Senin, 12 Oktober 2009

Setengah Hati

Belajar hingga ke pintu kematian! Begitulah prinsip religi yang pernah kita tahu. Namun tidak banyak orang yang peduli dengan prinsip tersebut. Dengan pelbagai alasan. Sebahagian orang tua melihat dunia kerja-uang lebih penting ketimbang anaknya harus masuk sekolah. Bersekolah justru bukan mendatangkan uang, malah menghabiskannya. Tidak heran, ketika anaknya mau berangkat sekolah-kuliah, minta uang buku dan sebagainya, orang tua mengerutkan dahi tanda tak rela. Sebahagian lain, yang bermasalah bukan orang tua. Malah anak, generasi muda yang kurang menginsyafi pentingnya menuntut ilmu pengetahuan. Mereka lebih memilih dunia glamour; motor, mobil, handphone, MP4 dan seterusnya yang serba baru dan wah! Tidak jarang, orang tuanya kesal lalu menyumpah: Bukan engkau yang minat sekolah, tetapi aku (bapakmu-ibumu)!

Kesenjangan itu terasa di pelupuk mata. Terkadang golongan kaya, punya banyak uang tetapi ahli keluarganya berotak buntu. Jelas tidak "bisa" sekolah. Sementara anak "miskin" berotak encer, mau sekolah, tetapi tidak cukup uang. Inilah keadilan. Dimana orang yang dilebihkan Tuhan dalam rezki menyekolahkan kaum yang lemah. Inilah bentuk kesyukuran bagi mereka. Orang yang diuji rezekinya dengan keterbatasan finansial diminta untuk bergandengan tangan dengan kelompok pertama. Inilah nilai kesabaran. Kedua-dua perkara tersebut sama baiknya.

Menyikapi dilema di atas sepatutnya pemerintah bersikap tegas dan komit. Di tanah air kita, yang kaya sumber daya, bahkan ada yang menyebutnya "sekeping tanah dari surga", tidak boleh lagi ada anak-anak putus sekolah. Riwayat Jepang, ketika negaranya dibumihanguskan pasukan Sekutu tahun 1945. Mereka bangkit melalui pendidikan, yang mereka bangun adalah sumber daya manusia unggul. Sementara kita, masih terus bergulat dalam tataran wacana dan gagasan. Tidakkah kita mahu mengikut Bapak Penjajah kita itu, yang sekarang memimpin peradaban Asia? Sederhananya, mereka tidak punya lahan pertanian layaknya negeri kita, sedangkan kita terhampar lahan yang luas, tetapi sayur kangkung masih tetap impor. Setidaknya dari pasar sebelah.

Di beberapa negara di Asia Tenggara, dialektika-wawasan kita mungkin masih terdepan. Tidak heran banyak anak ibu pertiwi melakoni banyak kejuaran ilmiah antar bangsa di Asia bahkan di dunia. Itu mutiara yang tumbuh di tengah kubangan lumpur. Kalau sekiranya pemerintah dan seluruh elemen anak bangsa bergandengan tangan untuk menciptakan pendidikan yang exelent, fasilitas-infrastruktur yang modern, perpustakaan yang accestable, beasiswa pendidikan yang layak-tidak sekedar untuk ditulis dalam buku anggaran belanja daerah-negara. Maka mutiara-mutiara itu akan banyak bermunculan. Melebihi apa yang kita duga selama ini. Tapi sayang, isyarat ke arah itu hanya baru setengah hati. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar