Senin, 19 Januari 2009

Kerinduan Terhadap Islam:
Bercerita dengan "cucu" At-Taturk



Sore itu (Jumat, 16 Januari 2009) senang sekali rasanya, karena saya dapat bercerita dengan Mustafa "At-Taturk". Seorang Mahasiswa dari Fakultas Pendidikan University of Malaya, asal negara Turki. Saya kebetulan saja berjumpa dengan dia, "cucu" Mustaffa Kemal At-Taturk yang sekular itu, karena beliau akan pulang ke kolej kediaman ke sebelas (asrama) sedangkan saya mahu menuju (pulang) ke Taman Bukit Angkasa. Awal kisah, beliau hanya bertanya tentang bus apa sebaiknya saya tumpangi untuk sampai ke kolej sebelas (dengan loghat English Turki-tentunya)? Lalu saya sarankan untuk menaiki bus kampus yang sedianya selalu memberikan perkhidmatan tiap saat.

Karena bus yang dimaksudkan itu belum kunjung tiba, lalu saya memulai perbincangan. Saya tanya kepadanya tentang dari negara mana dia berasal, where are you come from, sir? Bukan untuk ogah-ogahan (karena di University of Malaya terlalu banyak mahasiswa internasional, jadi sukar untuk menebak begitu saja, asal muasal seseorang). Lalu dia jawab, i come from Turkey. Lalu dia balik menanyai saya, apakah kamu orang Malaysia? Saya jawab bukan, saya berasal dari Indonesia. Mendengar Indonesia, dia (agaknya) terkenang dengan Jakarta, dimana dia pernah ke Jakarta tempo hari, tapi belum lagi ke Bali ataupun ke Padang.

Banyak hal yang kami bincangkan, termasuk sudah berapa hadith yang kamu hafal? katanya (soalan yang ini--jujur--membuat saya agak sedikit malu, hahahah). Tetapi yang menarik adalah kesadaran beragamanya. Betul, bahwa saya secara kasat mata belum pernah melihat ritual ibadahnya, namun dari penuturannya tentang kebangkitan Islam di Turki membuat saya terkagum-kagum. Dia sangat menyayangkan kenapa mahasiswi Iran, Parsi, dan beberapa negara di Timur Tengah lainnya (yang notabene adalah Muslim), yang "kebetulan" punya kesempatan untuk belajar di luar negara termasuk Malaysia, berani untuk menanggalkan identitas ke-Islamaannya, semacam jilbab, dan gandrung terhadap gaya hidup hedonistik. Bukan mereka saja, katanya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas Islam-pun lebih memilih tren busana dan pergumulan hidup ala Barat yang sekular. Saya kian terperanjat dengan kemungkinan itu, walau bukan berarti saya tampak marah pada si Bule Turkey-Eropa ini.

Itu diantara cerita senja saya menjelang pulang ke rumah. Penat lelah seharian kian terobati ketika sahabat Turki tersebut, memberi saya buku yang amat bagus, karangan Mujaddid Turki Said al-Nursi. Buku itu telah diterjemah ke dalam bahasa Melayu oleh Anwar Fakhri Omar, dengan Risalah Kepada Pesakit. Sementara salinan dalam bahasa Inggrisnya beliau sendiri yang pegang. Diantara isi buku itu ialah mengingatkan kembali kepada setiap muslim akan keyakinan "hidup itu adalah perjuangan, perlu dilalui dengan dua sikap saja, yaitu sabar dan syukur". Kesempitan hidup dalam mengarungi lika-liku itu, selalu didera oleh sakit, jarang menemui suasana sehat-pun sebuah kenikmatan yang perlu dihadapi dengan sabar dan syukur. Secara radikal Said al-Nursi menyebut lebih baik sakit ketimbang sehat, karena suasana haru-biru sakit itu lebih membuat kita ingat dengan Sang Pencipta, daripada sehat-senang yang melenakan.

Benar kata Rasul, ni'matan maghbun fihima 'alaihi al-nas, al-sihhah wa al-faragh (dua nikmat yang selalu diabaikan manusia, yaitu nikmat sehat dan kelapangan).

Diakhir perkenalan, sahabat Mustaffa kembali menyampaikan keinginannya yang besar untuk mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa Islam. Dan dia mahu, saya bisa kembali berbagi cerita dengannya kala yang lain, termasuk memberitahukan keberadaan tempat kursus Bahasa itu. Sungguh.

2 komentar:

  1. wah wah wah... hebat, ntar klo aku melancong ke malaysia kenalin ya bang, pengen tau juga gmana tanggapan dia terhadap pemikiran kakeknya, ya ga ...hehehe

    barankali itu adalah salah satu manfaat yang akan ditemui mahasiswa seperti abang yang kuliah di universitas berkualiatas di luar negeri. dan sulit momen-momen seperti itu didapati diuniversitas yang berkualitas rendah.

    keturunan orang-orang besar jelas saja dia akan memilih tempat yang terbaik untuk pendidikan anak cucunya. semoga lembaga pendidikan di indonesia akan mendapat tempat dihati orang-orang hebat seperti dia. tentunya indonesia, terutama IAIN IB (ya ga bang..) harus segera membenahi diri untuk mencapainya.

    sukses trus bang............

    BalasHapus