Selasa, 21 Oktober 2008

Andai Lebaran Haji Dua Kali?
Oleh: Jannatul Husna

Syawal sebagai noktah kembalinya manusia kepada fitrah—setelah menghadapi bulan pembakaran—sungguhpun telah berlalu. Beberapa saat ke depan, insya Allah kaum muslimin akan menggelar ritual yang tak kalah besar, bahkan “hakikatnya” lebih besar daripada Idul Fitri yang kita kira, yaitu Lebaran Haji. Meskipun apresiasi kaum muslimin tidak berbanding sama dengan hari raya—yang tradisi—mudik menjadi ikonnya itu. Penduduk ibu kota tak menganggap perlu lagi untuk berdesakan di angkutan umum untuk pulang ke kampung halaman. Bahkan kerabat yang berdekatan pun merasa tidak terlalu penting untuk saling mengunjungi. Padahal lebaran haji mengandung nilai yang teramat dalam, betapa kalau bukan, kenapa kita diberikan masa bertakbir empat hari (10, 11, 12, dan 13 Zulhijjah) melebihi keharusan yang terjadi waktu lebaran puasa? bahkan upacara “menundukkan” dimensi kebinatangan pun diberi waktu yang lebih lama? Dengan ditandai dengan penyembelihan hewan kurban.

Perhitungan jatuhnya penanggalan lebaran haji, biasanya tidak menjumpai pertingkahan berarti kalau tidak disebut tidak ada. Jauh dengan apa yang sering berlaku semasa kaum muslimin menyambut bulan Syawal. Untuk kasus Indonesia, pertembungan itu sering terlihat pada beberapa ormas Islam, seperti perbedaan pandangan antara Muhammadiyah dengan Nahdatul Ulama, Tarbiyah Islamiyah, bahkan yang terbaru kelompok Hizbut Tahrir dan beberapa golongan lain.

Untuk beberapa daerah di Sumatera Barat, perbedaan itu turut wujud. Lebih-lebih kalau ada yang menjadikan satu kiblat “pengajian” kepada tempat tertentu. Ulakan, misalnya. Usaha para pengikut guru dan murid alm. Syeikh Burhanuddin sangat kuat dalam menjaga tradisi faqih-nya. Apa yang mereka lakukan semuanya tidaklah salah, walaupun sebahagiannya perlu kritikan dan analisa lebih dalam. Agar pemahaman itu boleh menjana ke arah yang lebih baik, bukan untuk menyalahi “titah” guru atau melawan kaji guru. Tetapi setidaknya, mengoptimalkan kemampuan akal dan mengurangi taklid buta.

Kampungku, jauh disudut Ranah Lansek Manih sana, dengan luas wilayah yang tak lebih dari genggaman telapak tangan itu akankah harus terbagi menjadi beberapa kotak? Masihkah kita mempertahankan “kedekutan” pemikiran masyarakatnya yang masih teramat sulit menerima perubahan dan kemajuan? Kalau Hari Raya Idul Fitri kita merasa wajib untuk duduk di Bukit Kosik menatap hilal tanda berakhirnya Ramadhan. Mengabaikan kehadiran tekhnologi dan kemajuan sains, lebih-lebih "meragui" kapability pemimpin yang lebih otoritatif? Akankah kita mesti menunggu kedatangan Lebaran Kurban kali ini dengan menumbuhkan perbedaan berikutnya? Andai Lebaran Haji Dua Kali di sebuah negeri sunyi itu, kemana lagi nilai-nilai kebersamaan harusnya dicari? Di tempat kecil yang berpagar gunung dan bukit saja perpaduan telah sangat langka dan terasa sangat unik, bagaimana sekiranya memadukan negeri yang terhampar luas.

Renungan terhadap firman Allah, “Apabila dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang diturunkan kepada Muhammad (berupa al-Quran dan al-Sunnah), mereka malah menjawab; bahkan kami (hanya) mengikuti apa yang telah diwariskan oleh para pendahulu (nenek moyang) kami”.

Semoga keegoan diri kian pupus, demi peradaban yang terus bergulir…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar