Rabu, 29 Oktober 2008

Dibalik Potensi Sumber Daya Alam Kabun
Oleh: Jannatul Husna dan Condra Antoni*


Meminjam istilah saudara saya (Condra), meskipun Kabun merupakan sebuah ceruk di pedalaman, tetapi alamnya subur, masyarakatnya cukup makan dan hidup ”makmur” menikmati keselesaan dari karunia alam Tuhan yang melimpah ruah. Lahan pertaniannya terhampar cukup luas, dimana asal ada sedikit-banyak kemauan penduduknya untuk berladang dan berpolak, maka hektaran tanaman tua maupun muda bisa tumbuh di wilayah ini. Adapun untuk tanah persawahan harus diterokai sedemikian rupa dan perlu ketekunan lebih, karena daerahnya yang berpagarkan gunung Kayo dan gunung Teleng serta bukit Mambuik dan bukit Kosik (Tingkosiek). Hamparan sawah terpaksa disulap berjenjang-jenjang karena daerahnya yang lereng dan perbukitan, tetapi panorama ini memberikan kesejukan dan pesona tersendiri kepada para penatap, apalagi pada musim-musim padi menguning.


Pada satu masa dahulu (sekitar tahun 1990-1996), ketika kita bersekolah di SD 07 Kabun, yang ianya berada di Loso berhampiran dengan Sungai Lasi itu, pemandangan indah padi yang sedang menguning kerapkali menemani kita para pelajar di sana, karena setelah berolah raga (main bola) di tanah lapang dekat Gurun Pantai, kita—sebelum pulang—harus ”berjihad” mencari kayu api buat persediaan sarana memasak guru-guru kita yang sangat dihormati dan kita cintai, baik bapak Syafaruddin dari Sungai Dareh, Ibuk Gusmayar dari Sungai Tampang, Bapak Mulyadi Sy dari Talawi bahkan sesekali membantu pengadaan kayu untuk bapak Baharuddin (al-marhum, semoga Allah swt. menerima segala pengabdian baik dan mengampuni segala dosa silapnya).


Pemandangan indah padi menguning dan sorakan orang mangogho menghalau unggeh ”pik-poghik” dan ”pik-pinang” di sawah-sawah berjenjang itu cukup melepas kepenatan kita dalam mencari kayu api di bukit Loso, terkadang sampai ke Ngabaghu. Tawaran pemandangan indah itu disuguhkan oleh sawah yang ada di Sungai Lasi, Bawah Gunung, maupun sawah Bajorieng (tetapi sayang beberapa petaknya hari ini telah rusak terkena hantaman tanah longsor dan galodo, akibat pembangunan jalan Kabun-Rumbai yang salah pertimbangan dan ulah penebangan kayu di hulu sungai). Begitu kita dulu, mencari kayu api sebagai sumber bahan bakar alam semula jadi (alami), agaknya tradisi ini masih diminati banyak keluarga di kampung sana, meskipun ada juga yang mulai meniru gaya hidup orang perkotaan dengan memakai kompor minyak bahkan kompor gas untuk memasak dan kepentingan lainnya?


Melihat begitu besar dan banyaknya potensi kekayaan alam Kabun, baik tanah untuk berladang, maupun hasil rimba berupa kayu, rotan, manau dan cubadak hutannya. Ditengah kampung pula tersedia ramai pilihan makanan alam, seperti lansek, macang, pawua, kuini, jambu lipo sampai ke kamuntieng (meskipun terkadang ia mengganggu saluran pencernaan kita [dikorang modu], tetapi kenangan buah-buahan semacam ini setidaknya telah turut menghantarkan kita menjadi ”orang” seperti hari ini; mampu tegak berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah sejajar dengan anak orang-orang kaya, pejabat dan masyarakat maju).


Menyebut kenangan ”murahan” seperti diatas barangkali tidak lagi menarik minat adik-adik kita hari ini, baik mereka yang masih bersekolah di tingkat SD, SMP ataupun Tsanawiyah, karena mereka telah terbiasa dengan hidangan ”modern”, berupa makanan-makanan ringan semacam mee sedaap, coco nut dan entah apa lagi namanya. Sepatutnya adik-adik hari ini jauh lebih hebat dan maju berbanding kita yang hanya tumbuh dari makanan sederhana, seperti gulai pucuk ubi dan sambal karambie bada. Sementara untuk snack (makanan ringannya) hanya kolak labu atau lopek bugih dan menu tradisional lain.


Inilah sumber alam kita, menawarkan banyak kemudahan dan peluang untuk mendorong penduduknya maju ke hadapan. Merangsang diri agar berani keluar dari cara berfikir yang tersekat oleh langit ”tempurung kelapa”, tempatnya bernaung. Sesekali marilah kita buka pemikiran (paradigma) untuk melongok ke luar, betapa dunia ini sangat luas dan orang lain mampu mengubah lingkungan bahkan bangsanya dengan perubahan cara fikir dan olah pandang yang baik. Mereka mampu, padahal mereka juga makan nasi seperti kita juga makan nasi. Mereka sebagiannya berasal dari pedalaman layaknya kita, tak ada angkutan bus kecuali naik truk (oto prah), jalan kampungnya pun masih aspal mengambang dikala hujan dan berkabut tebal semasa musim panas tiba. Anak-anak maju itu juga pernah naik ke punggung kerbau sambil bergembala, suka meniup serunai tatkala musim panen datang, bahkan berenang di sungai-sungai kecil dengan empangan jerami padi sawah siap disabit. Persis seperti kita bukan? Tetapi nasib mereka jauh lebih baik berbanding kita, kenapa? Jawabannya, karena mereka terus belajar dan belajar menambah wawasan, pengetahuan dan mengukir banyak pengalaman.


Hanya dengan begitu rasanya suasana kehidupan kampung ini bisa diubah, yaitu dengan mengubah pola fikir masing-masing penduduknya, ke arah yang lebih baik. Bukankah Allah swt. mengingatkan dalam firman-Nya, yang berarti, ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum atau masyarakat suatu kampung, sehingga mereka sendiri yang merubah paradigma diri mereka masing-masing [cara berfikir, memandang, malakukan dan mendapatkan sesuatu]”.


Tetapi sayang, paradigma kita tentang masa depan, khususnya mengenai pentingnya arti pendidikan meleset jauh dari harapan. Efeknya, sudah wujud tetapi kita belum sadar. Maka, potensi alam yang besar di ranah ini tidak memberikan kesan yang besar pula terhadap perubahan, baik fisik-infrastruktur kampung maupun kemajuan pada aspek wawasan penduduknya. Hemat kita, percuma saja membincangkan potensi energi mineral alam Kabun, dimana kita sangat bangga untuk mengatakan, punya air bersih-lah, batu bara, batu granit, emas dan sebagainya. Tetapi kita tetap gerak jalan, ditempat, enggan untuk berubah? Padahal air bersih dari daerah ceruk pedalaman kita ini mampu menghidupkan warga kota Muaro Sijunjung bahkan sampai ke daerah Tanjung Ampalu, begitu besar devisa yang disumbangkan oleh air ”kita” ini. Bahkan saya (Jannatul) pernah berkunjung ke PDAM Sanjung Tirta Buana, mengambil data tentang pelanggan air PDAM sekaligus mengambil beasiswa yang mereka janjikan, alhamdulillah. Adakah saudara tahu bahwa ternyata, seramai lebih kurang 5-7 ribu jiwa terselamatkan oleh adanya air bersih daerah kita? Itu maknanya juga, sekian juta Rupiah mampir ke Sanjung Tirta Buana tiap bulannya sebagai income per kapita daerah. Kemudian saya bertanya lagi, bagaimana dengan peluang bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat Kabun lainnya, mereka mengapresiasi (menerima) setiap permohonan yang masuk. Tetapi, lagi-lagi kesempatan itu tidak digunakan sebaik yang mungkin oleh putra-putri Kabun umumnya.


Berkaitan dengan soalan saya tentang kesempatan untuk menjadi pegawai atau staf di PDAM, mereka lantas menjawab perkara itu dengan; agak sulit terkabulkan! Karena Sumber Daya Manusia ”intelektual” Kabun yang masih sangat sedikit, mungkin mereka malas menyebutnya tidak ada. Apa yang perlu kita kejar kalau sudah begini kondisinya, duhai saudaraku? Adakah kita masih akan berlomba-lomba menghias diri dengan hand phone yang mewah atau berbangga dengan sepeda motor kredit keluaran terbaru, atau kita bergegas mengambil peluang untuk mencari wawasan ilmu dengan terus belajar? Karena ini selain cambuk, juga ”pelecahan” terhadap harkat kita sebagai insan yang sepatutnya mampu berbuat dan bermartabat. Demikian masalah kekayaan air alam kita.


Berikut ini, yang tak kalah hebohnya ialah keberadaan potensi tambang batu bara Guguk Mulek. Dengan kadar kualitas dan kalorinya yang entah berapa, namun karunia Tuhan yang satu ini sedikit banyak telah mengobati kegelisahan masyarakat kita saat harga karet mulai turun dari Rp. 12.000 menjadi Rp. 5.000, hujan yang mungkin sering mengguyur lebat di malam hari atau di pagi hari, sehingga tidak bisa untuk menakiek gota. Walaupun ada juga yang dengan sangat terpaksa dan berat hati, daripada dia dan keluarga ”mati” akibat tak bisa belanja dan mambayie julo-julo, biarlah karet yang berpulang ke rahmatullah. Toh, masih bisa ditanam lagi kalau pohon karetnya tumbang, kalau dia yang tumbang tentulah tak tahu kemana obat hendak dicari, demikian ketus sebagian masyarakat.


Meskipun penambangan memberikan manfaat berupa jatah perai (fee) bagi setiap kepala keluarga pada penjualan sekian ton batu bara, ia juga membuka peluang pekerjaan, sekurang-kurangnya piket menjaga eskapator di malam hari dari aksi pencurian. Namun, penambangan rakyat ini menyisakan sarat (banyak) masalah, mulai dari Kuasa Penambangan, carut marut pembagian fee, pertingkahan sesama warga bahkan dengan saudaranya sendiri, sampai kepada aksi pertikaian dan kericuhan yang tragis. Sebuah pemandangan yang memilukan dan memalukan. Ketika melihat gerombolan penduduk memperebutkan jatah, padahal enaknya cuma sampai di tenggorokan, paginya kadang harus dibuang di bandar panjang. Kenapa setiap pergaduhan demi pergaduhan timbul dalam menuai hasil alam yang kaya itu, karena cara pandang kita terbatas sampai di sini dan kini. Yang penting saat ini, esok kita fikirkan lagi! Akhirnya tampak jelas, bahwa sumber daya alam yang kaya tetapi tidak diimbangi dengan kesiapan sumber daya manusia yang berkualitas, menimbulkan petaka yang dahsyat, sedahsyat petaka galodo Sungai Lasi, September beberapa tahun yang lalu. Mungkin? Wallahu a’lam.



Kala Senja di Perpustakaan University of Malaya
Menunggu Masa Peperiksaan
Kuala Lumpur, 29 Oktober 2008


* Jannatul Husna adalah Pelajar Master of Art University of Malaya Kuala Lumpur (2008), Koordinator Bidang Intelektual dan Penelitian PPI University of Malaya (2008-2009), menamatkan pendidikan Sarjana Theologi Islam (S1) di Fakultas Usuluddin IAIN Imam Bonjol Padang (2006). Sedangkan Condra Antoni adalah Staf Pengajar Politeknik Batam, Koordinator Polybatam Language Centre, dan aktif juga di Rumah Gadang Centre, menamatkan pendidikan Sarjana Sastra (S1) di Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang (2006). Kedua-dua penulis merupakan Putra Asli Daerah Kabun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar