Jumat, 27 Februari 2009

KAMPUNGKU SAYANG: MAU KEMANA?
Oleh: Jannatul Husna*

Meskipun di tengah perjalanan cita yang meletihkan ini, saya masih terus teringat dengan kampung tercinta. Nun jauh di pedalaman sana. Disela kesibukan membuat tugasan kuliah, persiapan membuat Thesis Master, projek penyelidikan, agenda Bidang Intelektual-Penelitian PPI-UM dan seabrek kegiatan lain, wajah ceruk terisolir yang kaya sumber daya alam itu terus saja hadir. Inilah barangkali kebenaran pituah orang tua Minang, sejauh-jauh bangau tabang balieknyo ka kubangan juo, sejauh-jauh bujang marantau balieknyo ka kampuang juo

Entah kenapa kerinduan itu kembali muncul, padahal dulu--mungkin sampai hari ini--waktu saya belajar selalu mendapatkan cibiran dari orang-orang kampung. Lalu buat apa sebenarnya saya memikirkan kebaikan kampung itu, biar sajalah!

Tapi tidak, sungguh saya tidak sampai hati menelantarkan kemajuan dan perkembangan "negeri tanpa tuan" itu. Air, udara dan tanahnya ikut menjadikan saya seperti hari ini. Saya terlahir dari rahim bunda yang sangat tersayang, di "nagari" ini juga. Tumbuh, besar pun disana. Karena itu, walau baru mampu menyuntik semangat pencerahan lewat tulisan-tulisan kecil di blog, mudah-mudahan harapan itu semakin dekat.

Duhai kampungku sayang...

Telah kau ajarkan kami dengan pertanda alam. Galodoh besar pernah kau hantarkan, tanah longsor dan sebagainya. Tapi, kami tetap saja "tidur" dan tak mau peduli. Kami tak mengambil pelajaran dari kenyataan itu. Terlalu pekak rasanya hati, dan telinga pun sudah banyak yang tuli. Walau suara-suara tentang dunia, kemewahan hidup, kekayaan materi tetap terdengar, tapi suara alam Tuhanmu hilang, entah kemana tak terbaca. Maafkan kami duhai kampungku sayang...

Terlalu berat beban yang kau pikul. Orang-orang yang terus membenci dan mendendam terhadap masa lalu dan masa depan negeri ini selalu menginjak punggungmu yang sedianya telah lelah. Pantasnya mereka itu mangkat saja!?

Izinkan kami untuk menyelamatkan kau, duhai kampungku sayang. Dengan mewariskan generasi yang memiliki wawasan cerah.

Tapi, lagi-lagi semangat itu bagai angat-angat tahi ayam. Hari ini mungkin mereka tampak giat, tapi esok lusa harapan itu mulai berangsur surut. Tak aneh, kadang-kadang hilang di pangkal jalan oleh pengaruh kehidupan materi. Anak-anak yang hidup di atas punggungmu lebih memilih kendaraan bermotor, punya handphone mewah dan bergurau senda.

Tidak banyak penduduk yang mau menghadapi pahitnya dunia menuntut ilmu. Beratnya saat-saat belajar. Saya sangsi kondisimu akan tetap begini sampai kau tutup usia.

Sebuah pepatah Arab seyogyanya dapat mengagetkan semua anak negeri di sana, "man lam yazuq murr al-ta'allum sa'atan fal yazuq murr al-jahl tula hayatih" Siapa saja yang tidak merasakan getirnya menuntut ilmu walau sesaat dari kehidupannya, maka rasakanlah getirnya kebodohan sepanjang hidupnya. Na'uzubillah.

Engkau, duhai kampungku sayang jelas tak mungkin berteriak, karena itu bukan fitrahmu. Tapi saya tahu bahwa keinginanmu adalah lahirnya orang-orang yang berfikir, bekerja dan mampu membuatmu sejajar dengan negeri lain.

Hemat saya, lima tahun atau lebih yang akan datang keyakinan akan kemajuan itu harus segera tiba. Karena itu, kepada sahabat-sahabat saya yang terus mengenyam pengalaman dan wawasan keilmuan (yang bersekolah, baik tingkat menengah mahupun perguruan tinggi) bertekadlah untuk membuat negeri ini bisa tegak dengan gagahnya.

Kepada saudaraku yang menimba pengajaran dari alam semula jadi, di rantau ataupun di kampung sana, dukunglah kebangkitan itu dengan apa yang dimiliki. Indak kayu janjang di kapieng. Tiada gagasan, hargailah pendapat orang lain yang memiliki ilmu pengetahuan.

Kalau bukan kita siapa lagi? Tiada orang yang bakal menjernihkan suasana ini. Bahkan Allah sendiri tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada di dalam diri (cara pandang hidup) mereka sendiri.

Demikian, wallahua'lam.

* Refleksi Diri Seorang Anak Rantau Terhadap Negerinya, "Nagari" Kabun Kec. Sumpur Kudus Kab. Sijunjung
BERBAGI WAKTU: ANTARA MENIMBA ILMU DAN MEMBURU "DINAR"
Oleh: Jannatul Husna


Beberapa hari terakhir ini saya sedikit dibuat kalimpusieng karena harus membagi waktu antara tetap konsen belajar sambil mengais rezeki (memburu ringgit, heheh). Maklum, keduanya harus berjalan sama, karena tuntutan diri--lebih-lebih--menaja keperluan keluarga di kampung sana. Bekerja sambil kuliah, begitulah cerita suratan kali ini.

Tidak seperti kebanyakan kawan-kawan lain di Malaysia, walaupun saya harus ekstra keras membuat projek penelitian dosen di ruangan khas (kampus) mahupun di bilik rumah, namun saya tetap merasa beruntung. Karena tidak ramai yang punya kesempatan begitu. Mayoritas sahabat saya mesti bertandang ke rumah-rumah penduduk Melayu untuk private (mengajar ngaji al-Quran) anak-anak mereka. Dan tidak jarang pula, mereka harus bekerja sebagai pelayan kedai, menjadi sopir, jualan pulsa, menyebar brosur, dsb. Itulah hidup, kawan!

Huh...

Hari ini, meskipun jadual ujian semester kian dekat, yang berarti waktu libur pun telah hampir tiba. Saya tampaknya terpaksa menangguhkan kepulangan ke tanah air. Tidak lain adalah demi menyelesaikan kontrak kerja sebagai Research Assistant sekaligus menyiapkan bahan-bahan Thesis. Duh! Tak terasa, hampir kelar juga tahapan kedua ini. Saya yakin, keluarga saya tercinta, di Kabun dan Tanjung Ampalu sana, masih boleh tabah menunggu kepulangan ini. Toh, semasa penulisan Thesis nanti saya akan banyak menghabiskan masa bersama mereka. Semoga hutang-hutang itu dapat terbayarkan, kalaupun belum bisa lunas seutuhnya.

Benar kata ahli hikmah, kesibukan kerja itu terlalu banyak melebihi waktu yang ada (al-wajibat akthar min al-awqat). Tulisan ini tidak lebih sebenarnya sebagai peringatan kepada diri sendiri tentang; kerjakan urusan lain setelah menyelesaikan satu pekerjaan! Jangan pernah menunda-nunda waktu, karena kesempatan itu belum tentu datang untuk kali kedua.

Duhai Jannatul, teruslah mengukir prestasi walau banyak kewajiban menindih pundakmu yang kerdil, sedikit namun berterusan. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepadamu, kepada kita semua. Amin.