Rabu, 16 Juli 2008

Mengelola Potensi Bertutur
Oleh: Jannatul Husna*

Subhanallah, tiadalah semua yang diciptakan Allah Swt. ini, percuma! Semuanya mengandung hikmah yang besar lagi agung. Adalah lidah (daging tanpa tulang), diantara potensi insani yang dikaruniai Allah Swt., sebagai jembatan interaksi antar sesama makhluk bahkan untuk komunikasi transendent sekalipun. Kemampuan dialektika dibuktikan dari gaya bertutur dan bahasa seseorang. Segudang apapun kemampuan intelektualnya, jika tidak mampu dituturkan melalui bahasa yang baik, maka dirasa kurang afdhal kewujudannya.

Inilah barangkali rahasia Allah Swt. mengutus seorang Rasul yang selaras dengan tuturan kaumnya. Nabi Muhammad Saw. mendakwahkan Islam melalui bahasa Arab, karena dia berasal dan berada dalam komunitas Arab. Tak terbayangkan sekiranya Rasul Saw. berdakwah dengan bahasa selain Arab, sementara kaumnya miliu Arab. Bukan sekedar keselarasan bahasa, tetapi juga kemampuan audiens untuk menerima ungkapan kita, pun menjadi penting untuk dipertimbangkan. Berbicara panjang lebar, bertele-tele, keluar dari tajuk perbincangan, bahkan berbicara tidak sopan, baik menurut tata moral apalagi norma agama. Inilah agaknya substansi dari pesan Rasul Saw., kallimu bi qadri ‘uqulihim “bicaralah sesuai kadar kemampuan mereka (lawan bicara kita)”. Dalam al-Quran pun disebutkan, qawlan ma’rufa (al-Nisa`: 5 & 8), qawlan sadida (al-Nisa`: 9, al-Ahzab: 70), dan ada pula dengan redaksi qawlan karima (al-Isra`: 23). Semua itu menunjukkan pentingnya tuturan yang baik.

Ali Fadhlullah dalam kitabnya, al-Akhlaq al-Islamiyyah, menyebutkan setidaknya ada dua ketimpangan dalam bertutur, yaitu:

Pertama, bertutur tentang sesuatu yang tidak berguna.
Rasulullah Saw., menyebutkan “min husni Islam al-mar`i tarkuhu ma la ya’nihi, artinya; diantara kebaikan seorang muslim itu ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna”.

Kebiasaan negatif ini seringkali tidak disadari banyak kalangan, bahkan oleh kelompok masyarakat—yang katanya berfalsafah agama pun—cenderung mengabaikan prinsip ini. Apakah itu namanya ciloteh lapau, bergurau, cime’eh, bagarah antara induak bako, dsb. Banyak yang tersakiti, namun karena sudah menjadi tradisi, hal itu dianggap lumrah. Tidakkah kita mau meninjau kembali warisan budaya ini? Nabi Saw., pada zamannya pun saling bercanda, tetapi tidak melukai perasaan sahabat-sahabatnya.

Kedua, bertutur tidak pada tempatnya, walaupun itu baik.
Rasulullah Saw., mensinyalir “fa rubb mutakallim fi amrin ya’nihi qad wadha’ahu fi ghairi mawdhi’ihi fa asa`, artinya; betapa banyak orang yang bertutur tentang suatu kebaikan tetapi karena bukan pada tempatnya, maka ia (malah) jadi buruk”.

Ahli syiir pernah juga mengingatkan para penutur akan pentingnya melihat suasana dan format bertutur, agar tidak salah sasaran (li kulli maqal maqam, wa likulli maqam maqal) meskipun tujuannya baik. Kenapa ini menjadi sesuatu yang krusial? Sebab tidak jarang lawan bicara penutur itu dalam keadaan tidak siap menerima, karena beragam persoalan.

Oleh karena inilah, sewajarnya kita melihat kontens penuturan; bermanfaatkah buat diri, audiens dan orang lain yang turut mendengar pembicaraan kita? Atau tepatkah waktunya untuk menyampaikan pembicaraan? Kalau sekiranya belum memenuhi kriteria ini, sebaiknya kita diam, karena lambang keimanan itu pun terletak dalam diam. “man kana yu`minu bi Allah wa al-Yaum al-Akhir falyaqul khairan aw liyashmut artinya; siapa yang beriman kepada Allah Swt. dan Hari Akhir, hendaklah dia mengatakan sesuatu yang baik, kalau tidak sebaiknya dia diam.

Kemampuan bertutur secara baik merupakan bentuk diplomasi yang ulung, akan menguatkan networking dan mengukuhkan jaringan komunikasi global. Sebab itulah, mari mengelola potensi bertutur dengan elegan, baik dan berwibawa!

“kalau pedang lukai tubuh masih ada harapan sembuh, tapi kalau lidah lukai hati kemana obat hendak dicari?”. Wallahu a'lam....


*Master Student in Academy of Islamic Studies
University of Malaya
+6014 2654654

1 komentar:

  1. Subhanallah, Meniggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat ternyata adalah pangkal kebaikan dan salah satu cara dijauhkan dari keburukan serta sikap Dzalim.

    BalasHapus