Minggu, 28 September 2008

Idul Fitri 1429 H: Antara Harap dan Cemas
Oleh: Jannatul Husna

Tak terasa Idul Fitri tahun ini bakal segera digelar oleh umat Islam se-dunia (1 Oktober 2008). Takbir dan kalimat-kalimat suci lainnya akan berkumandang sebagai tanda kesyukuran, kekerdilan kita dan i'tiraf mengakui keagungan Sang Pencipta Jagat ini. Sebulan sudah kita menjalani latihan Ramadan, uji kesabaran, kekuatan fisik dan psikis dan agenda penuh tantangan lainnya. Semua itu dijalani, dengan satu harapan, agar kita menjadi manusia yang cerdas secara individual dan dapat merengkuh kesalihan sosial. Kita tidak tahu apakah Ramadan berikutnya masih diberi kesempatan untuk menikmati indahnya hidangan Ramadan atau malah kita harus pulang kampung lebih awal dalam arti sebenar? Setengah umat Islam, seringkali baru merasai kehilangan itu ketika momentum terbaik telah berlalu dari hadapannya, dan penyelasan tumbuh sebagai satu hal yang tiada lagi berguna. Na'uzubillah.

Wa ba'd, sesungguhnya intensitas ibadah pasca Ramadan-- yang--perlu penekanan dan konsentrasi lebih. Diyakinii bahwa Puasa kita selama Ramadan terlaksana dengan baik, adakah mungkin kebiasaan shaum (dalam arti yang luas) masih dapat kita tunaikan selepasnya? Kita juga telah membaca al-Quran bahkan sampai khatam, adakah pasca bulan suci ini masih bisa menjadi tradisi? Perbuatan menyantuni kelompok-kelompok miskin, fakir dan lainnya bisa kita jadikan amalan Ramadan, adakah akan terus membekas di relung hati setelah semuanya usai? Kesemuanya perlu dijawab, bukan dalam ruangan ini, tetapi diserahkan ke siapa, kapan dan di mana saja dia berada.

Pada kesempatan ini, penulis merasa perlu untuk menggores beberapa hal yang mungkin wajib menjadi sorotan kita semua, khususnya bagi saudara saya yang jauh di "nagari" sana, kampungku sayang kampungku malang. Pertama, kebahagian yang sejati dari kembalinya kita ke fitrah (Idul Fitri) adalah ketika tingkat ketakwaan kita kepada Allah kian menemukan sejatinya. laysa al-'id liman labisa al-jadid walakin al-'id liman ta'atuhu tazid, bukanlah berhari raya (kembali kepada fitrah) bagi mereka yang sekedar (bangga) berpakaian baru tetapi berhari raya (yang sebenar) itu adalah milik mereka yang ketakwaannya kian bertambah.

Ramadan menjadi madrasah tempat kita belajar banyak hal, karena itu sebagai alumni yang bertanggung jawab, tentu kita akan terus membaktikan diri dalam ranah kebaikan. Tarawih misalnya, mengajarkan kepada kita arti dan nilai kebersamaan (hidup berjama'ah), mentaati Imam (pemimpin) yang selalunya membawa kepada ketaatan. Ramadan juga mengajarkan kepada kita akan aspek lain, yang mungkin belum sepenuhnya bisa kita terima. Yaitu, kemampuan menganalisa sains dan tekhnologi modern dalam mengetahui tiba dan berakhirnya Ramadan. Rasulullah dengan cukup menuturkan perkara, berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berhari rayalah kamu karena melihat bulan, jika itu tak mungkin untuk dilakukan, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban genap tiga puluh hari.

Apa yang bisa kita saksikan, dalam tradisi masyarakat kita sejak dahulu sampai ke hari ini adalah, mengabaikan kepentingan tekhnologi dalam keberagamaan, padahal Nabi s.a.w. sama sekali tidak pernah melarang penggunaan alat sains modern ini untuk menentukan awal dan akhir tiap-tiap bulan itu. 'Allimu awladakum fainnahum makhlukun li zaman ghayri zamanikum, ajarkanlah anak-anakmu karena mereka bakal hidup tidak sama dengan zamanmu (hidup hari ini), demikian sabda yang diyakini sebagai petunjuk Nabi. Kita juga terkadang berhenti serta-merta pada perintah melihat bulan, padahal ada anjuran berikut yang mesti juga dilihat sebagai solusi alam, sehingga pertingkahan pendapat dapat dielakkan, yaitu sempurnakanlah bilangan Sya'ban ataupun Ramadan genap tiga puluh hari. Adakah kita selalu serius melakoni perhitungan (hisab dan rukyah) bulan demi bulan ini? Saya khawatir ini sekedar "sensani" agama saja, karena terbukti pada penentuan hari raya Haji (Zulhijjah) kita tidak selalu bahkan jarang sekali berpeda pendirian.

Oleh karena itu, saya mengajak semua masyarakat di "nagari" sana, supaya bersegera menyelesaikan "kemusykilan" yang tak berujung ini, dengan mengambil jalan selamat, mengikut pemerintah (ulil amri minkum). Sebab, terlalu banyak agenda yang mesti diselesaikan, merentas banyak perubahan dan pencerahan di kampung halaman. Berkacalah dengan masa lalu, dan belajarlah keluar dari tempurung yang selalu melingkupi pandangan mata, sehingga wajah buruk kita bersedia menerima perubahan ke arah yang lebih baik. Tidakkah kita menyadari pembangunan beberapa dekade terakhir, semasa pemerintah desa berlaku, tiada titik cerah berarti bahkan sangat menyedihkan. Semua itu perlu dan wajar untuk disoalkan kembali?

Pembangunan kantor desa, yang katanya bakal siap sempurna hingga tinggal membuka kunci. Nyatanya hanya menyisakan fondasi yang kian hari menunggu masa lapuk di makan hujan dan lekang di makan panas. Bahkan tonggaknya saja tak berdiri walau agak satu sekalipun, apatahlagi dinding dan atapnya. Berikut, pelajaran masa lalu yang perlu menjadi soalan kita adalah, kemana janji pembangunan Waserba di Tepi Powuang, Balai Nikah di samping Masjid Baitul Huda, kenapa sekedar pembangunan tonggak dan dinding? Atapnya menyelinap ke saku siapa? Belum lagi pembukaan jalan Kabun-Rumbai yang tanpa manfaat, malah mewariskan trauma banyak pihak, karena beberapa petak sawah dan ladangnya hancur akibat kebijakan yang tidak bijak itu? Apalagi? Mungkin saudara lebih tahu, apa daftar berikutnya.

Semua akibat yang timbul hampir membuat kita tersadar, tetapi kita tidak cepat terbangun, bahkan Galodo September yang menelan korban nyawa sebanyak tiga warga serasa belum cukup membuka mata yang banyak, betapa kita mesti insaf dan berbuat yang terbaik untuk kampung halaman, hentikan penebangan liar lebih-lebih hutan di hulu sungai--sebagai pertahanan air terakhir, dsb. Ingatlah, telah terjadi kerusakan di darat dan di lautan akibat ulah tangan manusia.

Cukup dan sangat jauh kita terseok, tertinggal dari daerah sekitar. Kekayaan alam, air bersih, batu bara, dan hasil hutan lainnya melenakan dan membuat kita cukup berbangga sebatas itu. Padahal masa depan generasi mendatang luput dari perhatian. Karena hari ini sebagai akhir yang baik dalam bulan Ramadan, wajar kiranya sebagai anak "nagari" yang masih merasa memiliki kampung halamannya, mengajak semua komponen untuk menatap masa depan yang lebih baik, belajar dari masa lalu. Merubah paradigma terhadap kesan pendidikan sebagai orientasi kerja dan pegawai negeri menjadi satu aset kampung yang tidak akan pernah rugi.

Dukunglah anak-anak terbaik kampung kita yang terus mencari ilmu, kelak mereka akan kembali membawa banyak kemudahan dan perubahan berarti. Semoga Ramadan kita kali ini diberkati, seraya berharap selanjutnya masih bisa berjumpa, untuk mencipta karya yang lebih baik. Amin.

Selamat Menyambut Hari Raya Idul Fitri 1429 H
Taqabbalallahu minna wa minkum, taqabbal ya Karim.

2 komentar: