Minggu, 06 Juli 2008

PERATURAN YANG TAK TERTULIS
Oleh: Jannatul Husna*

Hari itu Rabu 25 Juni 2008. Sekitar pukul 5.30 WIB pagi, saya yang diantar oleh saudara (tinggal di Jl. Gunung Agung Pekanbaru), harus melawan kabut pagi menuju Panam Pekanbaru, karena travel ke Dumai menjanjikan saya keberangkatan pukul enam pagi. Sesampai di loket travel, ternyata jadwal keberangkatan molor hingga pukul tujuh pagi. Akibat dari keterlambatan ini adalah saya ketinggalan kapal ke Malaysia, karena saya baru sampai di Dumai pukul 12.30, sementara kapal Ferry Indomal meninggalkan Dumai sejak pukul sebelas siangnya.

Penundaan penyeberangan tersebut, memaksa saya harus menginap di sebuah perusahaan jasa tour & travel, serta pengurusan Paspor di Kota Dumai. Biro jasa—yang katanya mengedepankan nilai kemanusiaan dan ketulusan ini—membelikan tiket kapal untuk keberangkatan besok harinya dan saya disaran untuk menginap di tempat mereka, karena klaim mereka, gratis!

Dalam aturan tiket kapal Ferry Indomal, hanya Rp. 250.000 cash untuk sekali jalan dari Dumai ke Malaka, tetapi pihak perusahaan memungut Rp. 260.000 bagi setiap calon penumpang (include boarding pass). Hitung-hitung biaya transportasi pengurusan, photo kopi paspor 1 lembar, ini masih dianggap wajar dalam konteks ke-Indonesiaan yang sedang dalam carut-marut budaya korup. Tetapi yang terjadi kemudian adalah, pihak jasa travel malah meminta penulis untuk mengeluarkan uang lebih besar dari aturan yang terpampang di dinding perusahaan tersebut, yaitu sebanyak Rp. 280.000, katanya untuk boarding pass. Seakan dibius (karena dalam posisi kebingungan), penulis awalnya menerima tuntutan itu, namun tak berselang lama, penulis menyadari bahwa telah terjadi ”pemalakan”. Usut punya usut (karena di sana ada juga orang Padang yang menjadi staf eksekutif), ternyata itulah peraturan yang tak tertulis, dan dianggap telah menjadi rahasia umum.

Penulis jelas tidak menerima, dan menyatakan bahwa inilah akar penyebab suburnya budaya korupsi di negeri kita. Dari pemimpin tertinggi hingga pemimpin terendah menguras hak milik rakyat dengan zalimnya. Saya katakan itu tanpa takut, sebab kalau diusirpun tidak mengapa, karena masih ada tempat yang mengedepankan nilai-nilai kemanusian secara riil-subtantif tanpa harus perlu menyebutkannya dalam kaca skriptualistik. Lebih baik mereka minta uang secara transparan, daripada ditutupi sementara orang lain tersakiti.

Mengurai benang kusut budaya korupsi seperti ini agaknya masih memerlukan banyak waktu kalau enggan menyebutnya tidak akan pernah terurai. Selama mental ”inikan peraturan tidak tertulis dan ini telah menjadi rahasia umum?” bergelayut di benak setiap anak bangsa. Semoga asumsi fatalistik ini tidak wujud, karena ini bukanlah cita-cita Islam dan tidak pula menjadi harapan kita. Wallahu a’lam.

*Pelajar Master University of Malaya
Fakultas Usuluddin Akademi Pengajian Islam
Mobile +6014 2654654

Tidak ada komentar:

Posting Komentar