Sabtu, 21 Juni 2008

Oh...Freeport No...

Oleh: Yermias Degei

Ketika tulisan saya berjudul “Tanah ini Saya Punya Tubuh...” dimuat di media ini (www.wikimu.com) edisi Minggu, 29 April 2007, Bajoe menanggapinya dengan sungguh kritis. Bajoe kurang sependapat atas isi pernyataan yang mengatakan bahwa eksploitasi kekayaan alam Papua sudah direncanakan sejak era Presiden Soekarno.

“Kalau sedikit kita melongok sejarah, era Orde Lama (Soekarno) dengan era Orde Baru (Soeharto) sangat berbeda bahkan bertolak belakang secara ideologi atau cara pikir. Bila di masa Soekarno, aku yakin 100% Freeport tidak akan memperoleh ijin. Namun dimulainya era Orde Baru (Soeharto) adalah pertanda jatuhnya Indonesia ke tangan dunia Barat dalam hal ini AS, Eropa dan Jepang,” tulis Bajoe mengoreksi.

dan seterusnya agak panjang komentarnya,...

Untuk membuktikan bahwa eksploitasi kekayaan alam Papua sudah direncanakan sejak era Presiden Soekarno, saya mencoba mempelajari beberapa sumber dan melakukan diskusi dengan beberapa teman yang sedang belajar ilmu sejarah. Proses pencarain itu belum memberikan jawaban yang memuaskan. Maka tulisan ini adalah satu bentuk “ralat” atas pernyataan tersebut. Bentuknya ralatnya aneh memang, karena isinya adalah justru memperjelas bahwa proses masuknya Freeport Indonesia di tanah Papua. Yang jelas tulisan ini adalah satu kejujuran, kebenaran dan keberanian saya. Bajoe yang baik, tolong kritisi juga tulisan ini. Saya sengaja memberi judul “Oh..Freeport No...” karena benar-benar bingung.

****

Pada mulanya adalah sebuah feature karya Juan Jaques Dozy tahun 1936 di perpustakaan Belanda (Tabloid Jubi, 17 Oktober 2001). Feature itu melaporkan tentang Gunung Erstberg (Gunung Tembaga) yang begitu tinggi, atau lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut di New Gunea (Papua Barat).

Bulan Agustus 1959 Forbes Wilson, direktur dan pakar top pertambangan di Freeport Sulphur bertemu dengan Jan Van Gruisen direktur pelaksana East Burneo Company sebuah perusahaan yang juga bergerak dalam bidang pertambangan milik Belanda. Grusen baru saja secara kebetulan menemukan feature karya Juan Jaques Dozy tersebut.

Satu tahun kemudian setelah pertemuan tersebut, tepatnya 1 Februari 1960, Freeport Sulphur dan East Burneo Company membuat kontrak kerjasama eksplorasi biji tembaga di Papua Barat. Selama beberapa bulan Wilson menjelajah kawasan Erstberg. Wilson terperancat menyaksikan kekayaan biji tembaga yang terhampar luas di permukaan tanah.

“Inilah keajaiban yang sulit ditemukan di manapun,” tulis Wilson di The Conqust of Cooper Mountain seperti dikutip tabloid Jubi 17 Oktober tahun 2001. “Sekitar 40 sampai 50 persen biji besi dan 3 persen tambang serta masih terdapat perak dan emas. Angka tiga persen itu saja sudah cukup menguntungkan bagi industri tambang. Tiga belas juta ton biji tembaga di permukaan tanah dengan kedalaman 100 meter. Jika untuk memproses 5.000 ton biji tembaga/hari dibutuhkan investasi 60 juta dollar AS, dengan rincian biaya produksi 16 sen dollar/poin.

Sementara harga jual 35 sen/poin, maka dalam tiga tahun saja inventasi itu sudah lunas,” tulis Wilson di The Conqust of Cooper Mountain (baca: Jubi, 2001). Deposit tembaga lebih besar bukan hanya Erstberg tetapi juga Gressberg. Freeport menyebut di areal Gressberg ini tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52, 1 juta ons. Doposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar As dan hingga 45 tahun ke depan masih menguntungkan.

Namun Freeport mengurungkan niatnya segera mengeksploitasi Erstberg. Sementara itu, hubungan Indonesia dan Belanda (yang lebih dulu menguasai Papua Barat) itu sangat genting dan mendekati perang terbuka. Pada tahun 1961 presiden AS John F Kennedy mengutus Ellsworth Bunker sebagai negosiator untuk menekan Belanda dan mengelabui PBB untuk Papua masuk ke dalam Indonesia.

Bunker menghentikan bantuan Mashall Plan dengan alasan khawatir Belanda membiayai senjata untuk melawan Indonesia, (baca Jubi dan Komunitas Papua News). Sementara siasat lain adalah proposal Bunker. Hasil rancangannya berhasil mempengaruhi Belanda dan PBB. Pada tanggal 15 Agustus 1962 telah mengadakan perjanjian New York (Resolusi PBB Nomor 1752), di mana masyarakat Papua akan menentukan status politiknya. Apakah akan ikut Indonesia atau menentukan nasibnya sendiri lewat PEPERA tahun 1969.

Dalam perjanjian tersebut PBB membentuk pemerintahan transisional UNTEA dan menyerahkan status Papua untuk selama 6 tahun (1963-1968) UNTEA menyiapkan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri dengan cara “one man one vote” (satu orang satu suara). Tahun 1963 Amerika bermain sedemikian rupa sehingga PBB menyerahkan mandat kepada Indonesia untuk melaksanakan urusan administrasi mempersiapkan PEPERA tahun 1969 sesuai perjanjian New York (baca Suara Pembaruan, 1/3). Papua yang sedang disengketakan antara Belanda dan Indonesia itu diserahkan kepada Indonesia untuk mempersiapkan bangsa Papua untuk melaksanakan PEPERA.

Sejak adanya mandat tersebut Sukarno mengirim pasukan besar-besaran di tanah Papua dan melakukan operasi militer besar-besaran dengan sandi “SADAR” selama 1965-1968 (Tetro 2006 melalui Tetro, Suara Pembaruan 2006). Selama satu tahun UNTEA menjadi pemerintahan transisi. Pada saat itu orang Papua melakukan perlawananan (aksi protes) sebagai bukti tidak menerima pemerintah Indonesia berkuasa di Papua. Akan tetapi bagi mereka yang melakukan tindakan protes diperlakukan tidak adil oleh militer.

“Masyarakat yang memprotes diperlakukan tidak manusiawi, misalnya diintimidasi, terror, perempuan-perempuan diperkosa militer, besi panas dimasukan lewat dubur, dan berbagai penganiyaan terjadi di tanah Papua,” Pernyataan Sikap Tujuh Suku (Komunitas Papua, 01/3). “Kasus pembunuhan atau perampasan, pelecehan, dan pemerkosaan berjalan dari dulu hingga saat ini. Ini merupakan trauma kolektif rakyat yang sangat menyakitkan dan sulit dihilangkan. …di kampungnya sendiri warga tidak merasa aman dan tidak bebas bergerak,” John Saklil (Kompas, 17/3).

Tanggal 1 Mei 1963 adalah awal yang baru bagi Indonesia dan Amerika Serikat untuk memainkan status Papua menjadi bagian dari NKRI. Banyak cara yang digunakan dalam rangka itu. Tanggal 22 November 1963 John F. Kennedy tewas tertembak. Augustus C Long salah satu petinggi Freeport segera membentuk tim kampanye bagi pemilihan Johnson, pengganti sementara John F Kennedy dalam pemilu presiden tahun 1964. Pada tahun 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasihat intelejen presiden AS masalah luar negeri (Baca Jubi, 2001).

Soeharto mengambil alih kekuasaan tahun 1965 dalam kondisi stagnasi ekonomi dan hiperinflasi, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 2 persen per tahun (Muljanto, 1995). Segala upaya secara militer maupun non militer telah dipersiapkan untuk memastikan kemenangan Indonesia dalam PEPERA 1969, sekaligus mengakhiri polemik internasional tentang status politik Papua yang telah berlangsung dua puluh tahun sejak Konfrensi Meja Bundar (1949-1969).

Sungguh suatu kenyataan, periode 1963-1969 kekerasan telah menjadi Memoria Passionis bagi rakyat Papua. Dalam kondisi seperti inilah kontrak karya PT Freeport ditandatangani oleh pemerintah Indonesia tanpa melibatkan orang Papua. Urgensi tuntutan pelurusan sejarah Papua Barat dan dialog adalah bagaimana mengungkap pembunuhan yang terjadi selama periode ini, (Tetro, 2006).

Akhirnya melalui berbagai rekayasa, intimidasi, teror dan berbagai pelanggaran HAM yang serius, pemerintah Indonesia di bawah bayang-bayang Amerika Serikat memaksa 1025 orang untuk mewakili orang Papua lain memilih Papua adalah bagian wilayah NKRI melalui PEPERA tahun 1969.

Salah satu cara yang tidak luput dari ingatan orang Papua adalah sejak tahun 1967 sebelum Penentuan Pendapat Rakyat Papua yang dikenal dengan nama “PEPERA” tahun 1969; pemerintah Indonesia dan Amerika telah menandatangani kotrak pengeksploitasian tambang emas dan tembaga di Papua.

Status Papua yang belum ditentukan melalui penentuan nasib orang Papua, pemerintah Indonesia sudah melakukan perjanjian atau kontrak antara Amerika dan Indonesia tantang rencana peng-Exploitasian tembaga dan emas di tanah Papua. Sebagai investor pertama setelah UU Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA), dan UU Nomor 11 tahun 1967 tentang pertambagan disahkan, PT FI diharapkan mampu berkontribusi dalam upaya perbaikan prekonomian nasional.

Kepastian hukum dan stabilitas politik, tentunya menjadi pertimbangan utama invenstor asing ketika membuat keputusan melakukan investasi. Namun hal ini tidak dipertimbangkan karena mendapat jaminan dari Indonesia untuk beroperasi selama 30 tahun. Dalam periode tiga puluh tahun kontrak karya I, PT FI mengeluarkan angka US$1,732 miliar, jumlah kontribusi bagi NKRI. Angka ini jika seluruhnya terpakai untuk perbaikan ekonomi nasional maupun perbaikan pelayanan publik di Papua, maka wajah Papua tidak akan sama seperti sekarang ini.

Orang Papua dan khususnya tujuh suku miskin dan terlantar. “Hidup kami terlantar karena lingkungan kami telah dihabisi oleh mesin-mesin raksasa ulah manusia sekarah yang tidak menghargai pesona manusia dan alam. Dari tahun 1967 kami tujuh suku, mengalami dampak negatif yang membawa ancaman terhadap hak hidup. Kami menjadi pemulung terhormat di atas tanah kami. Kami mencari emas di atas tailing untuk memenuhi kebutuhan kami. Tanah kami telah diambil orang. Kami mendulang di tailing yang pada akhirnya cepat atau lambat mematikan kami sendiri”, ungkapan tangisan Mama Yosepha Alomang.

Jadi, intinya adalah pertama sebelum Papua sah menjadi bagian dari Indonesia, tetapi Soeharto telah menekan masuknya PT FI ke Erstberg. Kedua, PT FI telah masuk ke Erstberg jauh sebelum UU PMA Nomor 1 tahun 1967 itu disahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar