnya mengurusi tempat ibadah. Atau relahkah kita menyerahkan urusan masjid kampung kepada orang-orang kurang upaya, seperti mengangkat petugas masjid dari mereka yang kurang “mendengar” atau tidak bisa “berbicara”! Kemana pemuda dan masyarakat lain, tunjukkanlah peranmu, masihkah kita menunggu orang lain atau orang luar berkiprah di ranah kita sendiri? Semoga senandung azan itu kembali bergema dikala waktu sembahyang tiba, amin.


Inspirasi Flat Taman Bukit Angkasa
Kuala Lumpur, 30 Oktober 2008

Rabu, 29 Oktober 2008

Dibalik Potensi Sumber Daya Alam Kabun
Oleh: Jannatul Husna dan Condra Antoni*


Meminjam istilah saudara saya (Condra), meskipun Kabun merupakan sebuah ceruk di pedalaman, tetapi alamnya subur, masyarakatnya cukup makan dan hidup ”makmur” menikmati keselesaan dari karunia alam Tuhan yang melimpah ruah. Lahan pertaniannya terhampar cukup luas, dimana asal ada sedikit-banyak kemauan penduduknya untuk berladang dan berpolak, maka hektaran tanaman tua maupun muda bisa tumbuh di wilayah ini. Adapun untuk tanah persawahan harus diterokai sedemikian rupa dan perlu ketekunan lebih, karena daerahnya yang berpagarkan gunung Kayo dan gunung Teleng serta bukit Mambuik dan bukit Kosik (Tingkosiek). Hamparan sawah terpaksa disulap berjenjang-jenjang karena daerahnya yang lereng dan perbukitan, tetapi panorama ini memberikan kesejukan dan pesona tersendiri kepada para penatap, apalagi pada musim-musim padi menguning.


Pada satu masa dahulu (sekitar tahun 1990-1996), ketika kita bersekolah di SD 07 Kabun, yang ianya berada di Loso berhampiran dengan Sungai Lasi itu, pemandangan indah padi yang sedang menguning kerapkali menemani kita para pelajar di sana, karena setelah berolah raga (main bola) di tanah lapang dekat Gurun Pantai, kita—sebelum pulang—harus ”berjihad” mencari kayu api buat persediaan sarana memasak guru-guru kita yang sangat dihormati dan kita cintai, baik bapak Syafaruddin dari Sungai Dareh, Ibuk Gusmayar dari Sungai Tampang, Bapak Mulyadi Sy dari Talawi bahkan sesekali membantu pengadaan kayu untuk bapak Baharuddin (al-marhum, semoga Allah swt. menerima segala pengabdian baik dan mengampuni segala dosa silapnya).


Pemandangan indah padi menguning dan sorakan orang mangogho menghalau unggeh ”pik-poghik” dan ”pik-pinang” di sawah-sawah berjenjang itu cukup melepas kepenatan kita dalam mencari kayu api di bukit Loso, terkadang sampai ke Ngabaghu. Tawaran pemandangan indah itu disuguhkan oleh sawah yang ada di Sungai Lasi, Bawah Gunung, maupun sawah Bajorieng (tetapi sayang beberapa petaknya hari ini telah rusak terkena hantaman tanah longsor dan galodo, akibat pembangunan jalan Kabun-Rumbai yang salah pertimbangan dan ulah penebangan kayu di hulu sungai). Begitu kita dulu, mencari kayu api sebagai sumber bahan bakar alam semula jadi (alami), agaknya tradisi ini masih diminati banyak keluarga di kampung sana, meskipun ada juga yang mulai meniru gaya hidup orang perkotaan dengan memakai kompor minyak bahkan kompor gas untuk memasak dan kepentingan lainnya?


Melihat begitu besar dan banyaknya potensi kekayaan alam Kabun, baik tanah untuk berladang, maupun hasil rimba berupa kayu, rotan, manau dan cubadak hutannya. Ditengah kampung pula tersedia ramai pilihan makanan alam, seperti lansek, macang, pawua, kuini, jambu lipo sampai ke kamuntieng (meskipun terkadang ia mengganggu saluran pencernaan kita [dikorang modu], tetapi kenangan buah-buahan semacam ini setidaknya telah turut menghantarkan kita menjadi ”orang” seperti hari ini; mampu tegak berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah sejajar dengan anak orang-orang kaya, pejabat dan masyarakat maju).


Menyebut kenangan ”murahan” seperti diatas barangkali tidak lagi menarik minat adik-adik kita hari ini, baik mereka yang masih bersekolah di tingkat SD, SMP ataupun Tsanawiyah, karena mereka telah terbiasa dengan hidangan ”modern”, berupa makanan-makanan ringan semacam mee sedaap, coco nut dan entah apa lagi namanya. Sepatutnya adik-adik hari ini jauh lebih hebat dan maju berbanding kita yang hanya tumbuh dari makanan sederhana, seperti gulai pucuk ubi dan sambal karambie bada. Sementara untuk snack (makanan ringannya) hanya kolak labu atau lopek bugih dan menu tradisional lain.


Inilah sumber alam kita, menawarkan banyak kemudahan dan peluang untuk mendorong penduduknya maju ke hadapan. Merangsang diri agar berani keluar dari cara berfikir yang tersekat oleh langit ”tempurung kelapa”, tempatnya bernaung. Sesekali marilah kita buka pemikiran (paradigma) untuk melongok ke luar, betapa dunia ini sangat luas dan orang lain mampu mengubah lingkungan bahkan bangsanya dengan perubahan cara fikir dan olah pandang yang baik. Mereka mampu, padahal mereka juga makan nasi seperti kita juga makan nasi. Mereka sebagiannya berasal dari pedalaman layaknya kita, tak ada angkutan bus kecuali naik truk (oto prah), jalan kampungnya pun masih aspal mengambang dikala hujan dan berkabut tebal semasa musim panas tiba. Anak-anak maju itu juga pernah naik ke punggung kerbau sambil bergembala, suka meniup serunai tatkala musim panen datang, bahkan berenang di sungai-sungai kecil dengan empangan jerami padi sawah siap disabit. Persis seperti kita bukan? Tetapi nasib mereka jauh lebih baik berbanding kita, kenapa? Jawabannya, karena mereka terus belajar dan belajar menambah wawasan, pengetahuan dan mengukir banyak pengalaman.


Hanya dengan begitu rasanya suasana kehidupan kampung ini bisa diubah, yaitu dengan mengubah pola fikir masing-masing penduduknya, ke arah yang lebih baik. Bukankah Allah swt. mengingatkan dalam firman-Nya, yang berarti, ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum atau masyarakat suatu kampung, sehingga mereka sendiri yang merubah paradigma diri mereka masing-masing [cara berfikir, memandang, malakukan dan mendapatkan sesuatu]”.


Tetapi sayang, paradigma kita tentang masa depan, khususnya mengenai pentingnya arti pendidikan meleset jauh dari harapan. Efeknya, sudah wujud tetapi kita belum sadar. Maka, potensi alam yang besar di ranah ini tidak memberikan kesan yang besar pula terhadap perubahan, baik fisik-infrastruktur kampung maupun kemajuan pada aspek wawasan penduduknya. Hemat kita, percuma saja membincangkan potensi energi mineral alam Kabun, dimana kita sangat bangga untuk mengatakan, punya air bersih-lah, batu bara, batu granit, emas dan sebagainya. Tetapi kita tetap gerak jalan, ditempat, enggan untuk berubah? Padahal air bersih dari daerah ceruk pedalaman kita ini mampu menghidupkan warga kota Muaro Sijunjung bahkan sampai ke daerah Tanjung Ampalu, begitu besar devisa yang disumbangkan oleh air ”kita” ini. Bahkan saya (Jannatul) pernah berkunjung ke PDAM Sanjung Tirta Buana, mengambil data tentang pelanggan air PDAM sekaligus mengambil beasiswa yang mereka janjikan, alhamdulillah. Adakah saudara tahu bahwa ternyata, seramai lebih kurang 5-7 ribu jiwa terselamatkan oleh adanya air bersih daerah kita? Itu maknanya juga, sekian juta Rupiah mampir ke Sanjung Tirta Buana tiap bulannya sebagai income per kapita daerah. Kemudian saya bertanya lagi, bagaimana dengan peluang bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat Kabun lainnya, mereka mengapresiasi (menerima) setiap permohonan yang masuk. Tetapi, lagi-lagi kesempatan itu tidak digunakan sebaik yang mungkin oleh putra-putri Kabun umumnya.


Berkaitan dengan soalan saya tentang kesempatan untuk menjadi pegawai atau staf di PDAM, mereka lantas menjawab perkara itu dengan; agak sulit terkabulkan! Karena Sumber Daya Manusia ”intelektual” Kabun yang masih sangat sedikit, mungkin mereka malas menyebutnya tidak ada. Apa yang perlu kita kejar kalau sudah begini kondisinya, duhai saudaraku? Adakah kita masih akan berlomba-lomba menghias diri dengan hand phone yang mewah atau berbangga dengan sepeda motor kredit keluaran terbaru, atau kita bergegas mengambil peluang untuk mencari wawasan ilmu dengan terus belajar? Karena ini selain cambuk, juga ”pelecahan” terhadap harkat kita sebagai insan yang sepatutnya mampu berbuat dan bermartabat. Demikian masalah kekayaan air alam kita.


Berikut ini, yang tak kalah hebohnya ialah keberadaan potensi tambang batu bara Guguk Mulek. Dengan kadar kualitas dan kalorinya yang entah berapa, namun karunia Tuhan yang satu ini sedikit banyak telah mengobati kegelisahan masyarakat kita saat harga karet mulai turun dari Rp. 12.000 menjadi Rp. 5.000, hujan yang mungkin sering mengguyur lebat di malam hari atau di pagi hari, sehingga tidak bisa untuk menakiek gota. Walaupun ada juga yang dengan sangat terpaksa dan berat hati, daripada dia dan keluarga ”mati” akibat tak bisa belanja dan mambayie julo-julo, biarlah karet yang berpulang ke rahmatullah. Toh, masih bisa ditanam lagi kalau pohon karetnya tumbang, kalau dia yang tumbang tentulah tak tahu kemana obat hendak dicari, demikian ketus sebagian masyarakat.


Meskipun penambangan memberikan manfaat berupa jatah perai (fee) bagi setiap kepala keluarga pada penjualan sekian ton batu bara, ia juga membuka peluang pekerjaan, sekurang-kurangnya piket menjaga eskapator di malam hari dari aksi pencurian. Namun, penambangan rakyat ini menyisakan sarat (banyak) masalah, mulai dari Kuasa Penambangan, carut marut pembagian fee, pertingkahan sesama warga bahkan dengan saudaranya sendiri, sampai kepada aksi pertikaian dan kericuhan yang tragis. Sebuah pemandangan yang memilukan dan memalukan. Ketika melihat gerombolan penduduk memperebutkan jatah, padahal enaknya cuma sampai di tenggorokan, paginya kadang harus dibuang di bandar panjang. Kenapa setiap pergaduhan demi pergaduhan timbul dalam menuai hasil alam yang kaya itu, karena cara pandang kita terbatas sampai di sini dan kini. Yang penting saat ini, esok kita fikirkan lagi! Akhirnya tampak jelas, bahwa sumber daya alam yang kaya tetapi tidak diimbangi dengan kesiapan sumber daya manusia yang berkualitas, menimbulkan petaka yang dahsyat, sedahsyat petaka galodo Sungai Lasi, September beberapa tahun yang lalu. Mungkin? Wallahu a’lam.



Kala Senja di Perpustakaan University of Malaya
Menunggu Masa Peperiksaan
Kuala Lumpur, 29 Oktober 2008


* Jannatul Husna adalah Pelajar Master of Art University of Malaya Kuala Lumpur (2008), Koordinator Bidang Intelektual dan Penelitian PPI University of Malaya (2008-2009), menamatkan pendidikan Sarjana Theologi Islam (S1) di Fakultas Usuluddin IAIN Imam Bonjol Padang (2006). Sedangkan Condra Antoni adalah Staf Pengajar Politeknik Batam, Koordinator Polybatam Language Centre, dan aktif juga di Rumah Gadang Centre, menamatkan pendidikan Sarjana Sastra (S1) di Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang (2006). Kedua-dua penulis merupakan Putra Asli Daerah Kabun.
KITA HANYA PUNYA SEMANGAT
Oleh: Condra Antoni dan Jannatul Husna

Judul ini diambil dari cuplikan dialog dalam novel Laskar Pelangi yang sangat fenomenal yang ditulis oleh Andrea Hirata. Ini layak kita tanamkan dalam tekad kita sebagai para pemuda Kabun yang lahir dan tumbuh di sebuah ceruk di pedalaman. Sebuah kampung yang sampai hari ini masih tertinggal dalam pendidikan, ekonomi, dan masih gelap gulita secara fisik karena listrik belum masuk juga.

