Senin, 18 Agustus 2008

Pendidikan: Investasi Takkan Pernah Rugi
Oleh: Jannatul Husna*

--education is the most valuable investment--
pendidikan adalah investasi yang sangat bernilai
[kutipan pidato Abdullah Ahmad Badawi—Prime Minister of Malaysia]

Sebuah Landasan

Pendidikan: Investasi Takkan Pernah Rugi, sebuah tajuk yang terinspirasi oleh perjalanan hidup Imam Ali bin Abi Talib ra. Ketika dia ditanya, mengapa lebih memilih ilmu (pendidikan) daripada harta [kekayaan materi]? Lalu sang Khalifah menjangkakan seribu jawaban boleh beliau tunjukkan, kenapa menjadikan ilmu sebagai pilihan, bukan yang lain termasuk harta benda. Diantara jawaban itu ialah “ilmu adalah investasi yang takkan pernah rugi [hilang]; jika kita berikan kepada orang lain dia malah kian bertambah, sedang harta ia akan semakin berkurang. Selanjutnya dia menyebut ilmu sebagai penjaga dan penyelamat tuannya, adapun harta benda, malah menuntut sebaliknya, mesti dijaga oleh tuannya”.

Begitu pentingnya kehadiran ilmu ditengah kehidupan seseorang, komunitas dan suatu bangsa, maka tumpuan kepadanya pun menjadi amat realistis. Ini jugalah—menurut hemat saya—maka ilmuan Islam terdahulu mengingatkan kita, akan hikmah (ilmu) adalah investasi yang pernah hilang dari kaum muslimin (al-hikmah dallat al-muslim), karena itu dimanapun ia dijumpai, pungutlah! meskipun ia muncul dari mulut orang gila sekalipun. Jauh sebelum amaran ilmuan-ilmuan Islam ini, Sang Pencipta Alam Raya, Allah Swt., sudah mengingatkan kita terhadap pentingnya ilmu pengetahuan. Iqra’ bismi Rabbika alladhi khalaqa (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan), iqra’ wa rabbuka al-akram (bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Mulia).

Iqra’ bukan saja dimaksudkan sekedar membaca yang tertulis (utlu; tala, yatlu, tilawah), tetapi ianya meliputi kajian yang lebih jauh dan mendalam; membaca yang tersirat, menelaah lebih komprehensif atas kajian pelbagai hal, mengumpulkan seluruh maklumat, sehingga menjadi suatu ilmu yang integral, berguna dan berlaku universal. Setidaknya inilah diantara maksud dari pembacaan terhadap iqra’ dalam perspektif al-Qur’an.

Pendidikan dalam Komunitas Suatu Bangsa

Melihat urgensi ilmu pengetahuan, sejurus setelah kemerdekaannya, 31 Agustus 1957 sekitar 12 tahun lebih lambat dari kedaulatan Negara Indonesia diproklamirkan, kawan-kawan kita dari Malaysia (Malaya—tempo doeloe) belajar ke Indonesia [directly] dan mengundang banyak tenaga pengajar Indonesia untuk mengajar di tempat mereka [indirectly]. Mereka menuntut dalam banyak lapangan keilmuan, mulai dari belajar agama, sains, tekhnologi sampai ranah kesehatan (perubatan), dan masih banyak bidang lainnya. Masyhurlah semasa itu, ungkapan Indonesia sebagai kakak ataupun mahaguru untuk Malaysia.

Kondisinya hari ini menjadi agak terbalik, dimana pemuda-pemuda Indonesia lebih memilih belajar ke Malaysia berbanding dengan pemuda Malaysia belajar ke Indonesia. Meskipun asumsi ini tidak semuanya benar, tetapi keunggulan fasilitas pendidikan di negeri Jiran telah menarik minat generasi muda kita untuk melakukan rihlah ilmiah ke sana. Satu fakta yang amat sulit untuk disangkal meskipun kita berdebat menghabiskan ruang dan masa menolak kenyataan tersebut. Disamping keunggulan fasilitas, universitas-universitas di negara tetangga kita itu pun menawarkan banyak kemudahan disamping menyediakan angkos yang besar bagi menggalakkan kajian ilmiah dan penelitian dalam berbagai aspek keilmuan. Apa yang dinyatakan oleh Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi beberapa waktu yang lalu tentang “pendidikan adalah investasi yang besar dan kita perlu mendukung dengan budget yang besar pula, tentunya” memang terbukti jelas [riil] di banyak institusi negara ini.

Sementara di ranah kita, Indonesia. Elit politik masih saja bergelut dengan wacana anggaran 20% bagi peningkatan kualitas pendidikan. Dan yang lebih menyedihkan, kita terlampau sibuk dengan menyangsikan upaya pemerintah dalam mewujudkan cita-cita itu. Bahkan setengah kelompok elit [politisi—atau politikus?] gandrung mengklaim ungkapan pemerintah sebagai bentuk kampanye menyongsong tahun pemilu 2009 mendatang. Sepatutnya kelompok-kelompok “UUD” ini menyokong sepenuhnya upaya pemerintah, karena mereka [pemerintah] telah ingin berbenar-benar dengan konstitusi pendidikan yang telah diundangkan, yaitu tentang anggaran pendidikan harus lebih besar karena dia boleh menjana generasi gemilang di masa yang akan datang.

Secara jujur dan elegan kita tidak perlu merasa malu, jika sedikit belajar ke negeri tetangga. Bagaimana kita mengelola aturan pendidikan, dan mengejawantahkan semua sistim itu secara jujur. Kita harus menerapkan disiplin pendidikan secara riil bukan sekedar wacana, semisal Gerakan Disiplin Nasional [GDN]. Menjunjung tinggi nilai-nilai ketulusan ilmiah dengan menumpas setiap gejala plagiasi dan budaya mencontek serta melihat jimat sewaktu ujian. Mengelola perpustakaan—sebagai jantung ilmu pengetahuan—dengan sistim tekhnologi maklumat mutakhir, sebab gelanggang perpustakaan tradisional, manual hampir telah ditinggalkan komunitas masyarakat modern. Karena cara-cara lama seperti itu hanya akan menyulitkan dan menghabiskan masa yang terlalu banyak. Orang sudah merengsek jauh ke hadapan sementara kita masih saja gerak jalan tapi di tempat semula saja?

Jika anak dan bangsa kita mengedepankan egoisme, maka tawaran untuk belajar banyak hal kepada negeri Jiran ini mungkin dianggap sebagai sesuatu yang tidak layak, mengada-ada dan terlalu cepat. Mengapa merasa bangga sambil berujar “pengkajian ilmiah di negara kita masih jauh lebih baik, kok!”. Padahal tinjauan itu dilihat dari satu aspek, dimana setiap kita boleh membongkar segala sesuatu dan meninjau semula (kembali), tidak kira aqidah tauhid yang telah mapan sekalipun. Yang teramat naïf adalah ketika kelompok-kelompok studi Islam di tanah air turut bertekad mengikuti pasukan al-Qur’an edisi kritis [critical edition to the Qur’an]. Sebuah upaya masyarakat jahiliah modern yang mencoba menjadi lebih hebat dari Tuhan dan merasa memiliki otoritas untuk merevisi kalam-Nya. Na’udhubillah.

Jika ada hikmah dan kebaikan pada sesuatu kaum, mengapa bangsa kita tidak mengambil kira (perhatian) perkara itu? Bukankah Allah telah mensinyalir “wa tilka al-ayyam nudawiluha bayna al-nas—dan hari-hari (kecemerlangan) itu akan digulirkan diantara manusia”. Semoga ke-egoan kita dikalahkan oleh nilai-nilai kebenaran. “Unzur ma qala wa la tanzur man qala—lihat substansi [nilai] kebenaran yang disampaikan, jangan pernah melihat siapa orang yang menyampaikan”. Wallahu a’lam.


*Pelajar Master Akademi Pengajian Islam
University of Malaya
Kuala Lumpur

1 komentar:

  1. kapan ya negeriku menatap masa depan yang jauh lebih baik?
    sekiranya peradaban berubah, mindset baru tumbuh, inilah barangkali masa yang tepat untuk kegemilangan itu bisa dinimmati...
    semoga!

    BalasHapus