Kamis, 19 Juni 2008

Tradisi Keilmuan Kita

Oleh: Jannatul Husna

Beberapa saat yang lalu, kita telah menyaksikan pengumuman kelulusan pelajar SMU, Aliyah dan SMK tahun ajaran 2007/2008. Untuk Sumatera Barat, sesuai dengan informasi Kepala Dinas Pendidikan, Burhasman Bur angka kelulusan peserta UN tingkat SMA jurusan IPA di Sumbar tahun ini mencapai 95% atau 13.199 siswa dari 13.894 peserta UN. Adapun angka kelulusan peserta UN jurusan IPS sebanyak 87% atau 16.950 dari 19.483 peserta UN. Sementara angka kelulusan peserta UN tingkat SMK mencapai 89% atau 12.508 siswa dari 13.960 peserta UN sedangkan tingkat kelulusan peserta UN tingkat MA mencapai 87% (Media Indonesia,19/6/2008).

Adapun untuk skop Kabupaten Sijunjung, Sebanyak 499 siswa (35 persen) dari 1.391 peserta UN tingkat SLTA tidak lulus. Sembilan dari 499 itu, tidak lulus karena tidak mengikuti UN. Dibanding tahun ajaran 2006/2007 yang tingkat kelulusan 92 persen, pelaksanaan UN tahun ajaran 2007/2008 ini jelas anjlok, karena yang lulus hanya 892 siswa (65 persen) dari 1.391 peserta. “Tapi itulah gambaran kondisi nyata pendidikan di daerah kita,” ujar Rachmanuddin, Kepala Bidang SLTP/SLTA Dinas Pendidikan Kab. Sijunjung (http://sijunjung.go.id/, 15/6/2008).

Menurut banyak pihak, tingkat kelulusan yang rendah ini dipicu oleh tingginya standar kelulusan yang harus mencapai rata-rata 5,25, dan bertambahnya 6 mata pelajaran yang diujikan pun turut menimbulkan kesukaran. Disamping itu, karena berlapisnya pengawasan Ujian Nasional, sehingga menyebabkan grogi pada diri siswa, inkonsentrasi dan dampak psikologis lainnya.

Apapun itu, penulis tidak akan menyorot lebih dalam persoalam ketidaklulusan. Tetapi yang akan kita cermati ialah sudah sejauh mana tradisi keilmuan ideal kita miliki. Sebagai muslim, tentunya ada rumusan pendidikan agar ilmu yang dimiliki bukan sekedar melalui proses transfer of knowledge, melainkan melampaui hingga menyerap dan menjadi prilaku dan membentuk kepribadian utuh, lahir-bathin, intelektual-spritual.

Berikut penulis ingin menyampaikan metode pencapaian ilmu pengetahuan, yaitu:

Pertama, bacalah apa yang terbaik dari yang pernah kita lihat (iqra` ma ahsana ra`ayta).

Semangat membaca adalah yang pertama kali diperintahkan Allah, karena dengan memfungsikan kemampuan nalar intelegensi, maka kita akan mengenal lebih jauh setiap hakikat sesuatu. Kecendrungan membaca ini hampir hilang disebahagian besar umat Islam, kalaupun ada yang pembaca, lebih kepada pembaca bahan-bahan fiktif berupa novel, komik dan penonton sinetron dan telenovela. Jika ditanya, berapa buah buku yang ditamatkan umat Islam hari ini, dalam masa 1 minggu, sebulan bahkan dalam satu tahun, mereka tidak pernah betul-betul menamatkan satu pun. Sebuah tradisi yang buruk, padahal masyarakat non-muslim telah dan terus mengamalkan spirit membaca ini.

Kedua, tulislah apa yang terbaik dari yang kita baca (uktub ma ahsana qara`ta).

Sebuah kebiasaan yang hampir di setiap kalangan sulit ditemukan. Di pengajian, dan forum-forum ilmiah pun banyak yang tidak mau menulis poin-poin penting setiap pembicaraan. Padahal ilmu itu bagaikan binatang buruan yang liar, harus diikat dengan tali yang kuat, yaitu dengan ditulis. Ilmu itu bukan saja di dada (al-ilmu fi al-sudur), tetapi ilmu juga harus tersimpan di dalam catatan (al-ilmu fi al-suthur). Bukankah pengalaman telah membuktikan, betapa kemampuan otak tidak selalu dapat mengingat setiap yang ditangkap panca indra. Baru saja ceramah selesai, pesan-pesan dakwah sudah raib dalam ingatan, meskipun kita belum sampai di tepi teras rumah. Begitu penting catatan itu, Allah mensinyalir : ‘allama bi al-qalam (yang mengajrakan manusia lewat perantaraan pena).

Ketiga, hafallah apa yang terbaik yang kita tulis (ihfazh ma ahsana katabta).

Hampir telah menjadi kecendrungan setiap pelajar, mengulang pelajaran hanya sewaktu akan mengikuti ujian, baik naik kelas, maupun menempuh kelulusan. Sementara petuah pasa jalan dek baturuik, lanca kaji dek baulang” hafal benar dalam ingatan, tetapi dalam praktiknya, sekembali dari sekolah buku-buku pun disimpan di dalam tas, di lemari dan bahkan terlempar ke sudut-sudut ruangan.

Keempat, amalkan yang kita hafal (i’mal ma hafizhta).

Agar ilmu tidak sekedar melewati aspek kognitif, maka perlu pengamalan (psikomotor). Pengejawantahan ilmu akan memberikan kesan mendalam kepada setiap pencari ilmu. Ilmu yang tak dipraktikkan hanya bagai pohon rindang tanpa buah. Dampak perubahan pun tak terlihat jika orang yang berilmu tidak bekerja sesuai keilmuannya. Al-ilmu bila ‘amalin ka al-syajari bila tsamarin, demikian seorang syair.

Sekiranya metode belajar ini dapat dijalankan semua kalangan, maka tiada lagi beban banyaknya mata ujian, tingginya standar kelulusan dan ketatnya pengawasan. Sebab, semuanya pertanyaan dan jawaban telah dikuasainya dengan baik, di dalam memori bukan di luar kepala. Wallahu a’lam.

Jannatul Husna

Pengajian al-Quran dan al-Sunnah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar