Jumat, 08 Agustus 2008

Menepuk Dada atau Malah Mengurutnya
Oleh: Jannatul Husna*

Sesaat yang lalu saya telah menulis tentang kekayaan alam (Sumber Daya Alam) Kabun. Tulisan itu sempat saya kirim ke laman web resmi Kab. Sijunjung, http://sijunjung.go.id/. Apakah mereka bersedia mem-publish atau tidak, setakat ini saya belum lagi mendapatkan konfirmasi apa-apa. Apapun akhirnya, walau tidak disebar cukup luas, yang penting gubahan pemikiran itu telah bisa dibaca di mailing list kobun_revolution yang dinakhodai oleh saudara saya, Condra Antoni, S.S., jauh di pulau Batam sana. Kalau pembaca ada waktu senggang, boleh juga melawat blog pribadi saya, http://jannatulhusna.blogspot.com/.

Upaya lewat tulisan ini sesungguhnya secuil dari bentuk pengabdian saya terhadap kampung halaman. Dimana upaya lisan telah juga pernah ditempuh, tetapi sekarang ruang dan waktu telah menyekat saya dengan kampung halaman. Setidaknya tulisan-tulisan ini akan terus membangkitkan ghairah kawan-kawan satu negeri dimana dan siapapun dia, untuk sedikit meluangkan energi berfikirnya bagi kemajuan Kabun di masa datang. Diakui mungkin coretan-coretan ini tidak cukup baik untuk melukiskan perasaan hati yang lagi kelu melihat perkembangan Kabun dari satu masa ke masa berikutnya.

Tulisan yang lalu ditulis dengan gaya yang sedikit meluap-luap, terlalu bangga dengan kekayaan alam sendiri, dimana saya ber-euforia (kebanggaan yang berlarutan) disamping merasakan kesedihan. Bagaimana tidak, kekayaan sebegitu banyak tetapi tidak memberi perubahan sangat berarti bagi kampung secara keseluruhan. Sikap saya ini mungkin terlalu berlebihan, tetapi mudah-mudahan bisa membuka mata orang banyak, betapa kegalauan ini harus menjadi milik kita semua, termasuk anda pembaca. Saya yakin, masih ada setengah orang yang punya sikap pilu seperti saya, bahwa Kabun belum berubah, baik dari segi infrastruktur negeri maupun dari segi sikap (cara pandang hidup) termasuk sikap politik untuk mendirikan Nagari yang otonom.

Kalau sekedar berbangga dengan warisan alam, dimana di negeri kita tersimpan ribuan ton batu bara, tersedia cukup air bersih, terhampar luas ladang getah sebagai sumber pendapatan, dsb. Tidaklah akan mungkin merubah keadaan sosial, politik, pendidikan, dan strata masyarakatnya. Karena apalah arti negeri kaya, tetapi dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh orang luar. Ibarat penonton bola yang bersorak-sorai tanda gembira, tetapi yang mencipta kemenangan adalah orang lain. Di ranah kita orang berpesta, tetapi kita (sebagai tuan di rumah sendiri)tidak diundang, bahkan sisa-sisa pestanya pun tidak dihibahkan. Sebuah pemandangan yang amat miris dan menyedihkan.

Kebanggaan terhadap tanah tumpah, negeri yang dikaruniai emas hitam dan air bersih sebagai sumber kehidupan, wajar adanya. Tetapi akan lebih terhormat jika “nature resource” itu diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusianya (human resource). Pertanyaannya, seberapa banyak orang di negeri ini yang lebih memilih sekolah (berpendidikan) daripada mendapat sepedamotor dan fasilitas lain dari orang tuanya? Seberapa banyak mereka yang menyokong pendidikan anak-anak Kabun daripada mereka yang (malah) mematahkan semangatnya? Mari kita jawab bersama, dan paradigma masa lalu harus segera dikubur, yaitu sekolah setinggi apapun toh kita akan ke sawah, ke ladang, manakiek gota, poi batobo juga, dst. Mari mencipta tekad baru, bahwa sekolah bisa mengangkat derajat kemanusiaan, taraf hidup dan membuka cakrawala tentang dunia yang luas ini.

Sekitar bulan Mei 2008 lalu, saya pernah berkunjung ke markaz air bersih Sanjung Tirta Buana Muaro Sijunjung, dimana sumber utama airnya adalah dari Kabun, kampung kita nan tersuruk itu. Saya bertanya soal rekrutmen pegawai PDAM, kapan penerimaan pegawai/tahun, kelayakan (persyaratan akademik dan adm) serta kemungkinan putra daerah Kabun menjadi karyawan di sana. Dari jawaban pegawai itu, saya menangkap signal bahwa sedikit sekali peluang bagi Putra Asli Daerah Kabun untuk dapat masuk menjadi pegawai di sana. Alasannya singkat saja, yaitu sumber daya manusia yang masih lemah, ditambah dengan perusahaan PDAM telah memberi jatah satu orang untuk pihak punya ulayat menjadi karyawan mereka, walau bukan posisi strategis, ex. pengambil kebijakan dan yang seumpama dengannya. Dan itu menurut mereka sudah cukup mengobati kekecawaan masyarakat Kabun.

Bila dilongok lebih jauh ke sisi lain, yaitu penambangan batu bara, lagi-lagi kita ingin menyoalkan seberapa banyak PAD Kabun yang dibawa masuk ke dalam sistem penambangan? Walau ada sebagian kecil dari pewaris tanah leluhur ini yang bisa membawa alat berat (seperti eskapator, galedor, dll). Tapi kenapa masih saja orang luar yang dipekerjakan? Tidakkah unggukan kekayaan alam di Guguk Mulek ini perlu melibatkan penduduk tempatan. Atau relakah kita dengan penerimaan fee yang tidak seberapa itu?

Bagai menepuk dada karena bangga merasa sangat kaya, tetapi sebenarnya kita perlu mengurut dada, karena kita tidak bisa berbuat apa-apa. Wallahu a’lam.


*Pelajar Master University of Malaya
Kuala Lumpur
+6014-2654654

3 komentar:

  1. semoga membangkit yang terendam...

    BalasHapus
  2. Semoga dg adanya penambangan di guguk mulek, bisa memberikan kontribusi ke masyarakat kobun, minimal bisa bekerja di sana. Samantaro harago gotah murah. http:kopralganni.blogspot.com

    BalasHapus