Sebab, yang kita punya hanya semangat. Dan sejarah membuktikan bahwa hanya dengan berbekal semangat, banyak sekali orang-orang terlepas dari keterkungkungan ekonomi dan keterbelakangan pendidikan. Saudaraku, kita tahu, bahwa manusia bukanlah seperti apa dia dilahirkan, tapi seberapa banyak dia mampu berbuat untuk kehidupan ini.
Tidaklah perlu kita sesali bahwa kita terlahir dari sebuah kampong seperti Kabun ini. Harus kita syukuri malah. Karena ini adalah pilihan terbaik Tuhan untuk kita. Kenapa demikian? Salah satunya yang mesti kita renungi adalah, seberapa pahitpun kehidupan kita, seberapa sulitpun ekonomi kita, layaklah kita bertanya satu hal; pernahkah kita kekurangan makan? Jawabannya TIDAK PERNAH. Setidaknya generasi kami ke bawah bisa kami pastikan bahwa tak seorangpun diantaranya yang kurang makannya dari 3 kali sehari. INI ADALAH SEBUAH ANUGERAH LUAR BIASA YANG DIBERIKAN ALLAH SWT KEPADA KITA..!!!

Cobalah sesekali kawan-kawan dan adik-adik pergi ke Padang, kota yang cukup dekat dengan kita. Banyak anak-anak yang tidak terurus di sana. Sedari kecil harus menghidupi keluarganya. Jangankan untuk berpikir bisa bermain layang-layang, mengadu ayam pulang sekolah, berpikir untuk makan saja mereka susah. Kita tidak pernah mengalami hal itu.

Tapi mereka punya semangat. Dengan semangatlah mereka bergerak dari pagi sampai malam. Kadang tidur di mana saja malam dan lelah datang. Lalu esok pagi, berbekal semangat lagi, mereka bergerak mencari sesuap nasi dengan mengamen, menjajakan Koran dan lain sebagainya. Dan yang lebih menyedihkan, adik-adik tahu….!! Tenaga mereka sebagian dikuras oleh orang-orang dewasa yang tidak bertanggungjawab. Mereka capek mengamen dan menjajakan Koran serta meminta-meminta di teriknya siang di derasnya hujan, lalu setiap sore mereka harus setorkan ke BOS mereka. Mereka hanya dapat sekedar untuk pembeli pengganjal perut saja.

Ini hanya sedikit persoalan, adik-adik, yang dihadapi oleh orang-orang di luar kampung kita. Banyak lagi persoalan yang memilukan hati.

Maka dari itu selayaknyalah kita malu, kalau kita masih mengeluh karena tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah, apalagi menyesal terlahir di Kabun ini. Kita selayaknya malu, ketika kita tidak punya niat dan rendah semangat untuk melanjutkan pendidikan kita setinggi-tingginya. Karena kita lahir dengan begitu sehat, dengan ASI dari ibu yang cukup, dengan nasi yang tak pernah putus 3 kali sehari.

Adik-adik, sebagai orang muda, maka semangat yang kuat untuk menjadi orang yang lebih baik dari waktu ke waktu adalah ciri khasnya. Pemuda itu dikenal dengan semangatnya yang meluap-luap. Dan semangat yang tinggi ini bisa menjadi positif dan negatif tergantung dari bagaimana kita menggunakannnya. Ia menjadi positif ketika kita menggunakannnya untuk cita-cita yang jelas, yakni menjadi orang yang berpendidikan. Dan hal itu mesti dicapai dengan segala cara yang HALAL. Semangat inipun akan menjadi negatif kalau dia kita gunakan untuk mendapatkan sesuatu ayng bersifat sesaat. Misalnya, seperti yang marak di kampung kita sekarang, kita berjuang mati-matian dengan segala cara untuk membeli sepeda motor baru atau handphone mahal. Ini benar-benar keliru, adik-adik. Sungguh…

Dibanding dengan kondisi adik-adik hari ini, kami dulu lebih sulit. Kami berdua semasa tsanawiyah WAJIB berjalan kaki dari Kabun ke Muaro. Ini sangat melelahkan badan dan batin. Coba adik-adik bayangkan, ketika hari minggu yang sangat ramai, kami harus meninggalkan kawan-kawan sepermainan yang tidak sekolah. Waktu itu, hari mnggu adalah hari dimana banyak orang berkumpul di Gurun Pantai untuk menonton TV. Berat sekali rasanya hati ini. Sedang asyik-asyiknya bermain, harus berjalan kaki. Dengan badan yang kecil dan kurus menjujung beras 20 liter ke Muaro sana. Panas dan hujan adalah dua hal yang senantiasa mengakrabi kami.

Tapi adik-adik lihatlah seperti apa kami hari ini? Walaupun belum menjadi orang besar, orang terkenal, orang kaya, dsb, tapi setidaknya kami mampu menunjukkan bahwa kekurangan hidup, beban ekonomi, jauhnya jarak kamuong halaman dari keramaian, dan kendala lainnya, tidak menyurutkan semangat kami untuk belajar dan menamatkan kuliah.

Pada intinya, di sinilah pokok persoalannya. Yang perlu adik perjuangakan mati-matian adalah; mencapai kuliah jenjang S1 dengan prediket yang baik. Punya sedikit ilmu tentang bidang adik-adik tersebut. Tidak ada bidang yang bagus dan tidak bagus. Yang ada adalah serius atau tidaknya dengan bidang yang diambil. Semuanya bagus kalau sudah mencapai S1. karena setelah S1 insya allah banyak peluang yang bisa diambil. Apakah mau bekerja atau mencari beasiswa untuk kuliah lagi. Percayalah, yang agak susah itu hanya mencapi S1 bagi kita orang Kabun ini. Untuk mencapai S2 sampai professor sekalipun insya allah banyak jalan. Kami sudah melihat jalan ke arah sana. Salah satu dari kami sudah hampir merampungkan S2 dan barangkali akan melanjutkan S3. Salah satunya lagi, sampai tulisan ini dibuat, masih berjuang untuk mendapatkan beasiswa dari Australian Development Scholarship(ADS) sambil meniti karir semampunya.

Nah adik-adik, dengan umur kami yang baru 25 tahun, adik-adik boleh lihat apa yang telah kami lakukan. Memang belum begitu banyak, tapi yang terpenting, kami mampu mencetak sejarah untuk kampung kita!! Urang Kobun yang mampu bertarung dalam kehidupan Nasional dan Internasional. Kami telah memulai REVOLUSI KOBUN dalam perubahan total cara pandang urang Kobun tentang arti pentingnya pendidikan. Tugas adik-adiklah nanti melanjutkan ini untuk kita lakukan bersama-sama. Semoga Allah meridhoi niat baik kita ini. HIDUP REVOLUSI KOBUN….!!!!

Rabu, 22 Oktober 2008

Laporan Syamsuar; STIPer Tak Terdaftar
(Sebuah Ulasan Ringan)
Oleh: Jannatul Husna

"Sungguh di luar dugaan, dunia pendidikan di Kabupaten Sijunjung melakukan pembohongan publik. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPer) yang didirikan Yayasan Pendidikan Sawahlunto Sijunjung (YAPSAS) sejak 2002, ternyata tidak terdaftar apalagi terakreditasi. Sehingga Ijazah yang dikeluarkan sama dengan nilai sertifikat pelatihan, karena lulusannya tidak diakui lembaga resmi.

Selama enam tahun berlalu, telah terjadi pembohongan dan pembodohan terhadap masyarakat. Untuk itu kasus STIPer ini perlu diusut tuntas, karena dana APBD yang dianggarkan selama 6 tahun sudah Rp2 miliar lebih. Kemudian mahasiswa yang kuliah di sana juga dikirimkan dari masing-masing nagari dengan mempergunakan Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN) setiap tahunnya sampai tamat...

”Untuk itu, disarankan STIPer ditutup saja, kemudian pengelola harus bertanggung jawab dan mahasiswa yang ada supaya dipindahkan kepada perguruan tinggi yang terakreditasi...."
Demikian Drs. Syamsuar Dt. Malintang Sati Anggota Fraksi Nasioanl Religius, DPRD setempat.

Sebuah Ulasan Ringan

Berita Padang Ekspress yang menurunkan laporan tentang STIPer tak Terdaftar” (orang Malaysia cakap tak dii'tiraf) pihak terkait, memang sebuah ironi dan amat mengejutkan banyak pihak, termasuk saya yang sedang belajar di University of Malaya. Entah itu menunjukkan kondisi riil pengelolaan pendidikan secara umum di Tanah Air atau sekedar menggambarkan carut marut sistim pendidikan sektoral sahaja? Mudah-mudahan kejadian yang menimpa Ranah Lansek Manih ini tidak berlaku sama dengan institusi pendidikan di daerah lain.(lihat lebih lanjut http://www.padangekspres.co.id/content/view/20857/112/)

Beberapa waktu yang lalu, dalam isu yang berbeda tapi saling terhubung cukup erat, saya pernah menulis, bahwa Sijunjung tidak saja kehilangan wibawa dalam dunia pendidikan, tetapi juga menghadapi kehilangan adagium "Ranah Lansek Manih-nya", karena tumbuhan yang menjadi "slogan" ini hampir saja punah. Kurang yakin, mari kita lihat ke pelosok negeri sekalipun. Mana ada budi daya tanaman Lansek di Sijunjung hari ini? Yang masih ada pun berangsur pergi dengan dilalap oleh benalu pembunuh. Saya khawatir, merek itu tinggal kenangan sahaja lagi, mungkin tidak menunggu lama?

Lalu bagaimana dengan STIT AL-Yakin? Adakah lembaga yang satu ini bernasib sama seperti STIPer? Semoga ada laporan selanjutnya, kita tunggu atau jika tidak muncul, kita buru!

Jannatul Husna (Putra Sijunjung, sekarang tinggal di Kuala Lumpur)

Selasa, 21 Oktober 2008

Membangun Negeri Dua al-Fatihah
Oleh: Jannatul Husna

Judul diatas mungkin terlalu amat membingungkan sebahagian pembaca. Apa yang menjadi keinginan saya sesungguhnya dari tajuk tersebut? Adalah tumpah darah saya dilahirkan, memiliki tradisi ibadah yang asing, bahkan tak berlandas dalil yang kuat (bid’ah; man ahdatha fi amrina hadha wa laysa minna fa huwa radd). Oleh itu, tercetuslah keinginan untuk turut meluruskan. Lagi-lagi usaha secara lisan dari satu orang ”tokoh” agama ke tokoh lain telah pun dibuat, tetapi seakan tak mempan merubah siput direbus dan tanpa kesan? Maka melalui tulisan ini, mudah-mudahan bisa menyentak mata nan banyak, istimewanya kepada para pemuda Kabun, yang turut menikmati sajian blog saya ini.

Walaupun ibadah salat mesti mengikuti apa dan bagaimana Rasulullah melakukan, ta’abbudi dan ittiba’, namun kebiasaan dari mayoritas masyarakat saya malah mengikut apa yang mereka terima dari tradisi ”guru” yang mengajarkan. Begitulah mereka menerima ajaran dari guru, sedari dari nenek moyang dahulu memang sudah begitu! Demikian paling santer kita dengar saat kita meminta alasan kenapa mereka beribadah semacam ini?

Semenjak menuntut ilmu di bangku Tsanawiyah dulu, saya telah menyoalkan persoalan sama, yaitu kenapa bacaan setelah al-Fatihah Imam mesti diiringi dengan bacaan doa, ”Rabb ighfirli wa liwalidayya, amin”? Pada satu ketika, saya pernah mengurai tema ini melalui Mimbar Tarawih Ramadhan, banyak jamaah yang tersentak, tetapi lagi-lagi pada salat jamaah berikutnya, tetap saja mereka kembali pada tradisi semula. Lalu saya bertanya, adakah ini hubungannya dengan Umm al-Kitab (artinya ibu atau induk al-Quran). Mereka menjawab, ya. Karena al-Fatihah itu ibu al-Quran, maka kesempatan baik yang sedikit itu harus digunakan untuk mendoakan ibu bapak kita? Sebuah bentuk pemikiran keagamaan yang di-akal-akali, bukan karena masuk akal, tetapi dipaksa, seolah-olah masuk di akal.

Lalu saya berkata, adakah sama antara al-Fatihah Imam waktu Jumaatan dengan Tarawihan? Mereka menjawab, ya sama. Lalu kenapa pada saat Imam selesai membaca al-Fatihah waktu Salat Tarawih, makmumnya langsung membaca amin (tanpa membaca Rabb ighfirli...), sedang pada saat selesai Imam membaca al-Fatihah pada salat Jumat, makmum ”harus” membaca doa untuk ibu bapak itu? tanpa langsung mengiringinya dengan "amin". Mereka tertegun, saya kira mereka telah paham dan menyadari kesilapan. Ternyata belum juga, bahkan sampai hari ini?

Saya perlu menjelaskan, bahwa kajian agama itu masuk akal, tetapi tidak sewajarnya umat Islam mengakal-akali penjelasan agama. Perkara ibadah adalah al-tauqif dan al-ittiba’ (mesti berhenti [mengulas] dan mengikut apa adanya), untuk pencarian hikmah kenapa begitu? Boleh dilanjutkan di belakang hari. Sesuatu yang tidak ”mengena” dengan pemikiran kita saat ini, bukan berarti perkara berkenaan tidak sesuai menurut akal, namun karena keterbatasan akal kita mencapainya.

Al-Fatihah itu satu versi saja dalam al-Quran dan satu versi amalan pula dalam salat keseharian Muslim. Apabila Imam berkata ghayr al-maghdub ’alayhim wa la al-dallin, fa qulu amin, fa man wafaqa ta’minuhu ta’min al-Mala’ikah ghufira lahu ma taqaddama min dhambih; apabila Imam membaca ghayr al-maghdub ’alayhim maka jawablah dengan ”amin”, sesiapa yang aminnya bersamaan dengan amin-nya para Malaikat, maka diampuni dosanya yang telah berlalu. Jadi tidak ada kalimat perintah untuk berdoa kepada kedua orang tua pada momen ini?

Membuat versi baru kaifiat ibadah bukan mendapatkan keampunan, malah mengundang dosa dan kemurkaan. Na’uzubillah. Semoga Negeri dua versi al-Fatihah ini kian sadar akan terlalu banyaknya persoalan yang mesti dibangun, tidak saja infrastruktur fisik, tetapi juga pembangunan mental spritual, termasuk membina kajian agama yang sahih dan benar. Wallahu a'lam.
Antara Demam Dengue dan Demam Dengki
Oleh: Jannatul Husna

Biarlah tidak memilih keduanya! Batin saya....

Beberapa minggu yang lalu, demam dengue itu memang sempat mendera (dari tanggal 5 s/d 18 Oktober 2008). Persendian terasa luluh, tubuh letih karena virus nyamuk aedes yang beredar pada jaringan tubuh ini. Masih untung agaknya, walau kekebalan tubuh saya menghadapi titik lemahnya, tetapi musibah itu tidak sampai membawa kegawatan yang menghilangkan kelezatan alias kematian. Berkat bantuan pihak-pihak yang ikhlas, Minuman 100 Plus dari Prof. sangatlah membantu, ditambah dengan obat-obatan antibiotik yang dicadangkan oleh pihak Kesihatan Pelajar Universiti. Selebihnya doa dan harapan dari orang-orang tersayang, walau dari balik ruang yang jauh.

Sakit di rantau memang terasa amat berat. Bagaimana dengan sakit yang tiada tepi dan tapal ya? Tanpa sekat pembatas, kebaikan pun tak mampu melerai semuanya? Saya berlindung kepada-Mu ya Allah....

Demam dengue (ada yang menyebutnya--demam malaria) saja, kita benar-benar tak kuat, padahal baru serangan dan infeksi dari makhluk yang tidak mencecah hidupnya sampai satu bulan, nyamuk. Strain atau tipe virus aedes ini—menurut analisis pakar kesehatan—juga bahkan mampu berubah menjadi sangat akut, yaitu demam berdarah dengue yang tampak pada ciri utamanya, bintik-bintik perdarahan. Selain perdarahan pada kulit, penderita demam berdarah dengue juga dapat mengalami perdarahan dari gusi, hidung, usus dan lain lain. Bila tidak ditangani segera, demam berdarah dengue dapat menyebabkan kematian (http://www.blogdokter.net/2008/06/27/demam-berdarah-dengue/).

Setelah menghadapi masa-masa menggigil, panas, tekanan darah yang mencecah ambang normal, nyeri kepala, nyeri saat menggerakan bola mata, nyeri punggung dan tulang, serta pahitnya air liur, dan hampanya rasa, akhirnya kesembuhan hampir juga. Tuhan masih memberikan kesempatan, bahkan peluang ikut peperiksaan semester ini, alhamdulillah. Allahumma asyfi anta al-syafi la syifa illa syifauka…

Lalu, kenapa dengan demam dengki? Adakah saya juga diserang oleh virus hasad itu? Sebetulnya tidak terlalu berhubungkait dengan item yang pertama. Namun keduanya memberikan implikasi yang sama hebatnya. Karena kedengkian pun mampu meluluhkan persendian seseorang walau bukan dari strain virus aedes, bahkan menghancurkan kebaikan yang telah dibuat. ”Sesungguhnya kedengkian memakan kebaikan sepertimana api memakan kayu bakar yang kering”, demikian Rasulullah mengingatkan.

Oleh karena itu, perangilah virus dengue dengan pola hidup yang baik, dan mari melawan kedengkian—sebagai tanda tak mampu menyaingi kelebihan orang lain—dengan menumbuhkan minat untuk terus belajar dan bekerja. Semoga!
Andai Lebaran Haji Dua Kali?
Oleh: Jannatul Husna

Syawal sebagai noktah kembalinya manusia kepada fitrah—setelah menghadapi bulan pembakaran—sungguhpun telah berlalu. Beberapa saat ke depan, insya Allah kaum muslimin akan menggelar ritual yang tak kalah besar, bahkan “hakikatnya” lebih besar daripada Idul Fitri yang kita kira, yaitu Lebaran Haji. Meskipun apresiasi kaum muslimin tidak berbanding sama dengan hari raya—yang tradisi—mudik menjadi ikonnya itu. Penduduk ibu kota tak menganggap perlu lagi untuk berdesakan di angkutan umum untuk pulang ke kampung halaman. Bahkan kerabat yang berdekatan pun merasa tidak terlalu penting untuk saling mengunjungi. Padahal lebaran haji mengandung nilai yang teramat dalam, betapa kalau bukan, kenapa kita diberikan masa bertakbir empat hari (10, 11, 12, dan 13 Zulhijjah) melebihi keharusan yang terjadi waktu lebaran puasa? bahkan upacara “menundukkan” dimensi kebinatangan pun diberi waktu yang lebih lama? Dengan ditandai dengan penyembelihan hewan kurban.

Perhitungan jatuhnya penanggalan lebaran haji, biasanya tidak menjumpai pertingkahan berarti kalau tidak disebut tidak ada. Jauh dengan apa yang sering berlaku semasa kaum muslimin menyambut bulan Syawal. Untuk kasus Indonesia, pertembungan itu sering terlihat pada beberapa ormas Islam, seperti perbedaan pandangan antara Muhammadiyah dengan Nahdatul Ulama, Tarbiyah Islamiyah, bahkan yang terbaru kelompok Hizbut Tahrir dan beberapa golongan lain.

Untuk beberapa daerah di Sumatera Barat, perbedaan itu turut wujud. Lebih-lebih kalau ada yang menjadikan satu kiblat “pengajian” kepada tempat tertentu. Ulakan, misalnya. Usaha para pengikut guru dan murid alm. Syeikh Burhanuddin sangat kuat dalam menjaga tradisi faqih-nya. Apa yang mereka lakukan semuanya tidaklah salah, walaupun sebahagiannya perlu kritikan dan analisa lebih dalam. Agar pemahaman itu boleh menjana ke arah yang lebih baik, bukan untuk menyalahi “titah” guru atau melawan kaji guru. Tetapi setidaknya, mengoptimalkan kemampuan akal dan mengurangi taklid buta.

Kampungku, jauh disudut Ranah Lansek Manih sana, dengan luas wilayah yang tak lebih dari genggaman telapak tangan itu akankah harus terbagi menjadi beberapa kotak? Masihkah kita mempertahankan “kedekutan” pemikiran masyarakatnya yang masih teramat sulit menerima perubahan dan kemajuan? Kalau Hari Raya Idul Fitri kita merasa wajib untuk duduk di Bukit Kosik menatap hilal tanda berakhirnya Ramadhan. Mengabaikan kehadiran tekhnologi dan kemajuan sains, lebih-lebih "meragui" kapability pemimpin yang lebih otoritatif? Akankah kita mesti menunggu kedatangan Lebaran Kurban kali ini dengan menumbuhkan perbedaan berikutnya? Andai Lebaran Haji Dua Kali di sebuah negeri sunyi itu, kemana lagi nilai-nilai kebersamaan harusnya dicari? Di tempat kecil yang berpagar gunung dan bukit saja perpaduan telah sangat langka dan terasa sangat unik, bagaimana sekiranya memadukan negeri yang terhampar luas.

Renungan terhadap firman Allah, “Apabila dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang diturunkan kepada Muhammad (berupa al-Quran dan al-Sunnah), mereka malah menjawab; bahkan kami (hanya) mengikuti apa yang telah diwariskan oleh para pendahulu (nenek moyang) kami”.

Semoga keegoan diri kian pupus, demi peradaban yang terus bergulir…