Kamis, 30 Oktober 2008

Ketika Masjid Takda Lagi Obang (Azan)
Oleh: Jannatul Husna dan Condra Antoni


Hanya saja orang-orang yang (akan) memakmurkan masjid Allah itu mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat (sembahyang), menunaikan zakat dan mereka yang tiada takut kecuali kepada Allah. Mudah-mudahan mereka tergolong kepada orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Taubah [9]: 18).


Jika kita pernah berkunjung ke suatu tempat, kota yang agak besar seperti Muaro Sijunjung misalnya, suasana hidup beragama masih terasa wujud, ini dibuktikan dengan masih terdengarnya suara-suara azan dikala waktu sembahyang tiba, atau gemuruh suara anak-anak mengaji, terkadang juga ada tanya-jawab jamaah dengan ustaz yang sedang berceramah. Sebaliknya bila kita datang ke kampung-kampung, daerah pelosok, suasana itu jarang lagi dijumpai. Adakah penyebabnya, karena daerah perkampungan tidak ada listrik PLN layaknya kota, diesel dan sebagainya. Padahal dulu, kalau ingin menikmati senandung anak-anak dan masyarakat mengaji di waktu maghrib hingga menjelang isya, adalah di kampung tempatnya. Hidup di kampung menjadi pilihan, karena kondisi beragamanya yang masih sangat bagus. Itu dulu!


Alasan tidak ada listrik, diesel dan sebagainya bukanlah jawaban yang tepat, karena dulu pun orang-orang kampung hanya berkawankan lampu cogok, yang bisa membuat hidung hitam bagaikan arang. Dalam suasana yang redup itulah mereka membaca al-Quran, dari satu rumah ke rumah yang lain terdengar seakan saling bersahut-sahutan. Indah sekali jika terkenang peristiwa itu. Walaupun kalangan bapak-bapak nantinya akan menghabiskan sebagian malam di kedai sambil minum kopi, main domino dan bercerita ke sana ke mari, tetapi suasana maghrib menjelang isya mereka habiskan di rumah bersama keluarga, sembahyang walau tidak berjamaah (berimam-imam), lalu kemudian sang anak atau ibu mengambil al-Quran, lantas membaca kitab suci itu.


Hari ini, secara jujur harus diakui, bahwa kebanyakan masa kita terhabiskan percuma di Gedung Undo dekat Gurun Pantai itu, kemudian beranjak ke lapau sambil minum ekstra joss susu atau kopi steng diiringi dengan hisapan Lintang Enam-nya, terkadang sambil main skak, atau sebagian lain asyik menonton sinetron sambil berceloteh mengomentari artis dalam TV yang berwatak kejam atau ditimpa kepayahan hidup. Begitulah siklus dan perputaran takdir kita, hari ke hari hingga mati. Terkadang anak-anak usia sekolah pun membuang waktunya untuk mencari idola artis film, sampai larut malam, soal mengulang pelajaran bukanlah pilihan, dan yang menyedihkan ialah saat mau ke sekolah untuk keesokan harinya, sepatu entah dimana, buku pelajaran pun tak tahu ditempatkan dimana? Soal sembahyang Subuh, jangan dibaca karena bangun paginya pun setelah pukul tujuh. Budaya apa ini? Mungkinkah kecanduan bermain dan berleha-leha telah berpindah menjadi milik orang kampung, lalu kita memberikan tradisi beragama kepada orang kota, sehingga keadaannya menjadi terbalik? Kita ingin menekankan bahwa menikmati teknologi berupa TV, Hand Phone dan sebagainya bukanlah sesuatu yang salah, tetapi mesti ada waktu untuk kita bekerja, belajar dan berkunjung ke Rumah Allah (masjid).


Kita teringat dengan al-Marhum Gayek Foqih, walaupun generasi yang lahir tahun 80-an hingga hari ini tidak pernah berjumpa dan belajar bersamanya, tetapi banyak riwayat menceritakan betapa beliau mampu menghidupkan suasana beragama dengan masyarakat kampung, bahkan untuk urusan berhari raya Idul Fitri pun beliau sangat menjaga nilai persatuan dan kesatuan. Kita melihat betapa lapang dada dan berbesar hatinya Gayek waktu itu, padahal puasanya belum cukup 30 hari, tetapi kenapa beliau mau berbuka dan berhari raya bersama jamaahnya, tidak lain adalah karena beliau paham betul dengan perintah untuk memelihara kebersamaan, jangan berpecah-belah dan bercerai-berai. Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran, “Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali agama Allah dan janganlah bercerai-berai” (QS. Ali Imran [3]: 103).


Disamping menjaga persatuan, Gayek juga telah menghidupkan suraunya dengan pengajian-pengajian agama, baik untuk anak-anak maupun untuk kalangan orang dewasa. Runtuhnya surau Ngalasi (tempat Gayek menghabiskan sisa umurnya) merupakan kehilangan besar bagi kita semua. Surau “baru” kita hari ini sepi dari kegiatan keagamaan. Walaupun dulu kita pernah belajar dari rumah guru ke rumah guru berikutnya, karena kita tak punya surau, surau yang diwariskan oleh Gayek pun—waktu itu—sudah tidak bisa lagi untuk digunakan.


Kembali kita ke persoalan masjid, secara bahasa makna asalnya ialah tempat bersujud (sembahyang). Tetapi dalam tradisi orang Minang secara umum, antara surau dan masjid mereka bedakan, walaupun di negara-negara Arab, antara tempat-tempat ini tidak ada perbedaan, baik surau, mushalla mahupun masjid. Pengertian masjid yang terbatas kepada tempat sembahyang, dikembangkan kemudian oleh Nabi s.a.w. dengan menjadikan masjid sebagai institusi tempat mempelajari dan mengamalkan setiap kebaikan. Semasa hidupnya, beliau tidak saja memanfaatkan masjid untuk sekedar tempat sembahyang, namun juga menjadi tempat belajarnya para sahabat, baik yang berhubungan dengan ilmu agama, ekonomi, budaya dan politik Islam, termasuk musyawarah untuk penyusunan strategi perang. Walaupun tidak menggunakan mikrophon, azan (obang) sebagai pertanda masuknya waktu sembahyang tetap dilakukan dengan semangat tinggi oleh Bilal bin Rabah, jamaah berdatangan meninggalkan pekerjaan yang sedang terbengkalai. Begitulah generasi sahabat. Kalau kita, selain azan hanya berkumandang waktu Jum’atan dan Tarawihan, jamaahnya pun terbilang malu untuk menyahut panggilan itu. Jadilah masjid kehilangan relevansi dan fungsinya sebagai tempat sembahyang, belajar dan musyawarah.


Agaknya keberagamaan kita telah beranjak dari masjid ke rumah, mungkin ada yang pindah ke lapau-lapau, pengajian agama pun bukan di masjid, sampai peringkat ngaji anak-anak harus terlaksana dari satu rumah guru ke rumah guru yang lain. Kalaupun ada yang berinisiatif untuk menghidupkan kembali masjid dengan tradisi sembahyang jamaah dan mengaji, sekurang-kurangnya untuk waktu maghrib dan isya, namun tantangan kedengkian, dan hasutan membuat suasana baik ini tidak bertahan lama.


Marilah kita imbangi pengaruh parabala dengan bacaan al-Quran, dan hidupkan kembali sembahyang baimam-imam di masjid, tidakkah ada seorang diantara kita yang bersedia, yang kita bisa kalungkan penghargaan kepadanya? Kapan perlu diberi cendera hati atas jerih payahnya mengurusi tempat ibadah. Atau relahkah kita menyerahkan urusan masjid kampung kepada orang-orang kurang upaya, seperti mengangkat petugas masjid dari mereka yang kurang “mendengar” atau tidak bisa “berbicara”! Kemana pemuda dan masyarakat lain, tunjukkanlah peranmu, masihkah kita menunggu orang lain atau orang luar berkiprah di ranah kita sendiri? Semoga senandung azan itu kembali bergema dikala waktu sembahyang tiba, amin.


Inspirasi Flat Taman Bukit Angkasa
Kuala Lumpur, 30 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar