Jumat, 31 Oktober 2008

Menanti Peran Kawula Muda
Oleh: Jannatul Husna dan Condra Antoni


”di dunia ini tidak ada tempat untuk berhenti, barangsiapa yang berhenti maka dia akan tergilas mati”, demikian Mohd. Iqbal;
”syabab al-yaum rijal al-ghad; pemuda hari, pemimpin masa depan”, pepatah Arab.


Sempena mengiringi semangat perjuangan Sumpah Pemuda yang ke-60, kita ingin berbagi cerita dengan saudara tentang tantangan pemuda hari ini dan bagaimana menjadi sosok pemuda harapan yang perannya sangat dinanti.


Kita tidak akan menterjemahkan lebih jauh apa itu yang dimaksud dengan pemuda, tetapi yang dirasa sangat penting ialah ingin menyebutkan tugasnya yang sangat besar dalam keberlangsungan pembangunan bangsa dan daerah. Para pemuda, sebagaimana sejarah telah mencatat adalah kekuatan perubahan (motor penggerak). Dari zaman Rasulullah s.a.w., peran pemuda sangat ditunggu, hal ini terlihat dengan apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Salman al-Farisi, Khalid bin Walid, Umar bin Abdul Aziz dan ramai lagi. Mereka-mereka itu telah menjalankan tugasnya dengan baik, menjadi pengajar (guru) bagi para sahabat lain, pedagang yang sukses, pemimpin yang disegani mahupun punggawa perang di garis depan.


Tradisi kehebatan itu terus dilanjutkan khususnya oleh para pemuda Indonesia, lihatlah sejarah 20 Mei 1908 (dengan lahirnya Budi Utomo yang diprakarsai oleh para pemuda), 28 Oktober 1928 (dirumuskannya Sumpah Pemuda), 17 Agustus 1945 (berkat desakan para pemuda, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia) dan 21 Mei 1998 (lahirnya era baru, reformasi). Kesemua fase itu menunjukkan aksi gemilang para pemuda mencipta perubahan ke arah yang lebih. Meskipun semua peristiwa itu harus dibayar dengan harga mahal baik harta bahkan darah. Tujuan dari setiap agenda perjuangan mereka tidak lain adalah mengukuhkan nilai-nilai persatuan dan kebersamaan. Bersatu kita teguh, bercerai (berpecah) kita runtuh. Demikian pula hendaknya semangat kita dalam membangun daerah tercinta.


Duhai saudaraku, mau tidak mau-suka tidak suka, dalam masa yang dekat atau mungkin masih lama, tonggak kepemimpinan negeri ini akan diserahkan ke pundak para pemuda. Sudah siapkah kita menerima semua itu? Seberapa banyak persiapan kita dalam menghadapinya? Sementara tantangan tidak ringan termasuk masalah kebersatuan, diantara yang akan merusak nilai-nilai persatuan itu ialah dengan masih terkotak-kotaknya kita dalam beberapa kelompok. Berpecah dalam memilih jalan terbaik. Agaknya terlalu sulit kita menemukan kata saiyo-satido dalam membangun negeri ini. Menurut pendapat kita, tidak masanya lagi kita mengedepankan keinginan pribadi dan golongan, tetapi saatnya kita mencari penyelesaian paling baik, menjunjung kepentingan masyarakat banyak. Dengan memilih jalan yang mudaratnya lebih kecil, sedang manfaatnya jauh lebih besar. Diantara nasehat (hikmah) yang pantas kita renungi ialah, ”duhai para pemuda, jadilah pelopor jangan pengekor”. Menurut seorang penulis pula, diantara penyakit para pemuda hari ini ialah, dengan masih berkutatnya mereka di bawah ketiak atau, agak halusnya berada di bawah bayang-bayang kuasa politik individu atau kalangan tertentu (Muhammad Taufik, http://www.padangekspres.co.id/content/view/21819/114/).


Mari bersama-sama kita membenahi kekurangan ini dengan terus belajar. Apakah dengan menggelar diskusi (dialog) dengan mengundang orang yang pandai (bertanyalah kamu kepada orang-orang yang pandai jika kamu tidak tahu—demikian tuntunan Islam). Sejenak mari kita membayangkan masa depan kita dan daerah yang kita cintai ini, kalau bukan pemuda hari ini, siapa lagi? Mau kita jadikan apa kampung yang katanya kaya ini? Maka apapun yang bisa kita kerjakan demi kemajuan pribadi dan kebanggaan kampung, lakukanlah. Jangan menunggu besok, atau menanti orang lain untuk memulai.


Kepada saudara-saudara yang punya kesempatan untuk bersekolah dan kuliah, belajarlah dengan tekun dan giat, jangan sering cabut, bolos dan malas. Orang tua, keluarga bahkan masyarakat kita yang sadar akan arti pentingnya pendidikan, dengan segenap kemampuan mereka—saya yakin—akan ”mati-matian” menyokong, mendoakan kesuksesaan kita. Berjemur di tengah teriknya matahari, menggigil di tengah dinginnya guyuran hujan, mereka mampu. Kenapa kita untuk belajar saja berleha-leha? Mau jadi apa sebenarnya yang kita suka?


Selanjutnya kepada saudara, biarlah menjalani masa-masa pendidikan itu dengan kondisi yang seadanya. Jangan pernah berkhayal dengan kemewahan, kalau seandainya kita ”ditakdirkan” hidup dalam keterbatasan. Tidak usah menuntut yang macam-macam, harus punya handphone-lah, sepeda motor-lah, uang belanja lebih-lah dan sebagainya. Mereka yang terbiasa dengan kebersahajaan hidup, maka akan tahan bantingan, tidak cengeng, karena mereka yakin di setiap ada kemauan di situ terbuka lebar jalan kemudahan. Seperti kata, ”where is a will there is a way”, demikian saudara kita, Condra mendendangkan.


Kemudian, jadikanlah setiap saran serta kritik orang lain sebagai cambuk (cemeti), ini sangat penting! Sebab pengalaman inilah yang pernah kita alami. Mendengar saran-petunjuk mungkin tidak membuat kuping merah, muka padam. Tetapi jika menghadapi kritikan dan cemoohan, ini bisa membuat harga diri seakan ”terinjak”. Bayangkan, kalau kita diramalkan hanya mampu bertahan kuliah beberapa bulan saja, karena mereka melihat kemampuan ”saku” dan periuk nasi kita. Menurut mereka, kalau menyekolahkan atau menguliahkan anak dari uang pinjaman, bukan ”piti balepek” itu adalah sesuatu yang mustahil? Tapi apa yang terjadi, bukan uang yang membuat kita berhasil menamatkan kuliah, menjadi dosen dan sebagainya, tetapi kekuatan fikir dan kemauan hati yang membuat orang sukses itu bertahan.


Kepada sahabat-sahabat yang tidak punya kesempatan lagi untuk bersekolah, dengan beragam alasan, cobalah menggali peruntungan dengan pergi merantau. Selagi usia masih muda, selera dan cita-cita masih bergelora, pungutlah ilmu dan pengalaman sebanyak yang mungkin sebelum melangkah berumah tangga. Salah satu dari ciri orang Minang itu adalah merantau. Dengan melihat negeri orang, wawasan dan pengalaman tentu akan bertambah (jan sampai mode katak dalam tampuruang). Merasa bangga dan bagak, tetapi langkah kaki gemetar saat coba untuk merantau, belumlah seberapa. Ajakan pepatah urang tuo-tuo kito; ....marantau bujang dahulu, di kampuang paguno balun. Setelah mendapatkan ilmu, pengalaman dan sedikit banyak modal, pulanglah ke ranah Kobun, kita bangun negeri ini bersama.


Duhai masyarakatku, peran kita sungguh sangat dinanti. Apapun bentuk dan dimanapun kita berada. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar