Minggu, 29 Maret 2009

Ketika Dia Mulai Belajar Jalan

Ayah, anak kita telah mulai belajar jalan! Kadang terpeleset, jatuh dan naik lagi. Begitulah kondisi dia sekarang. Demikian, berita dari istriku tersayang beberapa hari ke belakangan ini. Senang, walau bercampur sedih, karena tak dapat menyaksikan langsung perkembangannya. Yang pasti, Aku mesti menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik dari ketiaadan itu. Catatan ini mirip dengan catatan orang kebanyakan. Menceritakan tentang siklus kehidupan.

Pagi ini, aku terima lagi berita yang mengejutkan. Dia makan sabun mandi, yah! Duuch anakku!
Untung sabun yang dimaksud masih dibungkus pembalutnya. Jadi tak terlalu memberi kesan.

Hmmmh...

Sabtu, 21 Maret 2009

Maafkan Ayah, Nak!

Luruh! Hatiku berkecai, gundah mendengar berita istri tersayang. Anak kita sedang sakit, yah! Berita sedih itu kuterima seawal pagi ini. Sebagai ayah, aku bolak-balik menghubungi mereka nun jauh di pulau sana. Menanyakan perkembagan terbaru tentang kondisi sakitnya. Hanya itu yang bisa kulakukan, disamping memberi semangat dan doa, semoga anak kita lekas sembuh, ya bunda! Sekiranya berada disampingmu, tentulah aku segera mencari penawar biar beban panas itu segera hilang. Maafkan Ayah, Nak!

Tidak biasanya kamu sakit tanpa sebab, nak? Lagian ibumu kan seorang ahli kesehatan. Dia pasti menjaga kamu melebihi penjagaan terhadap dirinya sendiri. Kenapa hari ini tiba-tiba kamu diserang demam panas? Adakah kamu sangat rindu pada kebersamaan kita, timangan ayah...

Ayah sangat tidak kuat mendengar tangismu yang manja itu. Ayah sengaja menyuruh ibumu mematikan handphone, karena ayah tak tega mendengar kamu merintih dalam sakit tanpa ayah bisa tolong lebih banyak. Mungkin kamu pantas marah, tapi kepergian ayah demi masa depan kita, lebih-lebih masa depan kamu kelak. Sungguh!

Ayah tidak mau kamu susah sepertimana ayah susah menyusuri jalan ilmu yang panjang ini. Ayah dan bunda mau kamu lebih sejahtera menapaki cita-citamu kelak. Karena itu, ayah selalu menunjukkan kecintaan dengan sungguh-sungguh dalam belajar dan bekerja. Terkadang ayah harus berhadapan dengan cibiran orang lain, yang mengatakan bahwa ayah tidak sayangkan kamu dan ibumu. Padahal Ayah sangat mencintai kamu berdua, bahkan keluarga besar kita.

Ayah berdoa untuk kesembuhan kamu: Allahumma ashfihi Anta al-shafi la shifa'a illa shifa'uka, shifa'an la yughadir saqama. Ya Allah sembuhkanlah dia, karena Engkaulah Maha Penyembuh segala penyakit...

Amin!

Sabtu, 21 Mac 2009
Kuala Lumpur

Jumat, 06 Maret 2009

How To Be A Smart Writer

Afra menulis, tentang keinginanya untuk menjadi penulis berawal dari cita-cita yang sederhana. Diantaranya:

1. Ingin Menjadi Pintar

Afra mengatakan, ilmu itu ibarat kambing-kambing yang tercerai berai berkeliaran kesana kemari. Untuk mengumpulkannya kita perlu mengikatnya. Demikian juga dengan ilmu yang masih tercerai berai dalam otak kita, maka untuk mengumpulkannya kita harus mengungkapkannya secara sistematis, sehingga menulis merupakan cara terbaik untuk melakukannya.

Hemat saya, menulis bebas ataupun sistematis harus diawali dengan membaca. Karena tidak mungkin orang dapat menulis dengan benar, kalau sekiranya tidak ada sedikit informasi di dalam kepalanya. Jauh sebelum ini, ahli hikmah pernah berkata, al-'ilm ka al-sayd qayyid suyudaka bi al-habl al-wathiqah. Ilmu itu ibarat binatang buruan (liar), maka ikatlah ilmu pengetahuan itu dengan tulisan. Sebagaimana mengikat kambing (seperti ditulis Afra) dengan tali-temali yang kuat.

2. Berdakwah Dengan Pena

Menulis sederhana lalu menempelkannya di tempat yang mudah dibaca. Bila kita menulis hal baik, maka nilai ibadah kita akan mengalir setiap kali ada orang yang membaca, apalagi bila pembaca kemudian mengamalkanya.

Hemat saya, banyak mediasi yang boleh kita manfaatkan bagi mengembangkan kreasi tulis. Dulu, orang tidak pernah berkenalan dengan dunia internet. Bahkan, untuk menulis pun terpaksa di kulit-kulit binatang, pelepah kurma (kayu) kemudian meningkat menjadi pena, lalu muncul mesin tik. Hari ini, komputer bukan lagi menjadi barang yang mewah. Karena itu, sewajarnya kalangan mutaakhkhirin lebih produktif, kreatif dalam melakar karya-karya ilmiah.

Disamping ini semua, dakwah bi al-kitabah (tulisan) akan mampu dijalankan. Jangan mengira bahwa seruan Islam itu hanya berlangsung di mimbar-mimbar khutbah. Sungguh, menulis itu adalah dakwah dan dapat merubah dunia.

Nabi s.a.w. dalam riwayat Imam al-Tirmidhi pernah bersabda, inna al-dal 'ala al-khayr ka fa'ilih (siapa yang menunjukkan (orang lain) suatu kebaikan, maka seakan-akan ia sendiri yang berbuat kebaikan (itu). (Lihat Sunan al-Tirmidhi kitab 'al-ilm 'an Rasulillah bab ma ja'a al-dal 'ala al-khayr ka fa'ilih No. Hadith 2594)

Kalau tidak mampu untuk berdakwah dengan kekuasaan (al-yad) dan kata-kata (lisan), kenapa tidak mencoba untuk menulis? Relakah kita menjadi orang yang paling rugi se-dunia?

3. Berpikir Lebih Sistematis

Saat menulis, kita memiliki kesempatan untuk mengeditnya berkali-kali sampai tulisan itu menjadi rapi. Semakin banyak kita menulis, kian baik kemampuan merangkai kata-kata. Perlu disadari, kecerdasan seseorang tampak dari kemampuannya menyusun kata-kata (kalimat).

Hemat saya, menulis bermula dari hal yang kecil, sederhana. Ketika seseorang berucap tentang satu masalah. Dia membeberkannya tanpa noktah, tanpa koma dan tiada henti. Lalu mengulang tema itu kembali, yang pertama kali disebut, diulas lagi. Begitu seterusnya. Bagaimana pendapat anda tentang orang ini?

Menulis mendidik kita supaya pandai menata itu semua!

4. Memperoleh Kepuasan Batin

Menulis merupakan cara menumpahkan semua masalah yang ada dalam kepala. Mengekspresikan kepenatan ke dalam tulisan merupakan cara efektif untuk menenangkan fikiran. Bila kita berhasil mengungkapkan perasaan melalui tulisan, maka pikiran dan hati kita akan menjadi lebih nyaman.

Hemat saya, tulisan yang cerdas berangkat dari cuplikan (pengalaman) hidup. Karena hidup adalah fakta, bukan karangan semata-mata. Maka, lihatlah mereka menulis tentang lingkungannya. Seorang suami menulis tentang istrinya yang lagi ngidam. Seorang ayah menulis tentang anaknya yang mulai pintar berkilah dan ber-ulah. Buya Hamka (sebagai anak) mencatat perjalanan hidup ayahnya sendiri.

Terus, kenapa kita tidak mau merangkai kata seperti mereka? Berkisah tentang kolam ikan di belakang rumah, pincuran tempat mandi, lapangan bola tempat bermain dikala sore, dan sarat lagi yang harus ditulis.

Terakhir, kenapa kita tidak mau mencoba?

Keempat alasan di atas hanyalah sedikit dari apa yang diceritakan Afra di dalam bukunya (How To Be A Smart Writer, 2008). Selain itu terdapat pula trik-trik membangkitkan kemampuan menulis kita.

So, baca bukunya Afifah Afra dan gapailah cita-citamu menjadi smart writer!

dikutip dari http://id.shvoong.com/books/1794606-smart-writer/ setelah mengalami beberapa perubahan bahasa dan penambahan di beberapa titik.


JANNATUL HUSNA
MASTER OF ART
AL_QURAN DAN AL_HADITH
UNIVERSITI MALAYA
KUALA LUMPUR

Minggu, 01 Maret 2009

Penulisan ilmu hadis oleh ulama Asia Tenggara

RAMAI memperkatakan bahawa penulisan ilmu-ilmu keislaman yang dilakukan oleh ulama Asia Tenggara zaman silam hanya berkisar pada ilmu-ilmu tasawuf, fiqh dan tauhid sahaja. Tuduhan begitu sangat menyedihkan, tanpa membuat suatu kajian yang saksama dan teliti, bahkan juga ada yang berpendapat bahawa ulama-ulama silam Asia Tenggara tidak mengenali ilmu hadis.

Pendapat demikian adalah satu kekeliruan besar, kerana apabila kita kaji dengan teliti, bahawa penulisan ilmu-ilmu keislaman yang dilakukan oleh ulama-ulama tradisional Asia Tenggara adalah lengkap dalam berbagai-bagai ilmu pengetahuan keislaman, termasuk ilmu-ilmu hadis.

Bahkan ilmu-ilmu lain juga, seperti ilmu hisab, ilmu falak, ilmu perubatan dan lain-lain. Rentetan itu, pada ruangan kali ini penulis bicarakan pula perkembangan penulisan hadis ulama-ulama di Asia Tenggara.

Perbicaraan ini pernah dibentangkan oleh penulis atas pilihan Pengerusi Jawatankuasa Kerja Seminar Antarabangsa Pengajian Islam di Asia Tenggara, Universiti Brunei Darussalam. Pilihan judul kertas kerja yang diamanahkan kepada penulis, iaitu Perkembangan Penulisan Hadis di Asia Tenggara dilihat adalah tepat. Namun judul tersebut kemudian terjadi sedikit perubahan dan ditukar kepada Perkembangan Penulisan Hadis Ulama di Asia Tenggara.

Pilihan judul tersebut penulis katakan tepat kerana beberapa perkara, iaitu: Pertama, sesuai dengan perkembangan zaman, iaitu zaman dunia Asia Tenggara dilanda oleh berbagai-bagai aliran termasuk aliran ingkar sunah/anti hadis.

Kedua, merupakan pembelaan dan menyerlahkan nama ulama-ulama silam kita dalam ilmu hadis. Dan ketiga, sekali gus merupakan jawapan atas anggapan segelintir orang yang memandang sinis terhadap ulama-ulama silam Asia Tenggara seperti yang telah disebutkan di atas.

Kertas kerja tersebut mengutamakan pengenalan terhadap ulama-ulama Asia Tenggara dan karya-karya mereka mengenai hadis, yang dimulai abad ke 16-17 hingga abad ke 19-20 saja, iaitu ulama-ulama Asia Tenggara yang menggunakan tulisan Melayu/Jawi.

Adapun ulama-ulama Asia Tenggara yang terlibat penulisan hadis yang menggunakan tulisan Latin/Rumi tidak diperkenalkan. Sebelum memperkenalkan pengkaryaan hadis oleh ulama-ulama silam tersebut, terlebih dulu penulis sentuh sepintas lalu mengenai isnad hadis kerana mengenai isnad adalah termasuk perkara yang sangat penting dalam perbicaraan ilmu hadis.


Catatan mengenai Isnad Ulama Asia Tenggara


Hampir semua ulama Asia Tenggara yang menghasilkan karya memandang penting "salasilah" apabila mereka mengamalkan sesuatu thariqah shufiyah, demikian juga ilmu-ilmu lainnya. Budaya mencatat salasilah dimulai penulisan awal Asia Tenggara seumpama karya Sheikh Nuruddin ar-Raniri, Sheikh Abdur Rauf al-Fansuri, dan lain-lain dapat kita jumpa dalam berbagai-bagai judul karya mereka.

Tradisi demikian dilanjutkan oleh ulama-ulama Asia Tenggara abad ke 18-19, dapat kita temui dalam karya-karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, Sheikh Daud al-Fathani dan lain-lain.

Berlanjutan terus, termasuk ulama-ulama yang muncul abad ke 19-20, seumpama Sheikh Ahmad al-Fathani, Sheikh Mukhtar Bogor, Sheikh Muhammad Mahfuz at-Tarmasi dan lain-lain. Jika dalam ilmu thariqah shufiyah lebih dikenali dengan istilah "salasilah", maka dalam ilmu hadis pula lebih dikenal dengan istilah "isnad" atau "sanad."

Ruangan ini sangat terbatas untuk membahas perkara "salasilah" dan "isnad", namun sebagai maklumat perlu disebut dengan ringkas saja. Sheikh Nuruddin ar-Raniri menulis "salasilah"nya dalam Jawahirul 'Ulum, Sheikh Abdur Rauf al-Fansuri dalam Kifayatul Muhtajin dan 'Umdatul Muhtajin, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dalam Siyarus Salikin dan al-'Urwatul Wutsqa, Sheikh Daud al-Fathani dalam Kaifiyat Khatam Quran dan ramai lagi.

Untuk mengetahui "isnad hadis", beberapa orang ulama di antaranya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dapat dirujuk kepada al-'Iqdul Jawahir karya Sheikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani (Padang).

Di dalam karya tersebut, Sheikh Yasin Padang menyebut setiap satu "sanad hadis" yang dinisbahkan kepada Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, misalnya, bahawa ulama Palembang itu "sanad musalsal" kepada ulama-ulama yang terkenal. Apabila beliau belajar Kitab Shahih Bukhari, sanadnya musalsal sampai Imam Bukhari, demikian kitab-kitab lainnya. Semua Kitab as-Sittah, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sanadnya musalsal sampai kepada pengarang-pengarang kitab tersebut.

Ilmu hadis

Ulama-ulama Asia Tenggara abad ke 19-20, sebahagian besar sanad hadis mereka diterima dari Saiyid Muhammad Ali bin Saiyid Zahir al-Watri al-Hanafi, Saiyid Husein bin Saiyid Muhammad al-Habsyi, Saiyid Abu Bakar Syatha, Saiyid Ahmad Zaini Dahlan dan lain-lain.

Seumpama: Sheikh Ahmad al-Fathani juga belajar ilmu hadis kepada ulama Madinah itu, sanad hadis ulama yang berasal dari Patani itu di antaranya ialah: Saiyid Muhammad Ali bin Saiyid Zahir al-Watri al-Hanafi. Sanad hadis yang lain ialah: beliau belajar kepada Sheikh Abdul Qadir as-Syibli at-Tarablusi.

Kedua-dua sanad hadis Sheikh Ahmad al-Fathani itu musalsal hingga kepada pengarang kitab-kitab hadis yang terkenal dan muktabar. Selain itu ada lagi sanad hadis Syeikh Ahmad al-Fathani yang beliau terima dari Saiyid Husein al-Habsyi. Tidak dapat dinafikan bahawa Sheikh Ahmad al-Fathani pernah belajar kepada Sheikh Nawawi al-Bantani.

Sheikh Nawawi al-Bantani melalui Sheikh Zainuddin Aceh bersambung sanad kepada Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Sheikh Nawawi al-Bantani juga ada sanad hadis kepada Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani. Sheikh Muhammad Mahfuz at-Tarmasi (Termas) termasuk peringkat murid kepada Sheikh Ahmad al-Fathani, beliau belajar ilmu hadis kepada beberapa orang, di antaranya kepada Saiyid Husein al-Habsyi dan Saiyid Abu Bakar Syatha.

Juga tidak dapat dinafikan beliau juga pernah belajar kepada Sheikh Ahmad al-Fathani, Sheikh Nawawi Banten, dan lain-lain.

Maklumat tersebut di atas hanyalah sebagai contoh saja, belum dapat dihuraikan panjang lebar dalam ruangan yang terbatas ini. Dalam kajian, penulis menemui bahawa sangat ramai ulama Asia Tenggara yang faham benar mengenai hadis, yang sah ilmu hadis mereka, kerana mempunyai sanad musalsal.

Kitab-kitab hadis Melayu peringkat awal

Penulisan hadis abad ke-17 terdapat dua buah, sebuah karya Sheikh Nuruddin ar-Raniri dan sebuah lagi karya Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Hingga kertas kerja tersebut ditulis, penulis belum menemui kitab hadis yang lebih awal dihasilkan oleh ulama Asia Tenggara lainnya.

Kedua kitab hadis tersebut ialah: Al-Fawaidul Bahiyah fil Ahadithin Nabawiyah, disingkat Al-Fawaidul Bahiyah sahaja, atau dinamakan juga dengan Hidayatul Habib fit Targhib wat Tarhib, disingkat kepada Hidayatul Habib sahaja, karya Sheikh Nuruddin ar-Raniri. Sebuah lagi ialah: Syarh Lathif 'ala Arba'ina Haditsan lil Imam Nawawi, disingkat Hadits Arba'in sahaja, karya Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.

Pengenalan data yang sangat ringkas kedua-dua kitab hadis tersebut, penulis telah muatkan dalam buku Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara, jilid 1-2, namun di sini perlu juga disinggung sebagai pelengkap perbicaraan ini.

Penulis dahulukan mengenai Al-Fawaidul Bahiyah fil Ahaditsin Nabawiyah, kitab hadis ini diselesaikan pada hari Jumaat, Syawal 1045 H/1635 M. Di dalamnya terkumpul sebanyak 831 hadis terdiri daripada 46 Bab. Setiap periwayat hadis disingkat dengan huruf kod, misalnya huruf Kha untuk Imam Bukhari, huruf Mim untuk Imam Muslim, dan lain-lain Imam hadis.

Jumlah semua yang digunakan kod seramai 22 orang. Semua hadis dalam karya Sheikh Nuruddin ar-Raniri tersebut ditulis teks dalam bahasa Arabnya, sesudah itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu.

Sheikh Nuruddin ar-Raniri memulakan kitab hadisnya dengan Bab Menggemari Niat, diiringi dengan Bab Menggemari Islam, Iman Dan Ihsan dan berakhir dengan Bab Menggemari Sentiasa Menyebut Mati, Mentalkinkan Mayat, Berjalan Serta Jenazah Dan Menakutkan Meratap-ratap. Manuskrip karya Sheikh Nuruddin ar-Raniri tersebut terdapat sebuah dalam simpanan Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan Negara Malaysia (PMM-PNM) dengan nombor kelas MS 1042 menggunakan judul Hidayatul Habib fit Targhib wat Tarhib.

Cetakan awal kitab ini ditashih dan diusahakan oleh Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, dicetak di bahagian tepi kitab Jam'ul Fawaid karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Cetakan demikian masih kekal hingga cetakan-cetakan akhir kitab Jam'ul Fawaid itu sampai sekarang.

Mengenai Syarh Lathif 'ala Arba'ina Haditsan lil Imam Nawawi karya Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri setakat ini baru dijumpai dua buah manuskrip yang tersimpan di PMM-PNM. Manuskrip yang pertama tidak lengkap, nombor kelas MS 1314, yang sebahagiannya telah ditransliterasi oleh penulis dan sebuah lagi lengkap belum diberi bernombor kelas.

Pada halaman akhir manuskrip yang baru dijumpai itu terdapat tanggal diselesaikan kitab hadis itu, ialah "Tamat karangan al-faqir Sheikh Abdur Rauf bin Ali Bandar Aceh Darus Salam, hari Selasa, bulan Safar sanah 1091 H". Kitab hadis karya Sheikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri ini adalah merupakan terjemahan dan tafsir Hadits Arba'in Imam Nawawi yang pertama sekali dalam bahasa Melayu, dan merupakan kitab hadis dalam bahasa Melayu yang kedua sesudah karya Sheikh Nuruddin ar-Raniri tadi.

Corak syarah agak berbeza dengan semua syarah hadis itu, kerana Sheikh Abdur Rauf al-Fansuri mensyarah/ mentafsirnya adalah berdasarkan ilmu tasawuf. Dalam pengetahuan penulis sendiri, bahawa karya Sheikh Abdur Rauf al-Fansuri mengenai hadis empat puluh tersebut belum pernah diterbitkan berupa cetakan.

Apabila kita membicarakan hadis empat puluh, maka kita akan menemui berjenis-jenis hadis empat puluh itu dalam bahasa Melayu. Jauh sesudah Sheikh Abdur Rauf al-Fansuri, pada tahun 1272 H/1856 M terdapat lagi sebuah terjemah beserta syarah Hadits Arba'in Imam Nawawi itu yang diberi judul Fathul Mubin karya Sheikh Muhammad Shalih bin Muhammad Murid Rawa.

Disyarah menurut ilmu fiqh, jadi jauh berbeza dengan syarah Sheikh Abdur Rauf al-Fansuri yang disyarah bercorak sufisme itu.

Syarah Hadits Arba'in yang kedua ini pernah dicetak di Mekah. Penulis difahamkan oleh Ustaz Abdul Halim Sa'ad (bekas Imam Masjid Negara) bahawa di tangan Tuan Guru Haji Umar Pondok Lanai, Kedah juga terdapat sebuah syarah hadis yang sama, dan disyarah menurut ilmu nahu dan saraf.

Selain itu Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani pernah menyusun Hadits Arba'in yang bukan merupakan terjemahan Hadits Arba'in Imam Nawawi yang terkenal itu.

Hadits Arba'in susunan serta terjemahan Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani pernah beliau muat dalam karyanya Hidayatul Muta'allim. Hadits Arba'in susunan Sheikh Khatib al-Munziri, bukan Imam Nawawi, pernah diterjemahkan oleh Sheikh Wan Hasan bin Wan Ishaq al-Fatani (domisil di Besut, Terengganu). Terjemahan tersebut diberi judul Hidayatul Mukhtar.


Penutup


Melalui penyelidikan penulis, terdapat beberapa ulama-ulama Asia Tenggara yang terlibat dalam penulisan hadis, iaitu: Sheikh Abdullah Bin Abdul Mubin al-Fathani, Sheikh Daud Bin Abdullah al-Fathani, Sheikh Nawawi al-Bantani, Sheikh Wan Ali Kutan Kelantan, Sheikh Ahmad al-Fathani, Sheikh Ahmad Yunus Lingga, Sheikh Utsman Syihabuddin Pontianak, Sheikh Muhammad Mahfuz at-Tarmisi, Sheikh Husein Kedah, Sheikh Utsman Jalaluddin al-Kalantani, dan Sheikh Idris al-Marbawi. Keterangan maklumat mengenai ulama-ulama tersebut akan dilanjutkan perbicaraannya pada ruangan seterusnya.

Hanya demikian saja ulama-ulama Asia Tenggara yang terlibat secara langsung dalam penulisan hadis yang dapat diperkenalkan. Bagaimanapun kajian yang berterusan perlu dijalankan untuk menyelidik berkemungkinan masih ada ulama-ulama yang belum diperkenalkan, sama ada dalam bidang hadis mahupun bidang-bidang lainnya.

dirilis dari http://utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2009&dt=0223&pub=Utusan_Malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm